Sabtu, 21 Februari 2015

Tak Perlu Khawatir dengan Rezeki Bagian ke-2

Allah SWT telah menjamin rezeki untuk setiap makhluk-Nya. Tiada suatu binatang melatapun yang tidak mendapat jaminan rezeki dari-Nya (QS. Huud [11]: 6). 

Manusia pun telah dijamin rezekinya oleh Allah SWT asal ia mau berusaha, karena sesungguhnya Allah SWT tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu mau merubahnya sendiri.

Banyak sekali ayat-ayat al-Quran dan hadits Nabi Saw yang selalu mendorong agar manusia memiliki semangat dalam mencari karunia (rezeki) Allah SWT itu. Alah SWT berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi itu (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur” (QS. Al-A’raf [7]: 10).

Pada suatu ketika Rasulullah Saw sedang duduk-duduk dengan para sahabat, tiba-tiba tampaklah di sana seseorang yang masih muda yang amat kuat dan tubuhnya kekar. Pagi-pagi ia telah berangkat bekerja dengan penuh semangat. Para sahabat berkata, “Kasihan sekali pemuda ini, andaikata usianya yang masih muda dan tenaga yang masih kuat itu dia pergunakan untuk berjuang fi sabilillah, alangkahbaiknya“.

Mendengar ucapan sahabat itu, Rasulullah lantas berkata, “Janganlah kamu berkata seperti itu, sebab orang itu kalau keluarnya tadi dari rumah untuk bekerja guna mengusahakan kehidupan anaknya yang masih kecil, maka ia telah berusaha di jalan Allah. Jikalau ia bekerja untuk dirinya sendiri agar ia tidak sampai meminta-meminta pada orang lain, itu pun dijalan Allah. Tetapi apabila ia bekerja karena untuk berpamer atau untuk bermegah-megah, maka itulah fi sabilisysyaithan atau karena kamu mengikut jalan syaitan.” (HR. Thabrani).
Sebagaimana hadits di atas menguraikan dan tampak bahwa mencari rezeki itu ada yang termasuk kategori fisabilillah ada juga yang fisabilisysyaithan. Kedua jalan itu jelas bertentangan. Jalan yang pertama jelas membuahkan keberkahan dan kebahagiaan. Sedang jalan kedua akan membuahkan kecelakaan dan kesengsaraan.

Tetapi namanya manusia, terkadang ia terbius dan tergila-gila dengan keindahan materi dunia, sehingga ia memilih jalan syaithan. Sebab menurutnya melalui jalan Allah (jalan yang lurus) tidak akan mendapatkan materi yang banyak. Maka dilaluilah jalan syaithan, yakni segala cara ditempuhnya dengan tidak mempertimbangkan halal atau haram.

Sebagai orang yang beriman haruslah kita yakin bahwa hanya dengan melalui jalan yang benar sajalah akan didapat rezeki yang berkah. Hal ini seperti ditegaskan Allah SWT dalam sebuah hadits Qudsi, Allah SWT berfirman kepada para malaikat yang diserahi tugas urusan rezeki Bani Adam, “hamba mana pun yang kalian dapati yang cita-citanya hanya satu (yaitu semata-mata untuk akhirat, jaminlah rezekinya di langit dan di bumi. Dan hamba manapun yang kalian dapati mencari rezeki dengan jujur karena berhati-hati mencari keadilan, berilah ia rezeki yang baik dan mudahkanlah baginya. Dan jika ia telah melampaui batas kepada selain itu, biarkanlah dia sendiri mengusahakan apa yang dikehendakinya. Kemudian dia tidak akan mencapai lebih dari apa yang telah Aku tetapkan untuknya“. (HR. Abu Naim dari Abu Hurairah).

Maka dari itu hendaknya kita mencari rezeki harus mengikuti akhlak yang telah diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Yaitu:

Niat yang Benar
Rasulullah Saw bersabda, “Seluruh amal tergantung pada niatnya“. Sebagai seorang muslim dalam melakukan seluruh aktifitas termasuk mencari rezeki hendaknya secara ikhlas, yakni semata-mata karena Allah SWT. Harus disadari bahwa yang dilihat oleh Allah SWT adalah bagaimana kita melakukan aktifitas mencari rezeki, bukan seberapa banyak rezeki yang kita dapat dari suatu aktifitas yang kita lakukan.

Tidak Menzhalimi
Seorang muslim yang niatnya benar, yaitu karena dan untuk Allah SWT, maka ia pantang bekerja dengan menzhalimi orang lain. Betapa banyak orang yang tega menohok teman karena persaingan bisnis.

Banyak orang rela pergi ke dukun (dan sejenisnya) hanya untuk mengalahkan saingannya. Banyak orang yang dengan tega memungut dan memeras bawahan yang lemah tanpa alasan yang jelas. Demikian ada juga orang yang mengharuskan orang lain untuk memberikan uang pelicin (suap) agar ia dapat diterima kerja atau agar masalahnya cepat selesai dan lain-lain.

