Penulis: Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan dan Syaikh Rabi’ bin Hadi
Kitabah, 04 - Juli - 2003, 00:22:24
Kata Pengantar Manhaj Dakwah Para Nabi
oleh Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan
Sejumlah jamaah dakwah yang ada pada masa kini, merupakan
contoh yang sangat memprihatinkan. Mereka sengaja membuat khittah perjuangan
sebagai manhaj dakwahnya, sedangkan manhaj itu bertentangan dengan manhaj para
Rasul.
Manhaj dakwah mereka lalai akan seruan yang sangat prinsip,
kecuali hanya sedikit, yaitu seruan penegakkan akidah. Mereka justru berkutat
habis dalam memperjuangkan masalah lainnya. Adakalanya menyeru kepada kebaikan
sistem pemerintahan, politik, dan tuntutan tegaknya hukum dan pelaksanaan
syariat dalam memutuskan perkara yang timbul di antara manusia.
Walaupun perjuangan dalam hal-hal tersebut adalah persoalan
penting, namun bukan hal yang terpenting.
Bagaimana kita menuntut ditegakkannya pelaksanaan hukum
Allah terhadap pencuri, pezina, dan lainnya sebelum kita menuntut
dilaksanakannya hukum Allah subhanallahu wa Ta'ala atas diri orang musyrik?
Mengapa kita menuntut dilaksanakannya hukum Allah subhanallahu wa Ta'ala atas
perkara riba, sebelum kita menuntut pelaksanaan hukum Allah bagi hamba-hamba
pengabdi keberhalaan dalam berbagai bentuknya dan atas orang-orang yang ingkar
terhadap Asma’ Allah subhanallahu wa Ta'ala dan sifat-Nya, mereka yang
men-ta’thil (menolak meyakini) sejumlah dalil yang menunjukkan kepada
kebenarannya?
Tidakkah kemusyrikan itu lebih durhaka dibandingkan zina,
pencurian, dan memakan riba? Sebenarnya zina, mencuri, dan sejenisnya adalah
perbuatan yang menyangkut hak hamba, sedangkan kemusyrikan adalah suatu tindak
kejahatan yang menyangkut hak Allah ‘azza wa jalla. Bukankah hak Allah harus
ditunaikan lebih dahulu dibandingkan hak hamba?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, berpendapat
bahwa dosa-dosa seperti zina, minum khamr, dan mencuri selama masih disertai
dengan lurusnya tauhid, akan lebih baik dibandingkan dengan rusaknya tauhid
tetapi tidak disertai perbuatan-perbuatan dosa tersebut. (Al Istiqamah, volume
I halaman 466)
Termasuk dalam jamaah yang perlu meluruskan manhaj
dakwahnya, adalah jamaah yang dalam perjuangannya lebih memfokuskan kepada
persoalan syiar-syiar ta’abbudi, berusaha keras untuk mengerjakan zikir-zikir
verbal mengikuti metode sufisme, atau mengutamakan kegiatan rihlah, melakukan
perjalanan dan rekreasi dalam dakwahnya. Mereka berharap sebanyak mungkin orang
dapat bisa berhimpun bersama dalam kegiatan-kegiatan semacam itu, namun tidak
memberikan perhatian yang cukup bagi penegakkan akidah. Inilah jalan yang
ditempuh ahli bid’ah, karena mereka memutarbalikkan marhalah yang ditempuh para
Rasul. Yang tejadi adalah yang semestinya di belakang dijadikan di depan, yang
seharusnya diakhirkan didahulukan, bermaksud mengobati suatu bagian dari tubuh
namun hakikatnya dengan membiarkan organ yang paling penting tetap dan
bertambah rusak, sebab akidah dalam tubuh kita ini adalah bagian yang paling
pokok.
Kiranya sejumlah jamaah dakwah yang ada pada saat sekarang
ini, perlu memperhatikan dan mengenali kembali manhaj dakwah menuju Allah ‘azza
wa jalla, dengan mengambil rujukan kepada Kitabullah dan Sunnah Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam.
