Hukum Puasa Ramadhan
Puasa dalam bahasa Arab disebut dengan “shaum”. Shaum secara bahasa bermakna imsak (menahan diri) dari makan, minum, berbicara, nikah dan berjalan. Sedangkan secara istilah shaum bermakna menahan diri dari segala pembatal dengan tata cara yang khusus.[1]
Puasa Ramadhan itu wajib bagi setiap muslim yang baligh (dewasa)[2], berakal[3], dalam keadaan sehat, dan dalam keadaan mukim (tidak bersafar)[4].
Yang menunjukkan bahwa puasa Ramadhan itu wajib adalah dalil Al Qur’an, As Sunnah bahkan kesepakatan para ulama (ijma’ ulama)[5].
Di antara dalil dari Al Qur’an adalah firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al Baqarah : 183)
Dalil dari As Sunnah adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
بُنِىَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ ،
وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَالْحَجِّ ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ
“Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya; menegakkan shalat; menunaikan zakat; menunaikan haji; dan berpuasa di bulan Ramadhan.”[6]
Wajibnya puasa ini juga sudah ma’lum minnad dini bidhoruroh yaitu secara pasti sudah diketahui wajibnya karena puasa adalah bagian dari rukun Islam[7]. Sehingga seseorang bisa jadi kafir jika mengingkari wajibnya hal ini.[8]
Peringatan bagi Orang yang Sengaja Membatalkan Puasa
Abu Umamah menuturkan bahwa beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Ketika aku tidur, aku didatangi oleh dua orang laki-laki, lalu keduanya menarik lenganku dan membawaku ke gunung yang terjal. Keduanya berkata, ”Naiklah”. Lalu kukatakan, ”Sesungguhnya aku tidak mampu.” Kemudian keduanya berkata, ”Kami akan memudahkanmu”. Maka aku pun menaikinya sehingga ketika aku sampai di kegelapan gunung, tiba-tiba ada suara yang sangat keras. Lalu aku bertanya,”Suara apa itu?” Mereka menjawab,”Itu adalah suara jeritan para penghuni neraka.”
Kemudian dibawalah aku berjalan-jalan dan aku sudah bersama orang-orang yang bergantungan pada urat besar di atas tumit mereka, mulut mereka robek, dan dari robekan itu mengalirlah darah. Kemudian aku (Abu Umamah) bertanya, ”Siapakah mereka itu?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
هَؤُلَاءِ الَّذِينَ يُفْطِرُونَ قَبْلَ تَحِلَّةِ صَوْمِهِمْ
”Mereka adalah orang-orang yang berbuka (membatalkan puasa) sebelum tiba waktunya.”[9]
Lihatlah siksaan bagi orang yang membatalkan puasa dengan sengaja dalam hadits ini, maka bagaimana lagi dengan orang yang enggan berpuasa sejak awal Ramadhan dan tidak pernah berpuasa sama sekali.
Adz Dzahabiy sampai-sampai mengatakan, “Siapa saja yang sengaja tidak berpuasa Ramadhan, bukan karena sakit atau uzur lainnya, maka dosa yang dilakukan lebih jelek dari dosa berzina, penarik upeti (dengan paksa), pecandu miras (minuman keras), bahkan orang seperti ini diragukan keislamannya dan disangka sebagai orang yang terjangkiti kemunafikan dan penyimpangan.”[10]
[1] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 28: 7.
[2] Tanda baligh adalah: (1) Ihtilam, yaitu keluarnya mani dalam keadaan sadar atau saat mimpi; (2) Tumbuhnya bulu kemaluan; atau (3) Dua tanda yang khusus pada wanita adalah haidh dan hamil. (Lihat Al Mawsua’ah Al Fiqhiyah, 8: 188-190).
Sebagian fuqoha menyatakan bahwa diperintahkan bagi anak yang sudah menginjak usia tujuh tahun untuk berpuasa jika ia mampu sebagaimana mereka diperintahkan untuk shalat. Jika ia sudah berusia 10 tahun dan meninggalkannya –padahal mampu-, maka hendaklah ia dipukul. (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 28: 20)
Imam Al Bukhari membawakan pula dalam kitab Shahihnya Bab “Puasanya anak kecil“. Lantas beliau membawakan hadits dari Ar Rubayyi’ binti Mu’awwidz. Ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang pada pagi hari di hari Asyura (10 Muharram) ke salah satu perkampungan Anshor, lantas beliau berkata, “Barangsiapa yang tidak berpuasa di pagi hari, maka hendaklah ia menyempurnakan sisa hari ini dengan berpuasa. Barangsiapa yang berpuasa di pagi harinya, hendaklah ia tetap berpuasa.” Ar Rubayyi’ berkata, “Kami berpuasa setelah itu. Dan kami mengajak anak-anak kami untuk berpuasa. Kami membuatkan pada mereka mainan dari bulu. Jika saat puasa mereka ingin makan, maka kami berikan pada mereka mainan tersebut. Akhirnya mereka terus terhibur sehingga mereka menjalankan puasa hingga waktu berbuka.” (HR. Bukhari no. 1960). Hadits ini menunjukkan bahwa hendaklah anak-anak dididik puasa sejak mereka kuat. Jika mereka ‘merengek’ ingin berbuka padahal belum waktunya, maka hiburlah mereka dengan mainan sehingga mereka terbuai. Akhirnya mereka nantinya bisa menjalankan puasa hingga waktu Maghrib.