Bersyukur
Setelah rezeki (harta benda) ada ditangan, seseorang harus yakin bahwa semuanya itu hanyalah semata-mata anugerah Allah SWT, bahkan hakekatnya itu semua hanyalah milik Allah SWT. Sedangkan ia hanya dititipi saja. Maka dari itu ia wajib bersyukur, yaitu dengan mengakui bahwa semua itu adalah dari-Nya dan milik-Nya, dan tugasnya adalah mendayagunakan rezeki-rezeki tersebut untuk tujuan-tujuan usaha yang diridhai Allah SWT. Termasuk diantaranya berbagi kepada sesama, khususnya kepada orang-orang yang diwajibkan kepada pemilik rezeki untuk mengeluarkan sebagian rezekinya untuk mereka.


Kamis, 19 Februari 2015

Tak Perlu Khawatir dengan Rezeki

Rezeki kita sudah diatur dan sudah ditentukan. Kita tetap berikhtiar. Namun tetap ketentuan rezeki kita sudah ada yang mengatur. So, tak perlu khawatir akan rezeki.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
Allah telah mencatat takdir setiap makhluk sebelum 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi.” (HR. Muslim no. 2653, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash)
Dalam hadits lainnya disebutkan,
إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْقَلَمَ فَقَالَ اكْتُبْ. فَقَالَ مَا أَكْتُبُ قَالَ اكْتُبِ الْقَدَرَ مَا كَانَ وَمَا هُوَ كَائِنٌ إِلَى الأَبَدِ
Sesungguhnya awal yang Allah ciptakan (setelah ‘arsy, air dan angin) adalah qalam (pena), kemudian Allah berfirman, “Tulislah”. Pena berkata, “Apa yang harus aku tulis”. Allah berfirman, “Tulislah takdir berbagai kejadian dan yang terjadi selamanya.” (HR. Tirmidzi no. 2155. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Ibnul Qayyim berkata,
“Fokuskanlah pikiranmu untuk memikirkan apapun yang diperintahkan Allah kepadamu. Jangan menyibukkannya dengan rezeki yang sudah dijamin untukmu. Karena rezeki dan ajal adalah dua hal yang sudah dijamin, selama masih ada sisa ajal, rezeki pasti datang. Jika Allah -dengan hikmahNya- berkehendak menutup salah satu jalan rezekimu, Dia pasti –dengan rahmatNya- membukan jalan lain yang lebih bermanfaat bagimu.
Renungkanlah keadaan janin, makanan datang kepadanya, berupa darah dari satu jalan, yaitu pusar.
Lalu ketika dia keluar dari perut ibunya dan terputus jalan rezeki itu, Allah membuka untuknya DUA JALAN REZEKI yang lain [yakni dua puting susu ibunya], dan Allah mengalirkan untuknya di dua jalan itu; rezeki yang lebih baik dan lebih lezat dari rezeki yang pertama, itulah rezeki susu murni yang lezat.
Lalu ketika masa menyusui habis, dan terputus dua jalan rezeki itu dengan sapihan, Allah membuka EMPAT JALAN REZEKI lain yang lebih sempurna dari yang sebelumnya; yaitu dua makanan dan dua minuman. Dua makanan = dari hewan dan tumbuhan. Dan dua minuman = dari air dan susu serta segala manfaat dan kelezatan yang ditambahkan kepadanya.
Lalu ketika dia meninggal, terputuslah empat jalan rezeki ini, Namun Allah –Ta’ala- membuka baginya -jika dia hamba yang beruntung- DELAPAN JALAN REZEKI, itulah pintu-pintu surga yang berjumlah delapan, dia boleh masuk surga dari mana saja dia kehendaki.
Dan begitulah Allah Ta’ala, Dia tidak menghalangi hamba-Nya untuk mendapatkan sesuatu, kecuali Dia berikan sesuatu yang lebih afdhol dan lebih bermanfaat baginya. Dan itu tidak diberikan kepada selain orang mukmin, karenanya Dia menghalanginya dari bagian yang rendahan dan murah, dan Dia tidak rela hal tersebut untuknya, untuk memberinya bagian yang mulia dan berharga.” (Al Fawaid, hal. 94, terbitan Maktabah Ar Rusyd, tahqiq: Salim bin ‘Ied Al Hilali)
Masihkah kita khawatir dengan rezeki?
Ingatlah, rezeki selain sudah diatur, juga sudah dibagi dengan adil.
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ وَلَكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيرٌ بَصِيرٌ
Dan jikalau Allah melapangkan rezki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.” (QS. Asy Syuraa: 27)
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Allah memberi rizki pada mereka sesuai dengan pilihan-Nya dan Allah selalu melihat manakah yang maslahat untuk mereka. Allah tentu yang lebih mengetahui manakah yang terbaik untuk mereka. Allah-lah yang memberikan kekayaan bagi mereka yang Dia nilai pantas menerimanya. Dan Allah-lah yang memberikan kefakiran bagi mereka yang Dia nilai pantas menerimanya.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6: 553)
Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.

