KEWAJIBAN ITTIBA’ (MENGIKUTI) JEJAK
SALAFUSH SHALIH DAN MENETAPKAN MANHAJNYA
Mengikuti
manhaj/jalan Salafush Shalih (yaitu para Shahabat) adalah kewajiban bagi setiap
individu Muslim. Adapun dalil-dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah
sebagai berikut:
A.
DALIL-DALIL DARI AL-QUR-AN
Allah
berfirman:
فَإِنْ آمَنُوا
بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ
فِي
شِقَاقٍ
فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah berima n kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. [Al-Baqarah: 137]
Al-Imam Ibnu
Qayyim al-Jauziyah rahimahullah (wafat tahun 751 H) berkata: “Pada ayat ini
Allah menjadikan iman para Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai
timbangan (tolak ukur) untuk membedakan antara petunjuk dan ke-sesatan, antara
kebenaran dan kebatilan. Apabila Ahlul Kitab beriman sebagaimana berimannya
para Shahabat, maka sungguh mereka mendapat hidayah (petunjuk) yang mutlak dan
sempurna. Jika mereka (Ahlul Kitab) berpaling (tidak beriman), sebagaimana
imannya para Shahabat, maka mereka jatuh ke dalam perpecahan, perselisihan, dan
kesesatan yang sangat jauh...”
Kemudian
beliau rahimahullah melanjutkan: “Memohon hidayah dan iman adalah sebesar-besar
kewajiban, men-jauhkan perselisihan dan kesesatan adalah wajib. Jadi, mengikuti
(manhaj) Shahabat Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kewajiban yang
paling wajib.” [1]
وَأَنَّ هَذَا
صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ
بِكُمْ
عَنْ سَبِيلِهِ
ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Artinya :dan
bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah
dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan
itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan
Allah kepadamu agar kamu bertakwa. [Al-An’aam: 153]
Ayat ini
sebagaimana dijelaskan dalam hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwa jalan
itu hanya satu, se-dangkan jalan selainnya adalah jalan orang-orang yang
mengikuti hawa nafsu dan jalannya ahlul bid’ah.
Hal ini
sesuai dengan apa yang telah dijelaskan oleh Imam Mujahid ketika menafsirkan
ayat ini. Jalan yang satu ini adalah jalan yang telah ditempuh oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya radhi-yallahu ‘anhum. Jalan
ini adalah ash-Shirath al-Mustaqiim yang wajib atas setiap muslim menempuhnya
dan jalan inilah yang akan mengantarkan kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Ibnul Qayyim
menjelaskan bahwa jalan yang mengan-tarkan seseorang kepada Allah hanya SATU...
Tidak ada seorang pun yang dapat sampai kepada Allah, kecuali melalui jalan
yang satu ini.[2]
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يُشَاقِقِ
الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ
الْمُؤْمِنِينَ
نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Artinya : Dan
barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa
terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam
Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali. [An-Nisaa’: 115]
Ayat ini
menunjukkan bahwa menyalahi jalannya kaum mukminin sebagai sebab seseorang akan
terjatuh ke dalam jalan-jalan kesesatan dan diancam dengan ma-suk Neraka
Jahannam.
Ayat ini juga
menunjukkan bahwasanya mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah sebesar-besar prinsip dalam Islam yang mempunyai konsekuensi wajibnya
ummat Islam untuk mengikuti jalannya kaum mukminin dan jalannya kaum Mukminin
adalah perka-taan dan perbuatan para Shahabat ridhwanullahu ‘alaihim ajma’iin.
Karena, ketika turunnya wahyu tidak ada orang yang beriman kecuali para
Shahabat, sebagaimana firman Allah jalla wa’ala:
“Artinya :
Rasul telah beriman kepada al-Qur-an yang diturunkan ke-padanya dari Rabbnya,
demikian pula orang-orang yang beri-man.” [Al-Baqarah: 285]
Orang Mukmin
ketika itu hanyalah para Shahabat radhiyallahu ‘anhum tidak ada yang lain. Ayat
di atas me-nunjukkan bahwa mengikuti jalan para Shahabat dalam memahami
syari’at adalah wajib dan menyalahinya adalah kesesesatan. [3]
“Artinya :
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara
orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan
baik, Allah ridha terhadap mereka dan mereka ridha kepada Allah. Allah
menyediakan bagi mereka Surga-Surga yang mengalir sungai-sungai di dalam-nya;
mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah keme-angan yang besar.”