[3] Bagaimana dengan orang yang pingsan?
Dijelaskan oleh Muhammad Al Hishni bahwa jika hilang kesadaran dalam keseluruhan hari (dari terbit fajar Shubuh hingga tenggelam matahari, -pen), maka tidak sah puasanya. Jika tidak, yaitu masih sadar di sebagian waktu siang, puasanya sah. Demikian menurut pendapat terkuat dari perselisihan kuat yang terdapat pada perkataan Imam Syafi’i. Lihat pembahasan Kifayatul Akhyar, hal. 251 dan Hasyiyah Al Baijuri, 1: 561.
Bagaimana dengan orang yang tidur seharian, apakah puasanya sah?
Ada ulama yang mengatakan tidak sah sebagaimana perihal pingsan di atas. Namun yang shahih dari pendapat madzhab Syafi’i, tidur seharian tersebut tidak merusak puasa karena orang yang tidur masih termasuk ahliyatul ‘ibadah yaitu orang yang dikenai kewajiban ibadah. Lihat pembahasan Kifayatul Akhyar, hal. 251.
[4] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 28: 20 dan Shahih Fiqh Sunnah, 2: 88. Ada ulama menambahkan syarat wujub shoum (syarat wajib puasa) yaitu mengetahui akan wajibnya puasa.
[5] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 28: 7.
[6] HR. Bukhari no. 8 dan Muslim no. 16, dari ‘Abdullah bin ‘Umar.
[7] Ad Daroril Mudhiyyah, hal. 263.
[8] Shahih Fiqh Sunnah, 2: 89.
[9] HR. Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya 7: 263, Al Hakim 1: 595 dalam mustadroknya. Adz Dzahabi mengatakan bahwa hadits ini shahih sesuai syarat Muslim namun tidak dikeluarkan olehnya. Penulis kitab Shifat Shaum Nabi (hal. 25) mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.
[10] Al Kabai-r, hal. 30.
Menghidupkan Bulan Ramadhan dengan Sunnah Puasa
“Barangsiapa ingin berpuasa, maka hendaklah dia bersahur.”
(HR. Ahmad. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani karena memiliki banyak syawahid.
Lihat Shohihul Jami’)
Berikut adalah sunnah-sunnah puasa yang dapat kita hidupkan
di bulan Ramadhan berdasarkan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Semoga bermanfaat.
- Mengakhirkan Sahur
Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan
dan menganjurkan kepada orang yang hendak berpuasa agar makan sahur. Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَصُومَ
فَلْيَتَسَحَّرْ بِشَىْءٍ
“Barangsiapa ingin berpuasa, maka
hendaklah dia bersahur.” (HR. Ahmad. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani
karena memiliki banyak syawahid. Lihat Shohihul Jami’)
Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan
demikian karena di dalam sahur terdapat keberkahan. Dari pembantu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam –Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu- berkata bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تَسَحَّرُوا
فَإِنَّ فِى السَّحُورِ بَرَكَةً
“Makan sahurlah karena sesungguhnya
pada sahur itu terdapat berkah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Keberkahan yang dimaksudkan di sini di antaranya adalah
dengan makan sahur seseorang akan menjadi kuat berpuasa mulai dari terbit fajar
hingga matahari tenggelam. (Lihat Syarh Riyadhus Sholihin, 3/451, Darul Kutub Al
‘Ilmiyah)
Barokah lain juga adalah sebagai pembeda antara puasa
Yahudi-Nashrani (Ahlul Kitab) dengan umat ini. Dari Amr bin ‘Ash radhiyallahu
‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَصْلُ
مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ
أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ
“Perbedaan antara puasa kita (umat
Islam) dan puasa ahlul kitab terletak pada makan sahur.” (HR. Muslim). Orang
ahli kitab ketika berpuasa, mereka makan sahur sebelum pertengahan malam dan
mereka tidak makan sahur sama sekali. Kaum muslimin diberi keutamaan dalam
berpuasa yaitu diberi kemudahan untuk makan sahur.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melarang untuk
meninggalkan sahur, di mana beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
السَّحُورُ
أَكْلُهُ بَرَكَةٌ فَلاَ تَدَعُوهُ وَلَوْ
أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جَرْعَةً مِنْ مَاءٍ فَإِنَّ
اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ
وَمَلاَئِكَتَهُ
يُصَلُّونَ عَلَى المُتَسَحِّرِينَ
“Sahur adalah makanan yang penuh
berkah. Oleh karena itu, janganlah kalian meninggalkannya sekalipun hanya
dengan minum seteguk air. Karena sesungguhnya Allah dan para malaikat
bershalawat kepada orang-orang yang makan sahur.” (HR. Ahmad. Dikatakan hasan
oleh Syaikh Al Albani dalam Shohihul Jami’)
Dan sangat dianjurkan untuk mengakhirkan waktu sahur hingga
menjelang fajar. Hal ini dapat dilihat dalam hadits Anas dari Zaid bin Tsabit
bahwasanya beliau pernah makan sahur bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri untuk menunaikan
shalat. Kemudian Anas berkata,”Berapa lama jarak antara adzan dan sahur
kalian?” Kemudian Zaid berkata,”Sekitar 50 ayat”. (HR. Bukhari dan Muslim)
- Menyegerakan berbuka
Menyegerakan berbuka akan mendatangkan kebaikan. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ
مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ
“Manusia akan senantiasa berada
dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Menyegerakan berbuka juga berarti seseorang konsisten dalam
menjalankan sunnah Nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا تَزَالُ أُمَّتِى عَلَى
سُنَّتِى مَا لَمْ تَنْتَظِرْ
بِفِطْرِهَا النُجُوْمَ
“Umatku akan senantiasa berada di
atas sunnahku selama tidak menunggu munculnya bintang untuk berbuka puasa.”
(HR. Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani
dalam Shohih Targib wa Tarhib). Dan inilah yang ditiru oleh Syi’ah Rafidhah,
mereka meniru Yahudi dan Nashrani dalam berbuka puasa yaitu baru berbuka ketika
munculnya bintang. Semoga Allah melindungi kita dari kesesatan mereka. (Lihat
Shifat Shoum Nabi, hal. 63)
Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berbuka puasa
sebelum menunaikan shalat maghrib dan bukanlah menunggu hingga shalat maghrib
selesai dikerjakan. Inilah contoh dan akhlaq dari suri tauladan kita
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu
berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- يُفْطِرُ
عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّىَ
فَإِنْ لَمْ
تَكُن رُطَبَاتٌ
فَعَلَى تَمَرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ
حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam biasanya berbuka dengan rothb (kurma basah) sebelum menunaikan shalat.
Jika tidak ada rothb, maka beliau berbuka dengan tamr (kurma kering). Dan jika
tidak ada yang demikian beliau berbuka dengan meminum air putih.” (HR. Abu Daud, dikatakan hasan shohih oleh Syaikh Al Albani
dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abu Daud). Hadits ini menunjukkan bahwa ketika
berbuka dianjurkan berbuka dengan kurma (rothb atau tamr) sebagaimana yang beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan.
- Berdo’a ketika berbuka
Perlu diketahui bersama bahwa do’a ketika berbuka adalah
salah satu do’a yang mustajab dan tidak akan ditolak. Maka berdo’alah dengan
penuh keyakinan bahwa do’amu akan dikabulkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
ثَلاَثَةٌ
لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الإِمَامُ
الْعَادِلُ وَالصَّائِمُ حِينَ يُفْطِرُ وَدَعْوَةُ
الْمَظْلُومِ
“Ada tiga orang yang do’anya tidak
ditolak :
- Pemimpin yang adil,
- Orang yang berpuasa ketika dia berbuka
- Do’a orang yang terdzolimi.
Do’a ketika berbuka adalah sebagaimana hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa dulu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berbuka beliau membaca :
ذَهَبَ
الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
“Dzahabadh dhoma’u wabtallatil
‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah (artinya: Rasa haus telah hilang dan
urat-urat telah basah, dan pahala telah ditetapkan insya Allah)” (HR. Abu Daud.
Dikatakan hasan oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud)
- Memberi makan orang berbuka
Para pembaca sekalian, beri makanlah kepada orang yang
berpuasa karena ini akan mendatangkan pahala dan kebaikan yang melimpah ruah.