Jika kita telusuri kembali sejarah perjuangan para Rasul,
maka kita dapat saksikan bahwa dialog-dialog antara para Rasul dan
pembesar-pembesar dari kaumnya, justru terjadi setelah disampaikan perkara
akidah yang benar, agar mereka mengabdi kepada Allah subhanallahu wa ta'ala
saja dan meninggalkan seluruh bentuk ibadah yang ditujukan kepada selain-Nya.
Dalam bahasa lain, kekuasaan dan pemerintahan baru bisa
diperoleh oleh jamaah dakwah setelah tersebarnya dan diterimanya seruan akidah
yang benar yang mengajak manusia hanya beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla
saja.
Marilah kita perhatikan janji Allah subhanallahu wa ta'ala
yang pasti ditepati jika kita telah memenuhi kriteria orang yang beriman
sebagaimana firman-Nya :
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di
antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih, bahwa Dia sungguh-sungguh
akan menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa dan sungguh Dia akan
meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka dan Dia
benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam
ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada
mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Ku. Dan barangsiapa yang tetap kufur
sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang yang fasik. (QS. An Nur : 55)
Sedemikian jelas janji itu, namun kita saksikan sekarang ini
sejumlah jamaah dakwah menghendaki tegaknya Daulah Islamiyah sementara
akidah-akidah Watsaniyyah Al Mutamatsilah (akidah keberhalaan dengan segala
bentuknya) masih menjadi anutan penduduk negerinya. Masih banyak orang yang
menyembah orang mati dan menjalin kontak dengan kuburan-kuburan, suatu praktek
kemusyrikan besar yang sebenarnya tidak jauh berbeda dengan para penyembah
Latta dan Uzza serta Manat, bahkan jauh lebih sesat darinya.
Siapa yang menginginkan keluhuran tanpa harus bekerja keras,
maka untuk memperolehnya haruslah dengan menyia-nyiakan umur.
Jika kita berkeras untuk menegakkan hukum syariat, yang
berarti penegakkan hukum perdata maupun pidana, serta penegakkan Daulah Islamiyah,
menjauhi larangan-larangan dan mengerjakan seluruh kewajiban yang semuanya itu
merupakan perkara-perkara yang termasuk hak-hak tauhid berikut kesempurnaannya
tidakkah itu berarti bahwa kita tengah berusaha untuk memenuhi hak-hak tauhid,
sedangkan tauhid yang prinsip itu sendiri kita abaikan? Konsekuensi tauhid
didahulukan sedangkan tauhidnya sendiri tertinggal jauh di belakang? Tidakkah
itu berarti menegakkan yang furu sedangkan yang paling ushul ditelantarkan?
Menurut hemat kami, apa yang terjadi pada jamaah-jamaah yang
berdiri di atas manhaj yang bertentangan dengan manhaj para Rasul dalam metode
dakwahnya kepada Allah subhanallahu wa ta'ala adalah suatu kebodohan, padahal
bagi orang jahil tidak patut menjadi da’i, sebab temasuk persyaratan terpenting
dalam dakwah adalah ilmu, sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla :
Katakanlah : “Inilah jalan (Dien) ku dan orang-orang yang
mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha Suci
Allah dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS. Yusuf : 108)
Kita perhatikan bahwa jamaah-jamaah dakwah yang menisbatkan
kepada kepentingan dakwah memiliki khittah dan manhaj yang berbeda-beda.
Khittah suatu jamaah tidak dimiliki jamaah lainnya. Ini merupakan satu indikasi
bahwa manhaj jamaah tersebut bertentangan dengan manhaj para Rasul, sebab
manhaj para Rasul itu hanya satu, tidak terbagi-bagi, tidak bermacam-macam, dan
tidak pula ada ikhtilaf sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla yang tertera
pada surat Yusuf di atas.