[At-Taubah: 100]
Ayat
tersebut sebagai hujjah bahwa manhaj para Shahabat ridhwanullahu ‘alaihim
jami’an adalah benar. Dan orang yang mengikuti mereka akan mendapatkan
keri-dhaan dari Allah Jalla wa ’Ala dan disediakan bagi mereka Surga. Mengikuti
manhaj mereka adalah wajib atas setiap Mukmin. Kalau mereka tidak mau
mengikuti, maka me-reka akan mendapatkan hukuman dan tidak mendapatkan
keridhaan Allah Jalla wa ’Ala dan ini harus diperhatikan. [4]
“Artinya :
Kamu adalah ummat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada
yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah...” [Ali
Imraan: 110]
Ayat ini
menunjukkan bahwa Allah Jalla wa ’Ala telah menetapkan keutamaan atas sekalian
ummat-ummat yang ada dan hal ini menunjukkan keistiqamahan para Shaha-bat dalam
setiap keadaan, karena mereka tidak menyim-pang dari syari’at yang terang
benderang, sehingga Allah Jalla wa ’Ala mempersaksikan bahwa mereka
memerin-tahkan setiap kema’rufan (kebaikan) dan mencegah se-tiap kemungkaran.
Hal tersebut menunjukkan dengan pasti bahwa pemahaman mereka (Shahabat) adalah
hujjah atas orang-orang setelah mereka, sampai Allah Jalla wa ’Ala mewariskan
bumi dan seisinya.[5]
Foote
Note
[1].
Bashaa-iru Dzaawi Syaraf bi Syarah Marwiyati Manhajis Salaf (hal. 53), oleh
Syaikh Salim bin Ied al-Hilaly.
[2]. Tafsir
al-Qayyim oleh Ibnul Qayyim (hal. 14-15).
[3]. Lihat
Bashaa-iru Dzawisy Syaraf bi Syarah Marwiyati Manhajis Salaf (hal. 54), oleh
Syaikh Salim bin Ied al-Hilaly.
[4].
Bashaa-iru Dzawisy Syaraf bi Syarah Marwiyati Manhajis Salaf, hal. 43, 53-54.
[5]. Lihat
Limadza Ikhtartu Manhajas Salafy (hal. 86) oleh Syaikh Salim bin Ied al-Hilaly.
[Disalin
dari kitab Ar-Rasaail Jilid-1, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit
Pustaka Abdullah, Cetakan Pertama Ramadhan 1425H/Oktober 2004M]
_________
B.
DALIL-DALIL DARI AS-SUNNAH
‘Abdullah bin
Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Artinya :
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat garis dengan tangannya
kemudian bersabda: ‘Ini jalan Allah yang lurus.’ Lalu beliau membuat
garis-garis di kanan kirinya, kemudian bersabda: ‘Ini adalah jalan-jalan yang
bercerai-berai (sesat) tak satu pun dari jalan-jalan ini ke-cuali di dalamnya
terdapat syaitan yang menyeru kepa-danya.’ Selanjutnya beliau membaca firman
Allah Jalla wa ’Ala: ‘Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku
yang lurus, maka ikutilah dia, janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang
lain) karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang
demikian itu diperintahkan oleh Allah kepadamu agar kamu bertaqwa.’”
[Al-An’aam: 153] [1]
“ Artinya :
Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini (yaitu masa para Shahabat), kemudian
yang sesudahnya, ke-mudian yang sesudahnya. Setelah itu akan datang suatu kaum
yang persaksian salah seorang dari mereka men-dahului sumpahnya dan sumpahnya
mendahului persaksiannya.” [2]
Dalam hadits
ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan tentang kebaikan
mereka, yang merupakan sebaik-baik manusia serta keutamaannya. Sedangkan
per-kataan ‘sebaik-baik manusia’ yaitu tentang ‘aqidahnya, manhajnya,
akhlaqnya, dakwahnya dan lain-lainnya. Oleh karena itu, mereka dikatakan
sebaik-baik manusia [3]. Dan dalam riwayat lain disebutkan dengan kata
"khaiyrukum" (sebaik-baik kalian) dan dalam riwayat yang lain
disebutkan "khaiyru ummatiy" (sebaik-baik ummatku.’)
Kata
Shahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
“Artinya :
Sesungguhnya Allah melihat hati hamba-hamba-Nya dan Allah mendapati hati Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebaik-baik hati manusia, maka
Allah pilih Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai utusan-Nya.
