Selasa, 30 Desember 2014

Hadits-Hadits Lemah Seputar Udh-hiyyah


Terdapat beberapa hadits lemah yang berkaitan dengan pembahasan. Sebagian hadits-hadits tersebut tergolong ke dalam hadits yang banyak disebut oleh lisan manusia pada bulan Dzulhijjah.
Kami menganggap bahwa merupakan suatu amalan yang baik untuk saling mengingatkan dalam hal tersebut.
Secara umum, Abu Bakr Ibnu Al-'Araby rahimahullâh memberikan sebuah kaidah. Beliau berkata, "Tidak ada satu hadits pun yang shahih (yang menjelaskan) tentang keutamaan udh-hiyyah. Manusia meriwayatkan, tentang (udh-hiyyah ini), hal-hal menakjubkan yang tidak sah (baca: lemah)."
Berikut kami meringkaskan hadits-hadits lemah yang berkaitan dengan pembahasan dari buku-buku yang ditulis oleh ahli hadits masa ini, Syaikh Muhammad Nâshiruddîn Al-Albâny rahimahullâh.
Hadits Pertama

مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ مِنْ عَمَلٍ يَوْمَ النَّحْرِ أَحَبَّ إِلَى اللهِ مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ إِنَّهَا لَتَأْتِيْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَشْعَارِهَا وَأَظْلاَفِهَا وَإِنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنَ اللهِ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ مِنَ الأَرْضِ فَطِيْبُوا بِهَا نَفْسًا


"Tidaklah anak Adam beramal, pada hari An-Nahr, dengan amalan yang lebih dicintai oleh Allah daripada pertumpahan darah. Sungguh (hewan sembelihan tersebut) akan datang, pada hari kiamat, dengan tanduk-tanduk, rambut-rambut, dan sepatu-sepatunya. Sesungguhnya darah itu telah memiliki kedudukan di sisi Allah sebelum jatuh ke bumi maka buatlah diri kalian bergembira dengannya."
Hadits di atas diriwayatkan oleh At-Tirmidzy, Ibnu Mâjah, Al-Hâkim, dan Al-Baghâwy dari Aisyah radhiyallâhu 'anhâ dari Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam.
Pada sanadnya, terdapat rawi yang bernama Abul Mutsanna Sulaiman bin Yazîd, seorang rawi yang sangat lemah. Hadits di atas dilemahkan oleh Al-Baghâwy, Al-Mundziry, Adz-Dzahâby, dan Al-Albâny. Bacalah Silsilah Al-Ahâdits Adh-Dha'îfah no. 526.
Hadits Kedua

Dari Zaid bin Arqam radhiyallâhu 'anhu, beliau berkata,

أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُولَ اللهِ مَا هَذِهِ الأَضَاحِيُّ قَالَ سُنَّةُ أَبِيْكُمْ إِبْرَاهِيمَ. قَالُوا فَمَا لَنَا فِيهَا يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ بِكُلِّ شَعَرَةٍ حَسَنَةٌ. قَالُوا فَالصُّوفُ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ بِكُلِّ شَعَرَةٍ مِنَ الصُّوفِ حَسَنَةٌ


"Para shahabat Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam bertanya, 'Wahai Rasulullah, apa udh-hiyyah ini?' Beliau menjawab, '(Ini adalah) sunnah kakek kalian, Ibrahim.' Mereka bertanya, 'Apa bagian kami dari (udh-hiyyah) itu, wahai Rasulullah?' Beliau menjawab, 'Pada setiap rambut, satu kebaikan.' Mereka bertanya, 'Bagaimana dengan rambut domba, wahai Rasulullah?' Beliau menjawab, 'Pada setiap rambut domba, satu kebaikan.'."
Hadits di atas diriwayatkan oleh Ibnu Mâjah, Ibnu 'Ady, Al-Hâkim, dan Al-Baihaqy.
Syaikh Al-Albâny memvonis hadits di atas sebagi hadits maudhû' 'palsu'. Bacalah Silsilah Al-Ahâdîts Adh-Dha'îfah no. 1050.
Hadits Ketiga
Dari 'Imrân bin Hushain radhiyallâhu 'anhu, Rasulullah bersabda shallallâhu 'alaihi wa sallam,