Artikel Rumaysho.Com

Kamis, 05 Februari 2015

Keutamaan Shalat Malam Dan Anjurannya

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan di dalam al-Qur-an pada banyak ayat dan juga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam banyak hadits tentang besarnya pahala yang diperoleh dari melaksanakan shalat malam. Bahkan, ketahuilah wahai pembaca yang budiman –sebelum kami memaparkan ayat-ayat dan hadits-hadits tersebut– bahwa shalat yang paling baik setelah shalat wajib adalah shalat malam, dan hal ini telah menjadi ijma' (kesepakatan) ulama.[1] 

Ayat-Ayat Tentang Keutamaan Shalat Malam Dan Anjurannya
Di dalam banyak ayat, Allah Subhanahu wa Ta’ala menganjurkan kepada Nabi-Nya yang mulia untuk melakukan shalat malam. Antara lain adalah:

وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ

"Dan pada sebagian malam hari shalat Tahajjud-lah kamu...." [Al-Israa'/17: 79]

وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ بُكْرَةً وَأَصِيلًا وَمِنَ اللَّيْلِ فَاسْجُدْ لَهُ وَسَبِّحْهُ لَيْلًا طَوِيلًا 

"Dan sebutlah nama Rabb-mu pada (waktu) pagi dan petang. Dan pada sebagian dari malam, maka sujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya pada bagian yang panjang di malam hari." [Al-Insaan/76: 25-26].

وَمِنَ اللَّيْلِ فَسَبِّحْهُ وَأَدْبَارَ السُّجُودِ

"Dan bertasbihlah kamu kepada-Nya di malam hari dan setiap selesai shalat." [Qaaf/50: 40].

وَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ فَإِنَّكَ بِأَعْيُنِنَا ۖ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ حِينَ تَقُومُ وَمِنَ اللَّيْلِ فَسَبِّحْهُ وَإِدْبَارَ النُّجُومِ 

"Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Rabb-mu, maka sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan Kami, dan bertasbihlah dengan memuji Rabb-mu ketika kamu bangun berdiri, dan bertasbihlah kepada-Nya pada be-berapa saat di malam hari dan waktu terbenam bintang-bintang (di waktu fajar)." [Ath-Thuur/52: 48-49]

Allah Subhanahu wa Ta’ala bahkan memerintahkan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila telah selesai melakukan shalat wajib agar melakukan shalat malam,[2] hal itu sebagaimana terdapat pada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَارْغَبْ 

"Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Rabb-mu-lah hendaknya kamu berharap." [Asy-Syarh/94 : 7-8)

Allah Subhanahu wa Ta’ala pun memuji para hamba-Nya yang shalih yang senantiasa melakukan shalat malam dan bertahajjud, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ 

"Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah)." [Adz-Dzaariyaat/51: 17-18]

Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhumamengatakan, "Tak ada satu pun malam yang terlewatkan oleh mereka melainkan mereka melakukan shalat walaupun hanya beberapa raka'at saja."[3] 

Al-Hasan al-Bashri berkata, "Setiap malam mereka tidak tidur kecuali sangat sedikit sekali."[4] 

Al-Hasan juga berkata, "Mereka melakukan shalat malam dengan lamanya dan penuh semangat hingga tiba waktu memohon ampunan pada waktu sahur."[5] 

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam memuji dan menyanjung mereka:

تَتَجَافَىٰ جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ 

"Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdo’a kepada Rabb-nya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkah-kan sebagian dari rizki yang Kami berikan ke-pada mereka. Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata, sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan." [As-Sajdah/32: 16-17]

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, "Yang dimaksud dengan apa yang mereka lakukan adalah shalat malam dan meninggalkan tidur serta berbaring di atas tempat tidur yang empuk."[6] 

Al-'Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, "Cobalah renungkan bagaimana Allah membalas shalat malam yang mereka lakukan secara sembunyi dengan balasan yang Ia sembunyikan bagi mereka, yakni yang tidak diketahui oleh semua jiwa. Juga bagaimana Allah membalas rasa gelisah, takut dan gundah gulana mereka di atas tempat tidur saat bangun untuk melakukan shalat malam dengan kesenangan jiwa di dalam Surga."[7] 

Dari Asma' binti Yazid Radhiyallahu anha, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا جَمَعَ اللهُ اْلأَوَّلِيْنَ وَاْلآخِرِيْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، جَاءَ مُنَادٍ فَنَادَى بِصَوْتٍ يَسْمَعُ الْخَلاَئِقُ: سَيَعْلَمُ أَهْلُ الْجَمْعِ اَلْيَوْمَ مَنْ أَوْلَى بِالْكَرَمِ، ثُمَّ يَرْجِعُ فَيُنَادِي: لِيَقُمَ الَّذِيْنَ كاَنَتْ (تَتَجَافَى جُنُوْبُهُمْ) فَيَقُوْمُوْنَ وَهُمْ قَلِيْلٌ.