Maka jika benar jamaah dakwah itu mengikuti manhaj
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, mengikuti jalan yang satu ini pasti
mereka tidak saling ikhtilaf. Adanya ikhtilaf dikarenakan bertentangan dengan
jalan ini. Allah subhanallahu wa ta'ala berfirman :
Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang
lurus, maka ikutilah dia dan jangan kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain),
karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. (QS. Al An’am :
153)
Perbedaan dan pertentangan manhaj antar jamaah justru
membahayakan bagi Islam itu sendiri, sehingga kita layak untuk menolak masuk ke
dalamnya, berlepas darinya, dan tidak menggolongkannya ke dalam jamaah dakwah
Islam, sebab telah jelas bahwa mereka bukan dari Islam, tak memiliki kesesuaian
dengan manhaj Islam, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta'ala :
Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan
mereka menjadi bergolong-golongan, tak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap
mereka. (QS. Al An’am : 159)
Telah menjadi keyakinan yang pasti, Islam selalu menyeru
kepada persatuan (ijtima) di atas kebenaran, sebagaimana firman-Nya :
Dan hendaklah kalian semuanya berpegang teguh kepada tali
(Dien) Allah dan janganlah kamu (sekali-kali) bercerai-berai. (QS. Ali imran :
103)
Dengan memperhatikan keadaan jamaah dakwah yang sedemikian
memprihatinkan itu, maka wajib bagi bangkitnya jamaah ulama untuk menjelaskan
manhaj jamaah yang benar, sebagaimana manhaj para Nabi dalam dakwah kepada
Allah subhanallahu wa ta'ala, serta menyingkap pergeseran dan penyimpangan dari
manhaj tersebut yang kini dialami oleh sejumlah jamaah dakwah. Dengan demikian
diharapkan jamaah-jamaah itu dengan penuh kesadaran dapat melakukan koreksi
sampai kebenaran ditemukan dan dipegang teguh. Sebenarnya Al Haq itu merupakan
barang yang hilang bagi Mukmin.
Manhaj Dakwah Para Nabi
oleh Syaikh Rabi’ bin Hadi ‘Umair Al Madkhaly
Syaikh Rabi’ menggambarkan jalan dakwah yang pernah dilalui
oleh para Nabi ‘alaihimus sallam :
Nabi Nuh ‘alaihis sallam hidup dalam kurun waktu yang sangat
panjang, 950 tahun. Seluruh usianya dihabiskan untuk kepentingan dakwah menyeru
kaumnya kepada tauhidullah dan ikhlas beribadah kepada Allah subhanallahu wa
ta'ala. Tidak ada rasa putus asa dan letih, siang dan malam, baik secara
sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, senang maupun tidak senang, manis
maupun pahit, janji dan ancaman disampaikannya kepada kaumnya. Dilancarkannya
dakwah dengan hujjah dan dalil yang dapat diterima akal maupun perasaan.
Diajaknya kaumnya untuk mengenal Allah ‘azza wa jalla dengan memperhatikan
kehidupan diri mereka maupun segala yang terjadi di sekeliling mereka seperti
hujan, langit, bulan, dan matahari, berbagai tanda dan ibrah. [Kisah beliau
dalam berdakwah diabadikan dalam QS. Nuh ayat 1-25].
Namun mereka tak sedikitpun mengambil manfaat dari dakwah
itu dan bahkan tak bergeming sejengkalpun untuk menerima seruan tersebut.
Mereka telah berketetapan hati memilih kekafiran dan kesesatan disertai dengan
kesombongannya. Mereka tetap mempertahankan menyembah patung-patung dan
sesembahan-sesembahan mereka yang bathil. Itu merupakan hasil dari sikap
kebandelan mereka, kesombongan mereka, keinginan mereka terhadap kehancuran dan
kerusakan dunia. Sungguh di akhirat kelak mereka akan mendapatkan siksa api
neraka. Keteguhan Nuh ‘alaihis sallam yang tiada tara mengundang berbagai
pertanyaan penting yaitu mengapa Nuh ‘alaihis sallam bertahan dengan manhaj
dakwahnya, sedemikian gigih tidak mengenal bosan dan putus asa menyeru kaumnya
kepada prinsip ketauhidan ini?