يَا فَاطِمَةُ قَوْمِيْ فَاشْهَدِيْ أُضْحِيَتَكِ فَإِنَّهُ يُغْفَرُ لَكِ بِأَوَّلِ قَطْرَةٍ تَقْطُرُ مِنْ دَمِهَا كُلُّ ذَنْبٍ عَمِلْتِيهِ وَقُولِيْ إِنَّ صَلاَتِيْ وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِيْ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ. قِيلَ : يَا رَسُولَ اللهِ هَذَا لَكَ وَلأَهْلِ بَيْتِكَ خَاصَّةً فَأَهْلُ ذَلِكَ أَنْتُمْ أَمْ لِلْمُسْلِمِينَ عَامَّةً قَالَ : بَلْ لِلْمُسْلِمِينَ عَامَّةً


"Wahai Fathimah, berdirilah kepada udh-hiyyah-mu dan persaksikanlah karena akan diampuni untukmu segala dosa yang engkau lakukan bersama awal tetesan yang menetes dari darah (udh-hiyyah-mu) itu. Katakanlah, 'Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya. Demikian itulah yang diperintahkan kepadaku, dan saya adalah orang yang pertama-tama berserah diri (kepada Allah).'." 'Imrân berkata, "Saya bertanya, 'Wahai Rasulullah, (apakah udh-hiyyah) ini untukmu dan keluargamu secara khusus sehingga kalianlah pemiliknya, ataukah untuk kaum muslimin secara umum?' Beliau menjawab, '(Tidak), tetapi (udh-hiyyah ini) untuk kaum muslimin secara umum.'."
Hadits di atas diriwayatkan oleh Ar-Rûyâny, Ath-Thabarâny, Al-Hâkim, Al-Baihaqy, Al-Khatîb, dan selain mereka.

Abu Hâtim rahimahullâh berkata, "Itu adalah hadits mungkar," demikian pula yang diikuti oleh Syaikh Al-Albâny dalam Silsilah Al-Ahâdîts Adh-Dha'îfah no. 528.
Pada Silsilah Al-Ahâdîts Adh-Dha'îfah no. 6828, Syaikh Al-Albâny juga menyebut hadits di atas dari riwayat Abu Sa'îd Al-Khudry radhiyallâhu 'anhu dengan vonis lemah, dan pada no. 6829 dalam kitab yang sama, dari hadits Ali bin Abi Thalib, beliau memvonis sebagai hadits palsu.
Hadits Keempat
Dari Al-Hasan bin Ali radhiyallâhu 'anhumâ, Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda,

من ضَحَّى طَيِّبَةً بها نَفْسُهُ مُحْتَسِبًا لأُضْحِيَّتِهِ كانت له حِجَابًا مِنَ النَّارِ


"Barangsiapa yang menyembelih dengan jiwa yang ridha serta semata mengahrap pahala udh-hiyyah, (amalan) itu adalah tirai baginya dari api neraka."
Hadits di atas diriwayatkan oleh Ath-Thabarâny 3/84/2836. Al-Haitsâmy menyebut bahwa, dalam sanad hadits tersebut, terdapat Sulaiman bin 'Amr An-Nakhâ`iy, seorang pendusta. Ibnu Hibbân menyebut bahwa Sulaiman memalsukan hadits. Oleh karena itu, hadits di atas divonis sebagi hadits maudhû' 'palsu' oleh Syaikh Al-Albâny dalam Silsilah Al-Ahâdîts Adh-Dha'îfah no. 829.
Hadits Kelima
Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu 'anhu, dari Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ ضَحُّوْا وَاحْتَسِبُوْا بِدِمَائِهَا فَإِنَّ الدَّمَ وَإِنْ وَقَعَ فِي الْأَرْضِ فَإِنَّهُ يَقَعُ فِيْ حِرْزِ اللهِ جَلَّ وَعَزَّ