"Bila Allah mengumpulkan semua manusia dari yang pertama hingga yang terakhir pada hari Kiamat kelak, maka datang sang penyeru lalu memanggil dengan suara yang terdengar oleh semua makhluk, 'Hari ini semua yang berkumpul akan tahu siapa yang pantas mendapatkan kemuliaan!' Kemudian penyeru itu kembali seraya berkata, 'Hendaknya orang-orang yang 'lambungnya jauh dari tempat tidur' bangkit, lalu mereka bangkit, sedang jumlah mereka sedikit."[8] 

Di antara ayat-ayat yang memuji orang-orang yang selalu melakukan shalat malam adalah firman Allah:

أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الْآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ

"(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (adzab) akhirat dan mengharapkan rahmat Rabb-nya?..." [Az-Zumar/39: 9].

لَيْسُوا سَوَاءً ۗ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ أُمَّةٌ قَائِمَةٌ يَتْلُونَ آيَاتِ اللَّهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَهُمْ يَسْجُدُونَ

"Mereka itu tidak sama, di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (shalat)." [Ali ‘Imraan/3: 113]

وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا

"Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Rabb mereka." [Al-Furqaan/25: 64]

سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ

"Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud...." [Al-Fat-h/48: 29]

الصَّابِرِينَ وَالصَّادِقِينَ وَالْقَانِتِينَ وَالْمُنْفِقِينَ وَالْمُسْتَغْفِرِينَ بِالْأَسْحَارِ

"(Yaitu) orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap taat, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah), dan yang memohon ampun di waktu sahur." [Ali-'Imran/3: 17].

Dan lain sebagainya dari ayat-ayat al-Qur-an.

Saya katakan, "Barangsiapa yang menginginkan pengetahuan yang bermanfaat dan faidah yang banyak, hendaknya menelaah penafsiran ayat-ayat ini dalam kitab-kitab tafsir, karena di sana terdapat manfaat dan faidah yang amat besar. Saya sengaja tidak memaparkannya di sini, semata karena komitmen saya untuk membahas secara ringkas dan tidak mendalam."

Hadits-Hadits Tentang Keutamaan Shalat Malam Dan Anjurannya:
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa menganjurkan kepada para Sahabatnya untuk melakukan shalat malam dan membaca al-Qur-an di dalamnya. Hadits-hadits yang mengungkapkan tentang hal ini sangat banyak untuk dapat dihitung. Namun kami hanya akan menyinggung sebagiannya saja, berikut panda-ngan para ulama sekitar masalah ini.

Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ صَلاَةِ الْمَفْرُوْضَةِ، صَلاَةُ اللَّيْلِ.

"Shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat yang dilakukan di malam hari."[9] 

Al-Bukhari rahimahullah berkata: "Bab Keutamaan Shalat Malam." Selanjutnya ia membawakan hadits dengan sanadnya yang sampai kepada Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhuma, bahwa ia berkata: "Seseorang di masa hidup Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila bermimpi menceritakannya kepada beliau. Maka aku pun berharap dapat bermimpi agar aku ceritakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saat aku muda aku tidur di dalam masjid lalu aku bermimpi seakan dua Malaikat membawaku ke Neraka. Ternyata Neraka itu berupa sumur yang dibangun dari batu dan memiliki dua tanduk. Di dalamnya terdapat orang-orang yang aku kenal. Aku pun ber ucap, 'Aku berlindung kepada Allah dari Neraka!' Ibnu 'Umar melanjutkan ceritanya, 'Malaikat yang lain menemuiku seraya berkata, 'Jangan takut!' Akhirnya aku ceritakan mimpiku kepada Hafshah dan ia menceritakannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda:

نِعْمَ الرَّجُلُ عَبْدُ اللهِ، لَوْ كَانَ يُصَلِّي مِنَ اللَّيْلِ.

'Sebaik-baik hamba adalah ‘Abdullah seandainya ia melakukan shalat pada sebagian malam.'

Akhirnya 'Abdullah tidak pernah tidur di malam hari kecuali hanya beberapa saat saja."[10] 

Ibnu Hajar berkata: "Yang menjadi dalil dari masalah ini adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: 'Sebaik-baik hamba adalah 'Abdullah seandainya ia melakukan shalat pada sebagian malam.' Kalimat ini mengindikasikan bahwa orang yang melakukan shalat malam adalah orang yang baik."[11] 

Ia berkata lagi, "Hadits ini menunjukkan bahwa shalat malam bisa menjauhkan orang dari adzab."[12] 

‘Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata: "Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu melakukan shalat malam hingga kedua telapak kakinya pecah-pecah."[13] 

Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَعْقِدُ الشَّيْطَانُ عَلَى قَافِيَةِ رَأْسِ أَحَدِكُمْ إِذَا هُوَ نَامَ ثَلاَثَ عُقَدٍ يَضْرِبُ كُلَّ عُقْدَةٍ: عَلَيْكَ لَيْلٌ طَوِيْلٌ فَارْقُدْ! فَإِنِ اسْتَيْقَظَ فَذَكَرَ اللهَ اِنْحَلَّتْ عُقْدَةٌ، فَإِنْ تَوَضَّأَ اِنْحَلَّتْ عُقْدَةٌ، فَإِنْ صَلَّى اِنْحَلَّتْ عُقْدَةٌ، فَأَصْبَحَ نَشِيْطًا طَيِّبَ النَّفْسِ، وَإِلاَّ أَصْبَحَ خَبِيْثَ النَّفْسِ كَسْلاَنَ.