Mengapa Allah subhanallahu wa ta'ala memujinya dengan
sanjungan yang luar biasa mengabadikan kegigihannya dalam Al Qur’an dan
menggolongkannya dalam kelompok 5 (lima) Rasul yang bergelar Ulul Azmi dari
sekian banyak Rasul lainnya?
Apakah dakwah tauhid pantas menyita seluruh perhatian dan
pencurahan waktu sekian lamanya? Apakah manhaj ini yang telah menghabiskan
rentang waktu penyampaian dakwah yang sedemikian panjang yang telah dilakukan
oleh Nabi yang mulia ini tidak diterima rasio, tak tecerna oleh akal sehat,
tidak dapat menembus tabir hikmah? Ataukah proses dakwah itu justru merupakan
sumber hikmah, pencerminan rasio yang sehat dan akal yang penuh pertimbangan?
Mengapa Allah subhanallahu wa ta'ala menetapkan Nuh ‘alaihis
sallam mengikuti manhaj ini di dalam dakwah sehingga menghabiskan waktu 950
tahun dan Allah subhanallahu wa ta'ala mengabadikan nama dan kisahnya,
memberikan taklif kepada Rasul-Rasul terbesar dan manusia yang berakal baik
agar menjadikan dia sebagai uswah dalam hal manhaj dakwahnya dan dalam hal kesabarannya?
Jawaban yang adil atas pertanyaan-pertanyaan itu adalah bahwa dakwah itu tegak
di atas akal dan hikmah.
Jika memang terdapat manhaj yang paling baik dan paling
lurus, berupa manhaj yang dipilih-Nya untuk Rasul-Rasul-Nya, maka apakah patut
seorang Mukmin berpaling dari manhaj ini dan memilih manhaj yang lain untuk
dirinya, serta berlaku dhalim terhadap manhaj Rabbani dan terhadap
da’i-da’i-Nya?
Nabi Ibrahim ‘alaihis sallam
Beliau adalah bapak para Nabi dan imam pemersatu yang
mentauhidkan Allah. Allah telah memerintahkan kepada penghulu para Rasul dan
penutup para Nabi yakni Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam berikut umatnya
untuk mengikuti Ibrahim ‘alaihis sallam, meneladani dakwahnya serta berpegang
pada petunjuk dan manhajnya. Perintah itu tertera pada firman Allah ‘azza wa
jalla :
Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) : Ikutilah millah
Ibrahim, seorang yang hanif. Dan bukanlah dia seorang yang termasuk orang-orang
yang mempersekutukan Allah. (QS. An Nahl : 123)
(Kisah perjalanan dakwah Nabi Ibrahim ‘alaihis sallam
diabadikan dalam QS. Al An’am : 74-83, Maryam : 41-50, Al Anbiya’ : 51-73)
Sesunguhnya ilmu tauhid adalah ilmu yang mampu mengantarkan
para Nabi seluruhnya menjadi manusia mulia lagi perkasa, kokoh, dan tegar dalam
memadamkan kebathilan dan kejahilan. Karena itu jahil akan ilmu tauhid
--ilmunya para Nabi yang memberi petunjuk kepada jalan yang benar dan
menyelamatkan dari kesesatan dan kemusyrikan-- adalah kejahilan yang dapat
membunuh akal dan nurani.
Marilah kita simak kembali ajakan Ibrahim ‘alaihis sallam
yang diabadikan dalam ayat-ayat-Nya : “Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang
kepadaku ilmu pengetahuan yang tidak ada padamu, maka ikutilah aku, niscaya aku
akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.”