Allah memberikan risalah kepada-nya, kemudian Allah melihat dari seluruh hati
hambah-hamba-Nya setelah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka didapati
bahwa hati para Shahabat merupakan hati yang paling baik sesudahnya, maka Allah
jadikan mereka sebagai pendamping Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
mereka berperang atas agama-Nya. Apa yang di-pandang kaum Muslimin (para
Shahabat Rasul) itu baik, maka itu baik pula di sisi Allah dan apa yang mereka
(para Shahabat Rasul) pandang jelek, maka jelak di sisi Allah” [4]
Dan dalam
hadits lain pun disebutkan tentang kewa-jiban kita mengikuti manhaj Salafush
Shalih (para Sha-habat), yaitu hadits yang terkenal dengan hadits ‘Irbadh bin
Sariyah, hadits ini terdapat pula dalam al-Arbain an-Nawawiyah no. 28:
Artinya :
“Berkata al-‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu [5]: ‘Suatu hari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat bersama kami, kemudian beliau
menghadap kepada kami dan memberikan nasehat kepada kami dengan nasehat yang
menjadikan air mata berlinang dan membuat hati bergetar, maka seseorang
berkata: ‘Wahai Rasulullah, nasehat ini seakan-akan nasehat dari orang yang
akan berpisah, maka berikanlah kami wasiat.’ Maka Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Aku wasiatkan ke-pada kalian supaya tetap bertaqwa
kepada Allah, tetaplah mendengar dan taat, walaupun yang memerintah kamu adalah
seorang budak Habasiyyah. Sungguh, orang yang masih hidup di antara kalian
setelahku maka ia akan me-lihat perselisihan yang banyak, maka wajib atas
kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan sunnah Khulafa-ur Rasyidin yang
mendapat petunjuk. Gigitlah dia dengan gigi gerahammu. Dan jauhilah oleh kalian
perkara-perka-ra yang baru, karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu
adalah bid'ah. Dan setiap bid'ah adalah sesat.’” [6]
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan tentang akan terjadinya perpecahan
dan perselisihan pada ummat-nya, kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mem-berikan jalan keluar untuk selamat dunia dan akhirat, yaitu dengan
mengikuti Sunnahnya dan sunnah para Shahabatnya ridhwanullaahu ‘alaihim
jami’an. Hal ini me-nunjukkan tentang wajibnya mengikuti Sunnahnya (Sunnah Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan sunnah para Shahabatnya ridhwanullahu
‘alaihim jami’an.
Kemudian
dalam hadits yang lain, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyebutkan tentang hadits iftiraq (akan terpecahnya ummat ini menjadi 73
golongan):
“Artinya :
Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari ahlul Kitab telah berpecah
belah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan sesungguhnya agama ini (Islam) akan
berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua golongan
tempatnya di dalam Neraka dan satu golongan di dalam Surga, yaitu al-Jama’ah.”
[7]
Dalam
riwayat lain disebutkan:
“Artinya :
Semua golongan tersebut tempatnya di Neraka, kecuali satu (yaitu) yang aku dan
para Shahabatku berjalan di atasnya.” [8]
Hadits
iftiraq tersebut juga menunjukkan bahwa ummat Islam akan terpecah menjadi 73
golongan, semua binasa kecuali satu golongan yaitu yang mengikuti apa yang
dilaksanakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya
ridhwanullahu ‘alaihim jami’an. Jadi jalan selamat itu hanya satu, yaitu
mengikuti al-Qur-an dan as-Sunnah menurut pemahaman Salafus Shalih (para
Shahabat).
Hadits di
atas menunjukkan bahwa, setiap orang yang mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan para Sha-habatnya adalah termasuk ke dalam al-Firqatun Najiyah
(golongan yang selamat). Sedangkan yang menyelisihi (tidak mengikuti) para
Shahabat, maka mereka adalah golongan yang binasa dan akan mendapat ancaman dengan
masuk ke dalam Neraka.
Foote
Note
[1]. Hadits
shahih riwayat Ahmad (I/435, 465), ad-Darimy (I/67-68), al-Hakim (II/318),
Syarhus Sunnah oleh Imam al-Baghawy (no. 97), di-hasan-kan oleh Syaikh
al-Albany dalam as-Sunnah libni Abi ‘Ashim (no. 17), Tafsir an-Nasaa-i (no.