"Syaitan mengikat di pangkal kepala seseorang darimu saat ia tidur dengan tiga ikatan yang pada masing-masingnya tertulis, 'Malammu sangat panjang, maka tidurlah!' Bila ia bangun lalu berdzikir kepada Allah, maka satu ikatan lepas, bila ia berwudhu’ satu ikatan lagi lepas dan bila ia shalat satu ikatan lagi lepas. Maka di pagi hari ia dalam keadaan semangat dengan jiwa yang baik. Namun jika ia tidak melakukan hal itu, maka di pagi hari jiwanya kotor dan ia menjadi malas."[14] 

Ibnu Hajar berkata: "Apa yang terungkap dengan jelas dalam hadits ini adalah, bahwa shalat malam memiliki hikmah untuk kebaikan jiwa walaupun hal itu tidak dibayangkan oleh orang yang melakukannya, dan demikian juga sebaliknya. Inilah yang diisyaratkan Allah dalam firman-Nya:

إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْئًا وَأَقْوَمُ قِيلًا

"Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyu') dan bacaan di waktu itu lebih terkesan." [Al-Muzzammil/73: 6]

Sebagian ulama menarik kesimpulan dari hadits ini bahwa orang yang melakukan shalat malam lalu ia tidur lagi, maka syaitan tidak akan kembali untuk mengikat dengan beberapa ikatan seperti semula."[15] 

Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْـدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ، وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيْضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ.

"Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah (berpuasa pada) bulan Allah yang mulia (Muharram) dan shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam."[16] 

An-Nawawi rahimahullah berkata: "Hadits ini menjadi dalil bagi kesepakatan ulama bahwa shalat sunnah di malam hari adalah lebih baik daripada shalat sunnah di siang hari."[17] 

Ath-Thibi berkata: "Demi hidupku, sungguh, seandainya tidak ada keutamaan dalam melakukan shalat Tahajjud selain pada firman Allah:

وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَىٰ أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا

"Dan pada sebagian malam hari bershalat ta-hajjudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Rabb-mu mengang-katmu ke tempat yang terpuji." [Al-Israa’/17: 79]

Dan juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

تَتَجَافَىٰ جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ 

"Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdo’a kepada Rabb-nya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka, yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata..." [As-Sajdah/32: 16-17].

Juga ayat-ayat yang lainnya, maka hal itu sudah cukup menjadi bukti keistimewaan shalat ini."[18] 

Dari 'Abdullah bin 'Amr bin al-'Ash Radhiyallahu anhuma ia menuturkan, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَحَبُّ الصَّلاَةِ إِلَى اللهِ صَلاَةُ دَاوُدَ، وَأَحَبُّ الصِّيَامِ إِلَى اللهِ صِيَامُ دَاوُدَ: كاَنَ يَنَامُ نِصْفَ اللَّيْلِ وَيَقُوْمُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ، وَيَصُوْمُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا.

"Shalat yang paling dicintai Allah adalah shalat Nabi Dawud Alaihissallam dan puasa yang paling dicintai Allah juga puasa Nabi Dawud Alaihissallam. Beliau tidur setengah malam, bangun sepertiga malam dan tidur lagi seperenam malam serta berpuasa sehari dan berbuka sehari."[19] 

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: "Al-Mahlabi mengatakan Nabi Dawud Alaihissallam mengistirahatkan dirinya dengan tidur pada awal malam lalu ia bangun pada waktu di mana Allah menyeru, 'Adakah orang yang meminta?, niscaya akan Aku berikan permintaannya!' lalu ia meneruskan lagi tidurnya pada malam yang tersisa sekedar untuk dapat beristirahat dari lelahnya melakukan shalat Tahajjud. Tidur terakhir inilah yang dilakukan pada waktu Sahur. Metode seperti ini lebih dicintai Allah karena bersikap sayang terhadap jiwa yang dikhawatirkan akan merasa bosan (jika dibebani dengan beban yang berat,-ed) dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

إِنَّ اللهَ لاَ يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوْا.

'Sesungguhnya Allah tidak akan pernah merasa bosan sampai kalian sendiri yang akan merasa bosan.'

Allah Subhanahu wa Ta’ala ingin selalu melimpahkan karunia-Nya dan memberikan kebaikan-Nya."[20] 

Dari Jabir bin 'Abdillah Radhiyallahu anhu ia berkata, aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ فِي اللَّيْلِ لَسَاعَـةً، لاَ يُوَافِقُهَا رَجُـلٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللهَ خَيْرًا مِنْ أَمْرِ الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ إِلاَّ أَعْطَاهُ إِيَّاهُ، وَذَلِكَ كُلَّ لَيْلَةٍ.