Lihatlah apa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan,
مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ
لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ
أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ
أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا
“Siapa memberi makan orang yang
berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa
mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun juga.” (HR. Tirmidzi dan
dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Tirmidzi)
- Memperbanyak ibadah di bulan Ramadhan
Di antara petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
memperbanyak berbagai macam ibadah di bulan Ramadhan. Jibril ‘alaihis sallam biasa
membacakan Al Qur’an kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan
Ramadhan. Dan apabila Jibril menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
terlihat bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling
suka memberi bagaikan hembusan angin. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah sebaik-baik manusia yang paling banyak bersedekah, berbuat ihsan
(kebaikan), membaca Al Qur’an, shalat, dzikir dan i’tikaf. (Zadul Ma’ad, II/29,
Ibnul Qayyim, , Mawqi’ul Islam-Maktabah Syamilah)
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa
shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
I’tikaf di Sepuluh Hari Terakhir Ramadhan
Ibadah i’tikaf bertujuan mulia yaitu untuk menggapai malam
lailatul qadar yang punya keutamaan ibadah yang dilakukan lebih baik daripada
1000 bulan. Di antara tujuan i’tikaf adalah untuk menggapai malam tersebut. Dan
yang paling utama bila i’tikaf dilakukan di sepuluh hari terakhir dari bulan
Ramadhan. Mudah-mudahan kita diberikan jalan untuk melakukan ibadah i’tikaf
tersebut demi mencontoh sunnah Nabi kita -shallallahu ‘alaihi wa sallam-.
Ada hadits yang disebutkan oleh Ibnu Hajar Al Asqolani dalam
kitab beliau Bulughul Marom, yaitu hadits no. 699 tentang permasalahan i’tikaf.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا
قَالَتْ:- أَنَّ اَلنَّبِيَّ – صلى
الله عليه وسلم – كَانَ
يَعْتَكِفُ اَلْعَشْرَ اَلْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ, حَتَّى
تَوَفَّاهُ اَللَّهُ, ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ
مِنْ بَعْدِهِ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwasanya Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf di sepuluh hari terakhir dari
bulan Ramadhan hingga beliau diwafatkan oleh Allah. Lalu istri-istri beliau
beri’tikaf setelah beliau wafat. Muttafaqun ‘alaih. (HR. Bukhari no. 2026 dan
Muslim no. 1172).
Beberapa faedah dari hadits di atas:
1- Hadits di atas sebagai dalil mengenai anjuran i’tikaf di
sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
terus merutinkan hal itu hingga beliau meninggal dunia.
2- Hikmah dikhususkan sepuluh hari terakhir dengan i’tikaf
dapat dilihat pada hadits Abu Sa’id Al Khudri di mana Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
« إِنِّى
اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوَّلَ أَلْتَمِسُ هَذِهِ اللَّيْلَةَ ثُمَّ
اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوْسَطَ ثُمَّ أُتِيتُ فَقِيلَ
لِى إِنَّهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ
فَمَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ
يَعْتَكِفَ فَلْيَعْتَكِفْ ». فَاعْتَكَفَ النَّاسُ مَعَهُ
“Aku pernah melakukan i’tikaf pada sepuluh hari Ramadhan
yang pertama. Aku berkeinginan mencari malam lailatul qadar pada malam
tersebut. Kemudian aku beri’tikaf di pertengahan bulan, aku datang dan ada yang
mengatakan padaku bahwa lailatul qadar itu di sepuluh hari yang terakhir. Siapa
saja yang ingin beri’tikaf di antara kalian, maka beri’tikaflah.” Lalu di
antara para sahabat ada yang beri’tikaf bersama beliau. (HR. Bukhari no. 2018
dan Muslim no. 1167). Jadi, beliau -shallallahu ‘alaihi wa sallam- melakukan
i’tikaf supaya mudah mendapatkan malam lailatul qadar.
3- I’tikaf itu disyari’atkan setiap waktu, namun lebih
ditekankan lagi di bulan Ramadhan, lebih-lebih lagi di sepuluh hari terakhir
dari bulan suci tersebut.
4- Hukum i’tikaf masih tetap berlaku dan tidak terhapus,
juga bukan khusus untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena istri-istri
beliau pun beri’tikaf setelah beliau -shallallahu ‘alaihi wa sallam- wafat.
5- Dibolehkannya i’tikaf bagi wanita. Jumhur atau mayoritas
ulama mengatakan bahwa disunnahkan bagi para wanita untuk beri’tikaf
sebagaimana kaum pria. Namun dengan syarat, (1) i’tikaf tersebut dilakukan
dalam keadaan suci -bagi ulama yang mensyaratkan masuk masjid harus suci dari
haidh-, (2) harus bebas dari menimbulkan fitnah (godaan bagi pria), dan (3)
diizinkan oleh suami.
Kenapa harus diizinkan oleh suami? Karena Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ
تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidak boleh seorang wanita berpuasa
sedangkan suaminya ketika itu ada kecuali dengan izinnya” (HR. Bukhari no.
5195).
I’tikaf lebih dari pada itu, wallahu a’lam.
Semoga Allah memberi taufik pada kita untuk menghidupkan
hari-hari terakhir bulan Ramadhan dengan ibadah i’tikaf. Hanya Allah yang
memberi taufik dan petunjuk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tambahkan komentar anda dengan santun