194). Adapun tambahan (mutafarriqatun) diriwayatkan oleh Imam Ahmad (I/435).
[2].
Muttafaq ‘alaih, al-Bukhari (no. 2652, 3651, 6429, 6658) dan Muslim (no. 2533
(211)) dan lainnya dari Shahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Hadits ini
mutawatir, sebagaimana telah ditegaskan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam
al-Ishabah (I/12), al-Munawy dalam Faidhul Qadir (III/478) serta disetujui oleh
al-Kattaany dalam kitab Nadhmul Mutanatsir (hal 127). Lihat Limadza Ikhtartu
al-Manhajas Salafy (hal. 87).
[3]. Limadza
Ikhtartu al-Manhajas Salafy (hal. 86-87).
[4]. HR.
Ahmad (I/379), dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir (no. 3600). Lihat Majma’-uz
Zawaa-id (I/177-178).
[5]. Perawi
hadits adalah Irbadh bin Sariyah Abu Najih as-Salimi, beliau termasuk ahli
Suffah, tinggal di Himsha setelah penaklukan Makkah, tentang wafatnya ahli
sejarah berbeda pendapat, ada yang mengatakan tatkala peristiwa Ibnu Zubair,
adapula yang mengatakan tahun 75 H. Lihat al-Ishabah (II/473 no. 5501).
[6]. HR.
Ahmad (IV/126-127), Abu Dawud (no. 4607) dan at-Tirmidzi (no. 2676), ad-Darimy
(I/44), al-Baghawy dalam kitabnya Syarhus Sunnah (I/205), al-Hakim (I/95),
dishahihkan dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi, dan Syaikh al-Albany
menshahihkan juga hadits ini
[7]. HR. Abu
Dawud (no. 4597), Ahmad (IV/102), al-Hakim (I/128), ad-Darimy (II/241),
al-Aajury dalam asy-Asyari’ah, al-Laalikaa-iy dalam as-Sunnah (I/113 no.150).
Dishahihkan oleh al-Hakim dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi dari Mu’awiyah
bin Abu Sufyan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan hadits ini shahih
masyhur. Di-shahih-kan oleh Syaikh al-Albany. Lihat Silsilatul Ahaadits
Shahihah (no. 203 dan 204).
[8]. HR.
At-Tirmidzi (no. 2641) dari Shahabat ‘Abdullah bin Amr, dan di-hasan-kan oleh
Syaikh al-Albany dalam Shahihul Jami’ (no. 5343). Lihat Dar-ul Irtiyaab ‘an
Hadits Ma Ana ‘Alaihi wa Ash-habii oleh Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaaly, cet.
Daarul Raayah, 1410 H, sebagaimana juga telah saya terangkan panjang lebar
mengenai hadits Iftiraqul Ummah sebelum ini, walhamdulillah.
_________
C.
DALIL-DALIL DARI PENJELASAN SALAFUSH SHALIH
"Artinya
: Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Hendaklah kalian
mengikuti dan janganlah kalian ber-buat bid’ah. Sungguh kalian telah dicukupi
dengan Islam ini.” [1]
‘Abdullah
bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu juga mengatakan:
“ Artinya :
Barangsiapa di antara kalian yang ingin meneladani, hendaklah meneladani para
Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena sesungguhnya mereka
adalah ummat yang paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, paling sedikit
bebannya, dan paling lurus petunjuknya, serta paling baik keadaannya. Suatu
kaum yang Allah telah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya, untuk menegakkan
agama-Nya, maka kenalilah keutamaan mereka serta ikutilah atsar-atsarnya,
karena mereka berada di jalan yang lurus.” [2]
Imam
al-Auza’i rahimahullah (wafat th. 157 H) mengatakan:
"Artinya
: “Bersabarlah dirimu di atas Sunnah, tetaplah tegak seba-gaimana para Shahabat
tegak di atasnya. Katakanlah se-bagaimana yang mereka katakan, tahanlah dirimu
dari apa-apa yang mereka menahan diri darinya. Dan ikuti-lah jalan Salafush
Shalih, karena akan mencukupi kamu apa saja yang mencukupi mereka.” [3]
Beliau
rahimahullah juga berkata:
“Artinya :