"Sesungguhnya di malam hari terdapat waktu tertentu, yang bila seorang muslim memohon kepada Allah dari kebaikan dunia dan akhirat pada waktu itu, maka Allah pasti akan memberikan kepadanya, dan hal tersebut ada di setiap malam."[21] 

An-Nawawi rahimahullah berkata, "Hadits ini menetapkan adanya waktu dikabulkannya do’a pada setiap malam, dan mengandung dorongan untuk selalu berdo’a di sepanjang waktu malam, agar mendapatkan waktu itu."[22] 

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia menuturkan, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

رَحِمَ اللهُ رَجُـلاً، قَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّى، وَأَيْقَظَ اِمْرَأَتَهُ فَصَلَّتْ، فَإِنْ أَبَتْ نَضَحَ فِيْ وَجْهِهَا الْمَاءَ، وَرَحِمَ اللهُ اِمْرَأَةً، قَامَتْ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّتْ، وَ أَيْقَظَتْ زَوْجَهَا، فَإِنْ أَبَى نَضَحَتْ فِيْ وَجْهِهِ الْمَاءَ.

"Semoga Allah merahmati seorang suami yang bangun di waktu malam lalu shalat dan ia pun membangunkan isterinya lalu sang istri juga shalat. Bila istri tidak mau bangun ia percikkan air ke wajahnya. Semoga Allah merahmati seorang isteri yang bangun di waktu malam lalu ia shalat dan ia pun membangunkan suaminya. Bila si suami enggan untuk bangun ia pun memercikkan air ke wajahnya."[23] 

Dari Abu Sa'id al-Khudri Radhiyallahu anhu ia menuturkan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنِ اسْتَيْقَظَ مِنَ اللَّيْلِ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ فَصَلَّيَا رَكْعَتَيْنِ جَمِيْعًا، كُتِبَا مِنَ الذَّاكِرِيْنَ اللهَ كَثِيْرًا وَالذَّاكِرَاتِ.

"Barangsiapa yang bangun di waktu malam dan ia pun membangunkan isterinya lalu mereka shalat bersama dua raka'at, maka keduanya akan dicatat termasuk kaum laki-laki dan wanita yang banyak berdzikir kepada Allah."[24] 

Al-Munawi berkata, "Hadits ini seperti dikemukakan oleh ath-Thibi menunjukkan bahwa orang yang mendapatkan kebaikan seyogyanya menginginkan untuk orang lain apa yang ia inginkan untuk dirinya berupa kebaikan, lalu ia pun memberikan kepada yang terdekat terlebih dahulu."[25] 

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ia menuturkan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ يُبْغِضُ كُلَّ جَعْظَرِيٍّ جَوَّاظٍ، صَحَّابٍ فِي اْلأَسْوَاقِ، جِيْفَةٍ بِاللَّيْلِ، حِمَارٍ بِالنَّهَارِ، عَالِمٍ بِأَمْرِ الدُّنْيَا جَاهِلٍ بِأَمْرِ اْلآخِرَةِ.

"Sesungguhnya Allah membenci setiap orang yang perilakunya kasar, sombong, tukang makan dan minum serta suka berteriak di pasar. Ia seperti bangkai di malam hari dan keledai di siang hari. Dia hanya tahu persoalan dunia tapi buta terhadap urusan akhirat.'"[26] 

Dari Anas Radhiyallahu anhu ia menuturkan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

جَعَلَ اللهُ عَلَيْكُمْ صَلاَةَ قَوْمٍ أَبْرَارٍ يَقُوْمُوْنَ اللَّيْلَ وَيَصُوْمُوْنَ النَّهَارَ، لَيْسُوْا بِأَثَمَةٍ وَلاَ فُجَّارٍ.

“Allah telah menjadikan pada kalian shalat kaum yang baik; mereka shalat di waktu malam dan berpuasa di waktu siang. Mereka bukanlah para pelaku dosa dan orang-orang yang jahat.”[27] 

Dari 'Abdullah bin Salam Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Yang pertama kali aku dengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sabda beliau:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَفْشُوا السَّلاَمَ، وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ، وَصِلُوا اْلأَرْحَـامَ، وَصَلُّوْا بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ، تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ بِسَلاَمٍ.

"Wahai manusia, tebarkan salam, berilah makan, sambunglah tali silaturahmi dan shalatlah di malam hari saat manusia tertidur, niscaya kalian akan masuk ke dalam Surga dengan selamat."[28]

'Abdullah bin Qais mengatakan, bahwa ‘Aisyah Radhiyallahun anhuma berkata: "Janganlah kalian meninggalkan shalat malam karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkannya. Jika beliau sakit atau malas, beliau shalat dalam keadaan duduk."[29] 

Dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu anhu ia menuturkan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَضْلُ صَلاَةِ اللَّـيْلِ عَلَى صَلاَةِ النَّهَارِ، كَفَضْلِ صَدَقَةِ السِّرِّ عَلَى صَدَقَةِ الْعَلاَنِيَةِ.