"Wahai sekalian manusia, ber-udh-hiyyah-lah dan haraplah pahala dari darah (udh-hiyyah) itu karena darah itu –walaupun jatuh ke bumi- sungguh telah jatuh ke dalam penjagaan Allah."
Hadits di atas diriwayatkan oleh Ath-Thabarâny dalam Al-Mu'jam Al-Ausath 8/176/8319.
Al-Haitsamy menyebut bahwa, dalam sanad hadits itu, ada 'Amr bin Al-Hushain Al-'Uqaily, seorang matrûkul hadits 'haditsnya ditinggalkan'.
Syaikh Al-Albâny memvonis hadits ini sebagai hadits maudhû' 'palsu'. Bacalah Silsilah Al-Ahâdîts Adh-Dha'îfah no. 530.
Hadits Keenam
Dari Jâbir radhiyallâhu 'anhumâ, beliau berkata,

إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَبَحَ يَوْمَ الْعِيدِ كَبْشَيْنِ ثُمَّ قَالَ حِينَ وَجَّهَهُمَا إِنِّى وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ حَنِيْفاً مُسْلِماً وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ إِنَّ صَلاَتِيْ وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِيْ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ بِسْمِ اللهِ وَاللهُ أَكْبَرُ اللَّهُمَّ مِنْكَ وَلَكَ عَنْ مُحَمَّدٍ وَأُمَّتِهِ


"Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam ber-udh-hiyyah pada hari 'Id dengan (menyembelih) dua ekor kambing. Tatkala menghadapkan (kambing) tersebut, beliau berkata, 'Sesungguhnya saya menghadapkan wajahku dengan lurus kepada Yang Maha menciptakan langit dan bumi serta saya bukanlah dari kalangan musyrikin. Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya. Demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan saya adalah orang yang pertama-tama berserah diri (kepada Allah). Ya Allah, dari-Mu dan bagi-Mu untuk Muhammad dan umatnya.'."
Hadits di atas diriwayatkan oleh Abu Dâwud, Ibnu Mâjah, dan selainnya, dilemahkan oleh Al-Albâny dalam Dha'îf Sunan Abi Dâwud no. 273.
Hadits Ketujuh
Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu 'anhu, beliau berkata,

أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَسْتَشْرِفَ الْعَيْنَ وَالأُذُنَ وَأَنْ لاَ نُضَحِّيَ بِعَوْرَاءَ وَلاَ مُقَابَلَةٍ وَلاَ مُدَابَرَةٍ وَلاَ شَرْقَاءَ وَلاَ خَرْقَاءَ


"Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam memerintahku untuk memeriksa mata dan telinga (hewan udh-hiyyah) secara teliti. Kami tidak boleh ber-udh-hiyyah dengan hewan yang buta, yang ujung telinganya terpotong, yang akhir telinganya terpotong, yang telinganya dilubang sebagai tanda, dan yang telinganya terbelah."
Hadits di atas diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dâwud, Al-Hâkim, dan selain mereka. Dilemahkan oleh Syaikh Al-Albâny dalam Dha'îf Sunan Abi Dâwud no. 487.
Hadits Kedelapan
Dari Abu Hurairah radhiyallâhu 'anhu, beliau berkata, "Seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam. Dia berkata, 'Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang seseorang di antara kami yang menyembelih, (tetapi) dia lupa menyebut nama Allah?' Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda,

اسمُ اللهِ عَلَى فَمِ كُلِّ مُسْلِمٍ


'Nama Allah berada di atas mulut setiap muslim.'."
Hadits di atas diriwayatkan oleh Ad-Dâraquthny, Ath-Thabarâny dalam Al-Ausath, Al-Baihaqy, dan Ibnul Jauzy dalam At-Tahqîq. Dalam sanadnya, terdapat rawi yang bernama Marwân bin Sâlim, rawi yang dianggap sangat lemah oleh Ahmad, Al-Bukhâry, Ad-Dâraquthny, dan selain mereka.
Hadits di atas divonis maudhû' 'palsu' oleh Al-Albâny dalam Silsilah Al-Ahâdîts Adh-Dha'îfah no. 2774.
Hadits Kesembilan
Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda,