Ibrahim ‘alaihis sallam mengembara dalam medan dakwah dengan
berbekal semangat keilmuan yang tinggi. Ia hadapi bapaknya dan kaumnya dengan
hujjah-hujjah yang akurat dan tak terbantahkan. Dengan semangat keilmuan itu
pula ia berhadapan langsung dengan sang penguasa tiran yang kekejian dan watak
kesewenang-wenangannya, serta kekuatan yang dalam pada genggamannya telah
menciutkan nyali setiap orang, sehingga ia bahkan dipertuhankan oleh rakyatnya.
Namun Ibrahim ‘alaihis sallam tak sejengkalpun surut selangkah. Dihadapinya
Namrud, si tiran besar itu, seorang diri! Semangatnya yang tinggi, ketegarannya
yang sekeras granit, dan keyakinannya yang teguh telah membuat rasa takut
menghadapi resiko, menyingkir jauh.
Allah subhanallahu wa ta'ala berfirman :
Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim
tentang Rabbnya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu
pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan : “Rabbku adalah yang
menghidupkan dan mematikan.” Orang itu berkata : “Akupun dapat menghidupkan dan
mematikan.” Ibrahim berkata : “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari
timur maka terbitkanlah ia dari barat.” Lalu heran terdiamlah orang kafir itu
dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dhalim. (QS. Al Baqarah
: 258)
Andaikan Ibrahim ‘alaihis sallam dalam seruan dakwahnya itu
bertujuan untuk memperoleh kekuasaan, tentu ia akan menempuhnya dengan suatu
manhaj yang berbeda. Namun para Nabi, para da’i yang shalih yang mengikuti para
Nabi, hanya berpegang kepada manhaj yang ditetapkan Allah subhanallahu wa
ta'ala, sebab manhaj tersebut adalah haq pada setiap jaman dan tempat. Para
Nabi dan penerus risalahnya hanya menempuh jalan hidayah dan bimbingan,
menegakkan hujjah, dan menjelaskan kebenaran kepada orang-orang sombong lagi
penentang. Demikianlah Ibrahim ‘alaihis sallam dalam dakwahnya menempuh manhaj
yang telah ditetapkan Allah, lain tidak. Dan Ibrahim ‘alaihis sallam
benar-benar telah menjalankan kewajiban besar ini secara sempurna dan tuntas.,
menegakkan hujjah kepada bapaknya dan kaumnya, baik penguasa maupun rakyat
biasa. Ketika ia menghadapi kenyataan bahwa mereka tetap mempertahankan
kemusyrikan dan kekufurannya tak beranjak dari kebathilan dan kesesatan,
Ibrahim ‘alaihis sallam lalu melindungi diri. Ditolak dan ditentangnya
kesesatan itu dan dimulailah perjuangan untuk merubahnya dengan kekuatan yang
ia sanggupi.
Pertanyaannya kini adalah, dari manakah Ibrahim memulai
perubahan itu. Uslub atau metoda apakah yang benar dan bijaksana untuk mengubah
sikap keras kaumnya, yaitu bapaknya, penguasanya, dan rakyat jelata di
sekelilingnya yang tak hendak beranjak dari kubangan kesesatan dan kemusyrikan?
Sesungguhnya Ibrahim murka, karena mesti hidup di bawah
bayang-bayang penguasa dhalim yang mendakwakan dirinya memiliki sifat
rububiyyah, mengapa Ibrahim yang perkasa dan tak kenal gentar ini tidak
melancarkan perjuangan revolusioner dalam menghadapi penguasa yang kafir lagi
bertangan besi, yang dipertuhankan, yang ditanganyalah berawal segala bentuk
tindak kerusakan dan kemusyrikan sehingga tegaklah Daulah Ilahiyyah dengan
Ibrahim ‘alaihis sallam sebagai pemimpinya?