Hendaklah kamu berpegang kepada atsar Salafush Shalih meskipun orang-orang
menolaknya dan jauhkanlah diri kamu dari pendapat orang meskipun ia hiasi
pendapat-nya dengan perkataannya yang indah.” [4]
Muhammad bin
Sirin rahimahullah (wafat th. 110 H) berkata:
"Artinya
:Mereka mengatakan: ‘Jika ada seseorang berada di atas atsar (sunnah), maka
sesungguhnya ia berada di atas jalan yang lurus.” [5]
Imam Ahmad
rahimahullah (wafat th. 241 H) berkata:
Ãõ
“Artinya :
Prinsip Ahlus Sunnah adalah berpegang dengan apa yang dilaksanakan oleh para
Shahabat ridhwanullahi ‘alaihim ajma’in dan mengikuti jejak mereka,
meninggalkan bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” [6]
Jadi, dari
penjelasan tersebut di atas dapat dikatakan bahwa Ahlus Sunnah meyakini bahwa
kema’shuman dan keselamatan hanya ada pada manhaj Salaf. Dan bahwa-sanya
seluruh manhaj yang tidak berlandaskan kepada al-Qur-an dan as-Sunnah MENURUT
PEMAHAMAN SALAFUS SHALIH adalah menyimpang dari ash Shirath al-Mustaqiim,
penyimpangan itu sesuai dengan kadar jauhnya mereka dari manhaj Salaf. Dan
kebenaran yang ada pada mereka juga sesuai dengan kadar kedekatan mereka dengan
manhaj Salaf. Sekiranya para pengikut manhaj-manhaj menyimpang itu mengikuti
pedoman manhaj mereka niscaya mereka tidak akan dapat mewu-judkan hakekat
penghambaan diri kepada Allah Jalla wa ’Ala sebagaimana mestinya selama mereka
jauh dari man-haj Salaf. Sekiranya mereka berhasil meraih tampuk ke-kuasaan
tidak berdasarkan pada manhaj yang lurus ini, maka janganlah terpedaya dengan
hasil yang mereka peroleh itu. Karena kekuasaan hakiki yang dijanjikan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah bagi orang-orang yang berada
di atas manhaj Salaf ini.
Janganlah
kita merasa terasing karena sedikitnya orang-orang yang mengikuti kebenaran dan
jangan pula kita terpedaya karena banyaknya orang-orang yang tersesat.
Ahlus Sunnah
meyakini bahwa generasi akhir ummat ini hanya akan menjadi baik dengan apa yang
menjadi-kan baik generasi awalnya. Alangkah meruginya orang-orang yang
terpedaya dengan manhaj (metode) baru yang menyelisihi syari’at dan melupakan
jerih payah Salafush Shalih. Manhaj (metode) baru itu semestinya dilihat
de-ngan kacamata syari’at bukan sebaliknya.
Fudhail bin
‘Iyad rahimahullah berkata:
“Artinya :
Ikutilah jalan-jalan petunjuk (Sunnah), tidak membahaya-kanmu sedikitnya orang
yang menempuh jalan tersebut. Jauh-kan dirimu dari jalan-jalan kesesatan dan
janganlah engkau tertipu dengan banyaknya orang yang menempuh jalan kebi-nasaan.”
[7]
PERHATIAN
PARA ULAMA TENTANG ‘AQIDAH SALAFUSH SHALIH
Sesungguhnya
para ulama mempunyai perhatian yang sangat besar terhadap ‘aqidah Salafush
Shalih. Mereka menulis kitab-kitab yang banyak sekali untuk menjelas-kan dan
menerangkan ‘aqidah Salaf ini, serta membantah orang-orang yang menentang dan
menyalahi ‘aqidah ini dari berbagai macam firqah dan golongan yang sesat.
Karena sesungguhnya ‘aqidah dan manhaj Salaf ini di-kenal dengan riwayat
bersambung yang sampai kepada imam-imam Ahlus Sunnah dan ditulis dengan
penjelasan yang benar dan akurat.
Adapun untuk
mengetahui ‘aqidah dan manhaj Salaf ini, maka kita bisa melihat:
Pertama.
penyebutan
lafazh-lafazh tentang ‘aqidah dan manhaj salaf yang diriwayatkan oleh para Imam
Ahlul Hadits dengan sanad-sanad yang sah.
Kedua
Yang
meriwayatkan ‘aqidah dan manhaj Salaf adalah seluruh ulama kaum Muslimin dari
berbagai ma-cam disiplin ilmu: Ahlul Ushul, Ahlul Fiqh, Ahlul Hadits, Ahlut
Tafsir, dan yang lainnya.