ذَبِيحَةُ الْمُسْلِمِ حَلاَلٌ ذَكَرَ اسْمَ اللهِ أَوْ لَمْ يَذْكُرْهُ إِنَّهُ إِنْ ذَكَرَ لَمْ يَذْكُرْ إِلاَّ اسْمَ اللهِ


"Sembelihan seorang muslim adalah halal, baik dia menyebut nama Allah maupun tidak, karena, bila menyebut, tidaklah dia menyebut kecuali nama Allah."
Hadits di atas diriwayatkan secara mursal oleh Abu Dâwud dan selainnya dari Ash-Shalt. Hadits yang semakna dengannya diriwayatkan pula oleh Al-Hârits dari Mursal Râsyid bin Sa'd. demikian keterangan Al-Albâny dalam Irwâ'ul Ghalîl no. 2538.

Sabtu, 27 Desember 2014

Keutamaan Shalat Dhuha



Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda,

يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلاَمَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ 
 صَدَقَةٌ وَنَهْىٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى

“Pada pagi hari diharuskan bagi seluruh persendian di antara kalian untuk bersedekah. Setiap bacaan tasbih (subhanallah) bisa sebagai sedekah, setiap bacaan tahmid (alhamdulillah) bisa sebagai sedekah, setiap bacaan tahlil (laa ilaha illallah) bisa sebagai sedekah, dan setiap bacaan takbir (Allahu akbar) juga bisa sebagai sedekah. Begitu pula amar ma’ruf (mengajak kepada ketaatan) dan nahi mungkar (melarang dari kemungkaran) adalah sedekah. Ini semua bisa dicukupi (diganti) dengan melaksanakan shalat Dhuha sebanyak 2 raka’at” (HR. Muslim no. 720).
Padahal persendian yang ada pada seluruh tubuh kita sebagaimana dikatakan dalam hadits dan dibuktikan dalam dunia kesehatan adalah 360 persendian. ‘Aisyah pernah menyebutkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

 إِنَّهُ خُلِقَ كُلُّ إِنْسَانٍ مِنْ بَنِى آدَمَ عَلَى سِتِّينَ وَثَلاَثِمَائَةِ مَفْصِلٍ

“Sesungguhnya setiap manusia keturunan Adam diciptakan dalam keadaan memiliki 360 persendian” (HR. Muslim no. 1007).
Hadits ini menjadi bukti selalu benarnya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun sedekah dengan 360 persendian ini dapat digantikan dengan shalat Dhuha sebagaimana disebutkan pula dalam hadits dari Buraidah, beliau mengatakan bahwa beliau pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَبِى بُرَيْدَةَ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « فِى الإِنْسَانِ سِتُّونَ وَثَلاَثُمِائَةِ مَفْصِلٍ فَعَلَيْهِ أَنْ يَتَصَدَّقَ عَنْ كُلِّ مَفْصِلٍ مِنْهَا صَدَقَةً ». قَالُوا فَمَنِ الَّذِى يُطِيقُ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « النُّخَاعَةُ فِى الْمَسْجِدِ تَدْفِنُهَا أَوِ الشَّىْءُ تُنَحِّيهِ عَنِ الطَّرِيقِ فَإِنْ لَمْ تَقْدِرْ فَرَكْعَتَا الضُّحَى تُجْزِئُ عَنْكَ

“Manusia memiliki 360 persendian. Setiap persendian itu memiliki kewajiban untuk bersedekah.” Para sahabat pun mengatakan, “Lalu siapa yang mampu bersedekah dengan seluruh persendiannya, wahai Rasulullah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan, “Menanam bekas ludah di masjid atau menyingkirkan gangguan dari jalanan. Jika engkau tidak mampu melakukan seperti itu, maka cukup lakukan shalat Dhuha dua raka’at.” (HR. Ahmad, 5: 354. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih ligoirohi)

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Hadits dari Abu Dzar adalah dalil yang menunjukkan keutamaan yang sangat besar dari shalat Dhuha dan menunjukkannya kedudukannya yang mulia. Dan shalat Dhuha bisa cukup dengan dua raka’at” (Syarh Muslim, 5: 234).

Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Hadits Abu Dzar dan hadits Buraidah menunjukkan keutamaan yang luar biasa dan kedudukan yang mulia dari Shalat Dhuha. Hal ini pula yang menunjukkan semakin disyari’atkannya shalat tersebut. Dua raka’at shalat Dhuha sudah mencukupi sedekah dengan 360 persendian. Jika memang demikian, sudah sepantasnya shalat ini dapat dikerjakan rutin dan terus menerus” (Nailul Author, 3: 77)


Kamis, 25 Desember 2014

Mencontoh Ahlak Ulama


Istri syaikh Al-Albani rahimahullah menceritakan:

suatu hari syaikh naik mobil dan di mobil ada siaran radio dengan ceramah yang isinya menghujat syaikh Albani bahkan fitnah
Akan tetapi istrinya berkata:
tidak ada sedikitpun raut kebencian dan dendam dari beliau, mukanya biasa saja (tidak langsung membuat bantahan, disebarkan dll)
karena beliau tidak pernah membela diri, tetapi membela agama Allah
Begitu juga dengan salah satu kisah Ibnu Taimiyah:
Suatu saat musuh beliau (seorang muslim) yang sering mencela dan memfitnah beliau meninggal,
maka mulailah para muridnya berkomentar
tetapi ditahan oleh Ibnu Taimiyah,
Beliaupun ke rumah musuhnya
beliau mendoakan dan datang ke keluarga dan anak2nya kemudian berkata:
"Anggaplah saya orang tua kalian, jika ada sesuatu katakan kepada saya"

Inilah akhlak ulama yang sangat jauh dari kita, kita kebanyakan membela diri dan gengsi kita
sedangkan para ulama tidak membela diri tetapi membela agama Allah

ketika ada yang mencela atau sindir sedikit, kita langsung panas, langsung bantah dan langsung mengeluarkan pernyataan dan disebarluaskan
ada yang komen nyeleneh, kita balas dengam komentar lebih pedas lagi

yang seharusnya kita lembut, menginginkn kebaikan padanya dan membalas dengan bahasa yang lebih baik.

Rabu, 24 Desember 2014

Turun Sujud Mendahulukan Tangan Atau Lutut Dulu?