"Keutamaan shalat malam atas shalat siang, seperti keutamaan bersedekah secara sembunyi atas bersedekah secara terang-terangan."[30] 

Dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu anhu ia menuturkan pula, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَلاَ إِنَّ اللهَ يَضْحَكُ إِلَى رَجُلَيْنِ: رَجُلٌ قَـامَ فِيْ لَيْلَةٍ بَارِدَةٍ مِنْ فِرَاشِهِ وَلِحَافِهِ وَدِثَارِهِ، فَتَوَضَّأَ ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ، فَيَقُوْلُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ لِمَلاَئِكَتِهِ: مَا حَمَلَ عَـبْدِيْ هَذَا عَلَى مَا صَنَعَ؟ فَيَقُوْلُوْنَ: رَبُّنَا رَجَاءً مَا عِنْدَكَ وَشَفَقَةً مِمَّا عِنْدَكَ، فَيَقُوْلُ: فَإِنِّي قَدْ أَعْطَيْتُهُ مَا رَجَا وَأَمَّنْتُهُ مِمَّا يُخَافُ.

"Ketahuilah, sesungguhnya Allah tertawa terhadap dua orang laki-laki: Seseorang yang bangun pada malam yang dingin dari ranjang dan selimutnya, lalu ia berwudhu’ dan melakukan shalat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada para Malaikat-Nya, 'Apa yang mendorong hamba-Ku melakukan ini?' Mereka menjawab, 'Wahai Rabb kami, ia melakukan ini karena mengharap apa yang ada di sisi-Mu dan takut dari apa yang ada di sisi-Mu pula.' Allah berfirman, 'Sesungguhnya Aku telah memberikan kepadanya apa yang ia harapkan dan memberikan rasa aman dari apa yang ia takutkan.'"[31] 

Masih banyak lagi hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan tentang keutamaan shalat malam, dorongan terhadapnya dan kedudukan orang-orang yang senantiasa melakukannya.

Atsar Sahabat Dan Kaum Salaf Tentang Keutamaan Shalat Malam Dan Anjurannya
Dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu anhu, ia berkata, "Sesungguhnya di dalam Taurat tertulis, 'Sungguh Allah telah memberikan kepada orang-orang yang lambungnya jauh dari tempat tidur apa yang tidak pernah terlihat oleh mata, tidak pernah terdengar oleh telinga dan tidak pernah terlintas dalam hati manusia, yakni apa yang tidak di-ketahui oleh Malaikat yang dekat kepada Allah dan Nabi yang diutus-Nya.'"[32] 

Dari Ya’la bin ‘Atha' ia meriwayatkan dari bibinya Salma, bahwa ia berkata, "'Amr bin al-'Ash berkata, 'Wahai Salma, shalat satu raka'at di waktu malam sama dengan shalat sepuluh raka'at di waktu siang."[33] 

'Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu berkata, "Seandainya tidak ada tiga perkara; seandainya aku tidak pergi berjihad di jalan Allah, seandainya aku tidak mengotori dahiku dengan debu karena ber-sujud kepada Allah dan seandainya aku tidak duduk bersama orang-orang yang mengambil kata-kata yang baik seperti mereka mengambil kurma-kurma yang baik, maka aku merasa senang berjumpa dengan Allah."[34] 

Saat menjelang wafatnya Ibnu 'Umar, ia berkata, "Tidak ada sesuatu yang sangat aku sedihkan di dunia ini selain rasa dahaga di siang hari dan kelelahan di malam hari."

Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma berkata, "Kemulian seseorang terletak pada shalatnya di malam hari dan sikapnya menjauhi apa yang ada pada tangan orang lain."[35] 

Thalhah bin Mashraf berkata, "Aku mendengar bila seorang laki-laki bangun di waktu malam untuk melakukan shalat malam, Malaikat memanggilnya, 'Berbahagialah engkau karena engkau telah menempuh jalan para ahli ibadah sebelummu.'" Thalhah mengatakan lagi, "Malam itu pun berwasiat kepada malam setelahnya agar membangunkannya pada waktu di mana ia bangun." Thalhah mengatakan lagi, "Kebaikan turun dari atas langit ke pembelahan rambutnya dan ada penyeru yang berseru, 'Seandainya seorang yang bermunajat tahu siapa yang ia seru, maka ia tidak akan berpaling (dari munajatnya).’”[36] 

Dari al-Hasan al-Bashri berkata, “Kami tidak mengetahui amal ibadah yang lebih berat daripada lelahnya melakukan shalat malam dan menafkahkan harta ini.”[37] 

Al-Hasan juga pernah ditanya, “Mengapa orang yang selalu melakukan shalat Tahajjud wajahnya lebih indah?” Ia menjawab, “Sebab mereka menyendiri bersama ar-Rahman (Allah), sehingga Allah memberikan kepadanya cahaya-Nya.”[38] 

Syuraik berkata, “Barangsiapa yang banyak shalatnya di malam hari, maka wajahnya akan tampak indah di siang hari."[39] 