Sehingga
‘aqidah dan manhaj salaf ini diriwayatkan oleh para ulama dari berbagai
disiplin ilmu secara mutawatir.
Penulisan
dan pembukuan ‘aqidah dan manhaj salaf (seiring) bersamaan dengan penulisan dan
pembukuan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pentingnya
‘aqidah salaf ini di antara ‘aqidah-’aqidah yang lainnya, yaitu antara lain:
1. Bahwa
dengan ‘aqidah salaf ini seorang muslim akan mengagungkan al-Qur-an dan
as-Sunnah, adapun ‘aqi-dah yang lain karena mashdar-nya (sumbernya) hawa nafsu,
maka mereka akan mempermainkan dalil, sedang dalil dan tafsirnya mengikuti hawa
nafsu.
2. Bahwa
dengan ‘aqidah salaf ini akan mengikat seorang Muslim dengan generasi yang
pertama, yaitu para Sha-habat ridhwanullahi ‘alaihim jamii’an yang mereka itu
adalah sebaik-baik manusia dan ummat.
3. Bahwa
dengan ‘aqidah salaf ini, kaum Muslimin dan da’i-da’inya akan bersatu sehingga
dapat mencapai kemuliaan serta menjadi sebaik-baik ummat. Hal ini karena
‘aqidah salaf ini berdasarkan al-Qur-an dan as-Sunnah menurut pemahaman para
Shahabat. Adapun ‘aqidah selain ‘aqidah salaf ini, maka dengannya tidak akan
tercapai persatuan bahkan yang akan terjadi adalah perpecahan dan kehancuran.
Imam Malik berkata:
"Artinya
: “Tidak akan baik akhir ummat ini melainkan apabila mereka mengikuti baiknya generasi
yang pertama ummat ini (Shahabat).” [8]
4. Aqidah
salaf ini jelas, mudah dan jauh dari ta’wil, ta’thil, dan tasybih. Oleh karena
itu dengan kemudahan ini setiap muslim akan mengagungkan Allah Jalla wa ’Ala
dan akan merasa tenang dengan qadha’ dan qadar Allah Jalla wa ’Ala serta akan
mengagungkan-Nya.
5. ‘Aqidah
salaf ini adalah ‘aqidah yang selamat, karena as-Salafush Shalih lebih selamat,
tahu dan bijaksana (aslam, a’lam, ahkam). Dan dengan ‘aqidah salaf ini akan
membawa kepada keselamatan di dunia dan akhirat, oleh karena itu berpegang pada
‘aqidah salaf ini hu-kumnya wajib.
Foote
Note
[1].
Diriwayatkan oleh ad-Darimi I/69, Syarah Ushul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal
Jama’ah I/96 no. 104, oleh al-Laalikaa-iy, ath-Thabrany dalam al-Kabir,
sebagaimana kata al-Haitsamy dalam Majma’uz Zawaaid I/181.
[2].
Dikeluarkan oleh Ibnu Abdil Baar dalam kitabnya Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlih
II/947 no. 1810, tahqiq Abul Asybal Samir az-Zuhairy.
[3]. Syarh
Ushul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah 1/174 no. 315
[4]. Imam
al-Aajury dalam as-Syari’ah I/445 no. 127, di-shahih-kan oleh al-Albany dalam
Mukhtashar al-‘Uluw lil Imam adz-Dzahaby hal. 138, Siyar A’laam an-Nubalaa’
VII/120.
[5]. HR.
Ad-Darimy I/54, Ibnu Baththah dalam al-Ibanah ‘an Syari’atil Firqatin Najiyah
I/356 no. 242. Syarah Ushul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah oleh
al-Laalikaa-iy I/98 no. 109.
[6]Syarah
Ushul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah oleh al-Laalikaa-iy I/175-185 no. 317.
[7]. Lihat
al-I’tisham I/112
[8]. Lihat
Ighatsatul Lahfaan min Mashaayidhis Syaitan hal. 313, oleh Ibnul Qayyim, tahqiq
Khalid Abdul Latiif as-Sab’il ‘Alamiy, cet. Daarul Kitab ‘Araby, 1422 H. Sittu
Durar min Ushuli Ahli Atsar hal. 73 oleh ‘Abdul Malik bin Ahmad Ramadhany.
______________________
MARAJI’
1.
Bashaa-iru Dzaawi Syaraf bi Syarah Marwiyati Manhajis Salaf, oleh Syaikh Salim
bin Ied al-Hilaly, cet. Makta-bah al-Furqaan, th. 1421 H.