Oleh: Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat

Dari Abu Hurairah, dia berkata Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam telah bersabda: ” Apabila salah seorang dari kamu sujud maka janganlah di turun (ke sujud) sebagaimana turunnya onta, dan hendaklah dia meletakkan kedua tangannya (turun dengan kedua tangannya lebih dahulu) sebelum kedua lututnya “.
Hadits riwayat Abu Dawud (840) dan lain-lain sebagaimana telah saya terangkan takhrijnya di kitab saya Takhrij Sunan Abi Dawud (no.840 & 841).
Dalam lafazh yang lain (841):
Dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam telah bersabda: ” Sengaja salah seorang dari kamu di dalam shalatnya turun (ke sujud) sebagaimana turunnya onta “.
Dari hadits ini dapat di ambil faedah – terlepas dari perselisihan tentang sah atau tidaknya hadits ini yang membutuhkan pembahasan tersendiri di lain waktu insyaa Allahu Ta’ala, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam telah melarang kita turun ke sujud sebagaimana turunnya onta. Yakni beliau melarang kita menyerupai keadaan sifat dan turunnya onta. Sedangkan sifat turunnya onta sebagaimana telah disaksikan oleh manusia adalah di mulai dari bagian anggota badannya yang depan turun lebih dahulu kemudian yang belakang.
Maka setelah kita tahu apabila kita turun ke sujud mendahulukan kedua tangan kemudian baru kedua kaki, tidak ragu lagi bahwa perbuatan kita yang turun sujud dengan kedua tangan lebih dulu  telah menyerupai sifat turunnya onta yang telah dilarang Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Karena maksud yang besar dari larangan beliau shallallahu’alaihi wa sallam di dalam hadits ini ialah agar kita tidak menyerupai keadaan dan sifat turunnya onta ketika kita turun ke sujud. Akan tetapi kalau kita turun ke sujud dengan kedua kaki terlebih dulu berarti kita telah menyalahi atau berbeda dengan keadaan dan sifat turunnya onta.
Inilah yang diperintah!
Wajib berbeda dengan sifat turunnya onta!
Dilarang menyerupai keadaan dan sifat turunnya onta!
Apakah ketika kita turun ke sujud dengan tangan atau kaki lebih dulu tidak jadi masalah atau sama saja, karena yang terpenting atau yang menjadi asas (dasar) dari hadits adalah larangan menyerupai sifat turunnya onta.
  • Kalau onta ketika turun memulai dari bagian anggota badannya yang belakang… Maka, ketika kita turun ke sujud dengan kedua kaki lebih dulu berarti kita telah menyerupai sifat turunnya onta…
  • Kalau onta ketika turun memulai dari bagian anggota badannya yang depan… Maka, ketika kita turun ke sujud dengan kedua tangan lebih dulu berarti kita telah menyerupai sifat turunnya onta…
Manusia telah menyaksikan dengan mata kepala mereka dan sebagiannya lagi telah mendengar dari berita mutawaatir yang sampai kepada mereka, bahwa onta ketika turun dari depan dulu kemudian yang belakang.
Maka berarti…
Oleh karena itu sebagian dari ahli tahqiq seperti Ibnul Qayyim [1] dan Syaikhul Imam Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin [2] mengatakan, bahwa bagian yang kedua dari hadits ini yaitu lafazh:
“…..dan hendaklah dia meletakkan kedua tangannya (turun dengan kedua tangannya lebih dulu) sebelum kedua lututnya “.
Lafazhnya terbalik. Hal ini disebabkan kekeliruan dari sebagian rawi hadits, sehingga terjadilah kontradiksi (pertentangan) di dalam hadits ini antara bagian pertama dengan bagian kedua:
Bagian pertama melarang turun ke sujud menyerupai turunnya onta. Sedangka turunnya onta telah diketahui secara pasti yaitu dari depan dulu kemudian belakang.
Bagian kedua sebagaimana lafazh di atas.
Maka terjadilah pertentangan yang tidak mungkin jama’!
Karena kalau kita turun ke sujud dengan kedua tangan lebih dulu, maka tidak ada ragu lagi, turunnya kita telah menyerupai keadaan dan sifat turunnya onta. Seperti yang saya kataka sebelum ini, apakah ketika kita turun ke sujud dengan tangan atau kaki lebih dulu tidak jadi masalah dan sama saja, karena yang terpenting atau yang menjadi asas (dasar) dari maksud hadits adalah larangan menyerupai sifat turunnya onta.