Jawaban teramat jelas, para Nabi yang suci terhindar dari
jalan-jalan yang hanya layak ditempuh oleh orang dhalim, jalan-jalan yang penuh
kegelapan dan kebodohan, penuh dengan tipu daya orang-orang dungu, yang hanya
menuntut imbalan duniawi dan kekuasaan semata. Para Nabi adalah para da’i yang
menyeru kepada tauhidullah dan membawa petunjuk kepada jalan kebenaran, serta
menyelamatkan dari kebathilan dan kemusyrikan. Maka jika mereka hendak
melakukan perubahan, sebagai orang yang paling waras akalnya, mereka memulai
dengan memperbaiki perkara-perkara yang menjadi sumber segala malapetaka, yaitu
masalah kemusyrikan, kesesatan yang hakiki. Demikian pula halnya yang dilakukan
oleh Ibrahim ‘alaihis sallam, yang berhati sabar, bijaksana lagi lurus dalam
bertindak, disamping sebagai pahlawan yang keberaniannya sulit dicari
bandingannya.
Nabi Yusuf ‘alaihis sallam
Yusuf ‘alaihis sallam sebelumnya pernah mengecap kehidupan
di dalam istana, sehingga ia mengetahui persis kebobrokan pemerintah dan
penguasanya dari dekat. Ia merasakan kekejaman mereka, tipu daya, dan
kedhaliman mereka. Terlebih dari itu, Yusuf ‘alaihis sallam hidup
ditengah-tengah pusat kesesatan penyembahan berhala, sapi, dan bintang-bintang.
Lalu darimana ia harus memulai mengadakan perbaikan dan perombakan? Dari titik
mana harus memulai berangkat?
Tak ragu lagi, jalan perbaikan satu-satunya yang berlaku
pada setiap jaman dan tempat adalah jalan dakwah, menyeru kepada akidah dan
tauhid serta ikhlas dalam beribadah hanya kepada Allah subhanallahu wa ta'ala.
Lain tidak.
Maka Yusuf ‘alaihis sallam pun memulai dakwah seperti
bapak-bapak pendahulunya karena mereka itu adalah qudwah baginya. Merekalah
orang-orang yang mulia dan perkasa karena akidah mereka, yang selalu menganggap
hina kaum musyrikin karena kelemahan nalar dan kerapuhan hujjah kaum sesat itu.
Setelah Yusuf ‘alaihis sallam menyampaikan dakwah
tauhidullah dengan keterangan yang jernih dan tegas, ia singkap tabir
kemusyrikan lalu ia memperkuat dakwah dan hujjahnya dengan berpegang pada
firman-Nya :
Keputusan itu hanyalah keputusan Allah Jalla Jallalahu
Ayat ini merupakan kaidah yang asasi dari kaidah-kaidah
tauhid, seperti yang ditegaskan-Nya kepada Yusuf ‘alaihis sallam.
Setelah memperhatikan manhaj dakwah di atas, kita merasa
prihatin bila pada saat ini kita acap kali menyaksikan betapa banyak da’i yang
berorientasi kepada politik, menafsirkan ayat ini jauh sekali dari semestinya.
Pengertian asasi “ikhlas beribadah kepada Allah subhanallahu wa ta'ala semata”,
mereka simpangkan menjadi pengertian yang amat politis yaitu penegakkan Daulah.
Mereka dakwahkan dari sinilah syariat Allah dapat ditegakkan di muka bumi.
Fikrah ini disampaikan kepada umat, sehingga sebagian mereka lupa makna
sebenarnya dari ayat-ayat Allah subhanallahu wa ta'ala ini. Sungguh, mereka
tidak memahaminya, kecuali dengan pengertian yang baru … . La haula wa la
quwwata illa billah.
Nabi Musa ‘alaihis sallam
Musa ‘alaihis sallam, dialah Nabi yang pernah diajak
berbicara oleh Allah. Dia adalah seorang yang kuat lagi dipercaya. Ia berdakwah
menyeru kepada tauhid dan membawa bendera dakwahnya di bawah panduan cahaya
hidayah dan hikmah.