2. Tafsiir
al-Qayyim, oleh Syaikhul Islam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, cet. Daarul Kutub
al-‘Ilmiyyah th. 1398 H.
3. Limadza
Ikhtartu Manhajas Salafy, oleh Syaikh Salim bin Ied al-Hilaly, cet. Markaz
ad-Diraasah al-Man-hajiyyah as-Salafiyyah, th. 1420 H.
4. Musnad
Imam Ahmad, Imam Ahmad bin Hanbal, cet. Daarul Fikr, th. 1398 H.
5. Sunan
ad-Darimy, Imam ad-Darimy, cet. Daarul Fikr, th. 1398 H.
6.
Al-Mustadrak, Imam al-Hakim, cet. Daarul Fikr, th. 1398 H.
7. Syarhus
Sunnah, oleh Imam al-Baghawy, tahqiq: Syu’aib al-Arnauth dan Muhammad Zuhair
asy-Syawaisy, cet. Al-Maktab al-Islamy, th. 1403 H.
8. As-Sunnah
libni Abi ‘Ashim, takhrij Syaikh al-Albany.
9. Tafsiir
an-Nasaa-i, Imam an-Nasa-i, tahqiq: Shabri bin ‘Abdul Khaliq asy-Syafi’i dan
Sayyid bin ‘Abbas al-Jalimy, cet. Maktabah as-Sunnah, th. 1410 H.
10. Shahih
al-Bukhary.
11. Shahih
Muslim.
12.
Al-Ishaabah fii Tamyiiz ash-Shahaabah, Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalany.
13. Fa-idhul
Qadir, Imam al-Munawy.
14. Nadhmul
Mutanatsir, oleh al-Kattany.
15.
Majma’-uz Zawaa-id, oleh al-Hafizh al-Haitsamy, cet. Daarul Kitab
al-‘Araby-Beirut, th. 1402 H.
16. Musnad
Imam Ahmad bin Hanbal, tahqiq: Ahmad Mu-hammad Syakir, cet. Daarul Hadits, th.
1416 H.
17. Sunan
at-Tirmidzi.
18. Sunan
Abi Dawud.
19. Syarah
Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah, oleh Imam al-Lalikaa-i, cet. Daar
Thayyibah, th. 1418 H.
20.
Silsilatul Ahaadits ash-Shahiihah, oleh Imam Muham-mad Nashirudin al-Albany.
21. Shahihul
Jaami’ ash-Shaghir, oleh Imam Muhammad Nashirudin al-Albany.
22. Dar-ul
Irtiyaab ‘an Hadits Ma Ana ‘alaihi wa Ash-habii, oleh Syaikh Salim bin ‘Ied
al-Hilali, cet. Daarul Raayah, 1410 H.
23.
Al-Mu’jamul Kabiir, oleh Imam ath-Thabrany, tahqiq: Hamdi ‘Abdul Majid
as-Salafy, cet. Daar Ihyaa’ al-Turats al-‘Araby, th. 1404 H.
24. Jaami’
Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlih, oleh Imam Ibnu ‘Abdil Baar, tahqiq: Abul Asybal
Samir az-Zuhairy, cet. Daar Ibnul Jauzy, th. 1416 H.
25. Mukhtashar
al-‘Uluw lil Imam adz-Dzahaby, tahqiq: Imam Muhammad Nashiruddin al-Albany,
cet. Maktab al-Islamy, th. 1424 H.
26. Siyar
A’lamin Nubalaa’, oleh Imam adz-Dzahaby.
27.
Al-I’tishaam, oleh Imam asy-Syathiby, tahqiq: Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaly,
cet. Daar Ibni ‘Affan, tahun 1412 H.
28.
Ighatsatul Lahfaan min Mashaayidhisy Syaitan, oleh Ibnul Qayyim, tahqiq: Khalid
Abdul Latiif as-Sab’il ‘Alamiy, cetakan Daarul Kitab ‘Araby, th. 1422 H.
29. Sittu
Durar min Ushuli Ahlil Atsar, oleh ‘Abdul Malik bin Ahmad Ramadhany, cet.
Maktabah al-‘Umarain al-‘Ilmiyyah, th. 1420 H.
Sumber :
http://almanhaj.or.id/index.php?action=mo re&article_id=1276&bagian=0
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tambahkan komentar anda dengan santun