Maka dari itu sebagian muhaqqiq dengan tegas mengatakan, tidak ragu lagi bahwa bagian kedua dari hadits lafazhnya terbalik atau maqlub dalam istilah hadits, yang seharusnya lafazhnya demikian:
“….dan hendaklah dia meletakkan kedua lututnya (turun dengan kedua lututnya terlebih dulu) sebelum kedua tangannya “.
Walhasil, permasalahan ini sangat menarik sekali khususnya bagi para pelajar ilmiyyah, yang dengan sebabnya mereka dapat menimba ilmu yang banyak sekali dari khilaf ilmiyyah fiqhiyyahh ijtihadiyyah. Karena masing-masing mujtahid dari para imam memiliki penelitian yang kadang-kadang berbeda dari apa yang dihasilkan oleh saudaranya. Kemudian para pelajar ilmiyyah melakukan tarjih ilmiyyah dalam masalah-masalah yang seperti ini.
Adapun umumnya kaum muslimin yang tidak memiliki kemampuan dan tidak memiliki keahlian atau tidak menguasai beberapa disiplin ilmu yang dengan sebabnya mereka dapat menentukan pilihan berdasarkan ilmu yang mereka kuasai, maka dalam keadaan seperti ini tentunya mereka taqlid kepada sebagian ulama mujtahidin. Karena hakikat dari taqlid itu adalah jahil (tidak tahu). Maka dari itu para ulama mengatakan, bahwa muqallid bukan seorang yang alim. Apabila mereka (para muqallid) mencampuri yang mereka sama sekali tidak mempunyai bagian ilmiyyah, berarti mereka telah memasuki rumah tidak melalui pintunya, maka hal ini merupakan musibah ilmiyyah dan amaliyyah di dalam islam. Kemudian yang akan terjadi, pastilah ilmu akan dia sia-siakan, para ulama akan ditinggalkan dan Agama dijadikan permainan.
Pembahasan ini – yakni mengenai mujtahid bersama pelajar ilmiyyah yang mempunyai kemampuan disiplin ilmu dan muqallid bersama taqlidnya dan yang berkaitan dengannya – sangat luas sekali seperti yang sering saya jelaskan di majelis-majelis ilmu khususnya di majelis pembacaan kitab shahih Bukhari dan Syarahnya Fat-hul Baari sabtu pagi di Masjid Al Mubarak (Kota) [3]
Saya walaupun merajihkan turun ke sujud dengan kaki lebih dulu, tetapi saya selalu menasehati janganlah masalah-masalah yang seperti ini di jadikan ajang pertengkaran yang asasnya tidak lain melainnkan hawa dan kejahilan.
Footnote:
[1] Zaadul Ma’aad juz 1 hal: 215-224 cet: Muassasah Ar Risalah di tahqiq oleh syaikh Syu’aib Al Arnauth dab Abdul Qadir Al Arnauth.
[2] Majmu’ Fatawa wa Rasaa-il syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin jilid 3 hal: 170-183.
[3] Kajian rutin (khusus ikhwan) yang diasuh oleh beliau setiap hari Sabtu pagi di Masjid Jami Al-Mubarak, Krukut, Jl. Gajah Mada (dibelakang gedung Pos Kota) Jakarta Barat. Masih berlangsung hingga sekarang [tambahan dari admin]
Disalin dari Kitab Al-Masaa-il Jilid 10 hal.311-315 (Masalah ke 360) oleh guru kami Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat ~semoga Allah menjaganya~
—­­­­­­­­­­­­­­­
#Catatan: dalam masalah ini saya (admin) lebih memilih pendapat Asy Syaikh Al Albani rahimahullah (yakni mendahulukan tangan kemudian lutut) sebagaimana yang beliau jelaskan panjang lebar dalam kitab beliau “Sifat Shalat Nabi”. Ketika menjelaskan hadits yang disampaikan Ustadz Abdul Hakim diatas.
Beliau (Syaikh Al-Albani) mengatakan, Sanad hadits ini Shahih. Para perawinya tsiqah dan merupakan perawi-perawi yang dipergunakan oleh Muslim, kecuali Muhammad bin Abdullah bin al-Hasan, dia ma’ruf dengan hadits-hadits tentang tazkiyah an-nafs, dia seorang al Alawi (Ahlul Bait Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Dia perawi yang tsiqah) seperti yang dikatakan oleh an Nasa’i dan yang lainnya. Dan diikuti oleh al Hafizh di dalam at Taqrib.
Oleh karena itulah, an Nawawi di dalam Majmu’ (3/421) dan az Zurqani di dalam Syarh al Muwahib (7/320) berkata, ” Sanadnya Jayyid “. Untuk pembahasan lengkapnya silahkan lihat “Sifat Shalat Nabi”. Wallahu a’lam.