Musa ‘alaihis sallam, dibesarkan di dalam istana penguasa
yang paling dhalim lagi dipertuhankan. Dia saksikan benar kerusakan, kekufuran,
kesewenang-wenangan, kedhaliman, dan kediktatoran yang terjadi di istana dan
pusat pemerintahan Fir’aun. Ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri
penindasan yang menimpa Bani Israil. Mereka diperbudak, dihina dina, dan
direndahkan derajatnya. Penguasa tiran itu membiarkan generasi perempuannya
tetap hidup, sementara generasi laki-laki dimusnahkan. Inilah kedhaliman
terburuk yang tercatat dalam sejarah umat manusia.
Allah subhanallahu wa ta'ala berfirman :
Sesungguhnya Fir’aun berbuat sewenang-wenang di muka bumi
dan menjadikan penduduknya berpecah belah dengan menindas segolongan dari
mereka, menyembelih anak laki-laki mereka, dan membiarkan hidup anak perempuan
mereka. Sesungguhnya Fir’aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS.
Al Qashash : 4)
Kaum Fir’aun adalah termasuk ahli syirik sejati dan
penyembah berhala, watsaniyyah. Menghadapi kaumnya yang sedemikian remuk
sendi-sendinya, bagaimanakah Musa ‘alaihis sallam memulai dakwahnya? Adakah ia
memulainya dengan upaya memperbaiki umat keberhalaan dengan cara menyerang
pemerintahan yang berkuasa serta memaklumatkan perjuangan menegakkan Daulah
Islamiyyah? Adakah ia merebut kekuasaan dari tangan diktator besar di bawah
pimpinan Fir’aun yang dipertuhankan itu? Tidak demikian.
Dakwah Musa ‘alaihis sallam tidak berbeda dengan dakwah
bapak-bapak pendahulunya dan juga saudara-saudaranya para Nabi. Allah telah
mengajarkan dengan baik pokok ketauhidan dan memilihnya sebagai urusan yang
mampu memikul risalah-Nya dan menegakkannya dalam rangka pengabdian tulus
kepada-Nya.
Itulah dakwah para Nabi dan teristimewa yang tergolong Ulul
Azmi di antara sejumlah Nabi yang jumlahnya 124.000 Nabi. (HR. Bukhari dalam
Tarikh Al Kabir 5/447, Ahmad dalam Musnad 5/178 dari Abu Dzar)
Mereka semua berjalan mengikuti manhaj yang satu dan
berangkat dari satu titik yang sama, yaitu At Tauhid, suatu perkara yang
terbesar dan sangat asasi, yang dibebankannya kepada seluruh manusia dalam seluruh
generasi mereka dan dalam berbagai kelompok, negeri, maupun jaman mereka.
Hal ini menunjukkan jalan yang satu yang wajib diikuti dalam
dakwah menyeru manusia kepada (jalan) Allah subhanallahu wa ta'ala dan
Sunnah-Sunnah-Nya yang diperintahkan kepada para Nabi-Nya dan para pengikut
mereka yang shadiq, tidak boleh merubahnya, dan tidak boleh berlaku dhalim atau
menyimpang darinya.
Penutup
Sesungguhnya seluruh Nabi ‘alaihimus sallam memulai
dakwahnya dengan memperbaiki segi akidahnya dan memerangi kemusyrikan. Dan
bahwa kerusakan-kerusakan yang berkaitan dengan masalah akidah manusia, berupa
kemusyrikan, khurafat, dan bid’ah, jauh lebih berbahaya daripada
kerusakan-kerusakan di bidang hukum dan pemerintahan. Kita harus memiliki
keyakinan demikian, sebab para Nabi sendiri berkeyakinan seperti itu. Kerusakan
akidah itu sendiri telah menjadi bagian dari kebanyakan penguasa dan rakyatnya.
Allah subhanallahu wa ta'ala tidak membebani para pembawa
risalah untuk menjatuhkan suatu Daulah demi tegaknya Daulah yang lain. Allah
subhanallahu wa ta'ala tidak pula membebani mereka untuk mencapai tujuan
kekuasaan, karena dakwah yang menempatkan penegakkan Daulah sebagai tujuan
pertama dan utama tidak akan terlepas dari tendensi mencari kekuasaan dunia,
kedudukan, dan jabatan. Dan usaha pencapaian kekuasaan sering diperani oleh
orang-orang rakus dan dengki. Tak jarang muncul sekelompok juru dakwah yang
berjuang untuk menegakkan Daulah, namun terselinap niat untuk merealisasikan
dorongan nafsu, kerakusan, dan dorongan untuk memperoleh hajat yang mereka
idamkan.
Sesungguhnya dakwah mengajak orang untuk menegakkan Daulah
jauh lebih mudah dan bahkan lebih cepat mendapat pengikut, sebab kebanyakan
manusia menghendaki perolehan dunia dan pemenuhan hawa nafsu. Namun karena
sedemikian banyak kendala dan kesulitan dalam menempuh jalan dakwah para Rasul,
sedemikian besar kesabaran yang dituntut, maka kita dapati bahwa teramat
sedikit orang yang bersedia mengikutinya.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada awal
kenabiannya telah ditawari kedudukan sebagai penguasa Makkah, namun beliau
menolak kecuali setelah menyelesaikan dakwah tauhidullah dan menumpas
kemusyrikan.
Allah menganugerahkan kepemimpinan atas umat yang menegakkan
tauhid. Kekuasaan itu adalah buah kebaikan yang dipetik karena keimanan mereka.
Anugerah Daulah itu pada gilirannya dilimpahkan kepada mereka karena keteguhan
mereka dalam menegakkan kalimat Allah, karena kejujuran mereka, amal shalih mereka
dan usaha mereka untuk melaksanakan syariat Allah. Anugerah itulah yang
diperoleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan pengikutnya, karena
kesabaran mereka dalam menempuh manhaj dakwah yang haq, menghadapi kekejian dan
kebrutalan kaum musyrikin. Allah telah menolong Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam beserta shahabatnya, memenangkan Dien yang mereka bela, dan mengokohkan
mereka di atas bumi. Marilah kita pegang janji Allah subhanallahu wa ta'ala :
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di
antara kamu dan yang mengerjakan amal-amal shalih. Bahwa Dia sungguh-sungguh
akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan
orang-orang sebelum mereka yang berkuasa. Dan sungguh Dia akan mengukuhkan bagi
mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka. Dan Dia benar-benar akan
menukar (keadaan) mereka sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman
sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun
dengan Aku … . (QS. An Nur : 55)
Dari penjelasan di atas adakah kesesuaian (mulai dari awal
sampai akhirnya) antara manhaj dakwah dan akidah para Nabi dengan manhaj dakwah
dan akidah Hizbut Tahrir?
Jawabannya adalah tidak ada sama sekali. Hal ini sekaligus
merupakan bukti kedustaan pengakuan Hizbut Tahrir bahwa dakwah mereka dilandasi
oleh sirah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Sudah menjadi keharusan
apabila aktifitas dakwah telah bergeser dari asas dan pondasinya maka
perjuangan dakwah itu menjadi lumpuh dan tidak lurus lagi serta tidak akan
pernah membuahkan hasil yang dikehendaki, sekalipun seluruh waktu, tenaga, dan
upaya telah habis tercurah.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[29] Fii Dzilalil Qur’an 4/2122.
[30] Mengenal Hizbut Tahrir halaman 9.
· Madarikun Nadlar fis Siyasah, Syaikh Abdul Malik Al
Jazairy.
[Kumpulan Risalah Ilmiyah - Dinukil dari Buku Bagian Kedua -
Hizbut Tahrir Mu’tazilah Gaya Baru, Cahaya Tauhid Press]
Sumber artikel :
http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=83
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tambahkan komentar anda dengan santun