Yazid ar-Riqasyi berkata, "Shalat malam akan menjadi cahaya bagi seorang mukmin pada hari Kiamat kelak dan cahaya itu akan berjalan dari depan dan belakangnya. Sedangkan puasa seorang hamba akan menjauhkannya dari panasnya Neraka Sa'ir."[40] 

Wahab bin Munabih berkata, "Shalat di waktu malam akan menjadikan orang yang rendah kedudukannya, mulia, dan orang yang hina, berwibawa. Sedangkan puasa di siang hari akan mengekang seseorang dari dorongan syahwatnya. Tidak ada istirahat bagi seorang mukmin tanpa masuk Surga."[41] 

Al-Awza'i berkata, "Aku mendengar barangsiapa yang lama melakukan shalat malam, maka Allah akan meringankan siksanya pada hari Kiamat kelak."[42] 

Ishaq bin Suwaid berkata, "Orang-orang Salaf memandang bahwa berekreasi adalah dengan cara puasa di siang hari dan shalat di malam hari."[43] 

Saya katakan, "Dari pemaparan terdahulu jelaslah bahwa shalat malam memiliki keutamaan yang besar dan hanya orang yang merugi yang meninggalkannya."

Kita berlindung kepada Allah dari kerugian dan hanya Dia-lah tempat memohon pertolongan.

[Disalin dari kitab "Kaanuu Qaliilan minal Laili maa Yahja’uun" karya Muhammad bin Su'ud al-‘Uraifi diberi pengantar oleh Syaikh 'Abdullah al-Jibrin, Edisi Indonesia Panduan Lengkap Shalat Tahajjud, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
____________________________________________________________________
Footnote
[1]. Lihat Haasyiyatur Raudhil Murbi’, (II/219).
[2]. Lihat Tafsiir Fat-hul Qadiir oleh as-Syaukani, (V/667).
[3]. Tafsiir ath-Thabari, (XIII/197)
[4]. Ibid (XIII/200).
[5]. Ibid.
[6]. Tafsiir Ibni Katsir (VI/363).
[7]. Baca Haadil Arwaah ilaa Bilaadil Afraah oleh Ibnul Qayyim (hal. 278).
[8]. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Ya'la dalam al-Musnadul Kabiir (IV/373) dari hadits Asma' binti Yazid x. Juga diriwayatkan oleh al-Mundziri dalam at-Targhiib wat-Tarhiib, (I/215).
[9]. HR. Muslim, kitab ash-Shiyaam bab Fadhli Shaumil Mu-harram, (no. 1163).
[10]. HR. Al-Bukhari, kitab al-Jumu'ah, bab Fadhli Qiyaamul Lail, (hadits no. 1122) dan Muslim, kitab Fadhaa-ilish Sha-haabah bab Fiqhi Fadhaa-ili ‘Abdillah bin ‘Umar c, (hadits no. 2479).
[11]. Fat-hul Baarii (III/9).
[12]. Ibid, (III/10).
[13]. HR. Al-Bukhari, kitab Tafsiirul Qur-aan bab Liyaghfirallaahu laka maa Taqaddama min Dzanbika… (hadits no. 4837) dan Muslim, kitab Shifatul Qiyaamah bab Iktsaaril A’maal wal Ijtihaadi fil 'Ibaadah (hadits no. 2820).
[14]. HR. Al-Bukhari, kitab at-Tahajjud, bab 'Aqdisy Syaithaani 'alaa Qaafiyatir Ra'-si idzza lam Yushshalli bil Lail, (hadits no. 1142) dan Muslim, kitab Shalaatil Musaafiriin, bab Maa Warada fii man Naamal Laila Ajma'a hatta Ashbaha, (hadits no. 776).
[15]. Fat-hul Baarii (III/33).
[16]. Telah ditakhrij sebelumnya.
[17]. Lihat Shahiih Muslim bi Syarhin Nawawi (VIII/55).
[18]. Lihat Tuhfatul Ahwadzii bisy Syarh Jaami'it Tirmidzi oleh al-Mubarakfuri, (II/425).
[19]. HR. Al-Bukhari dalam Shahiihnya kitab Ahaadiitsil Anbiyaa’, bab Ahabbish Shalaati ilallaah Shalaati Dawud... (hadits no. 3420) dan Muslim dalam kitab ash-Shiyaam bab an-Nahyi 'an Shawmid Dahr, (hadits no. 1159).
[20]. Fat-hul Baarii (III/21).
[21]. HR. Muslim dalam kitab Shalaatul Musaafiriin, bab Fil Laili Saa'tun Mustajaabun fii had Du'aa', (hadits no. 757).
[22]. Lihat Shahiih Muslim bi Syarhin Nawawi (VI/36).
[23]. HR. Abu Dawud dalam kitab ash-Shalaah, bab Qiyaamul Lail, (hadits no. 1308), an-Nasa-i dalam kitab Qiyaamul Lail, bab at-Targhiibu fii Qiyaamil Lail, (hadits no. 1610), Ibnu Majah dalam kitab Iqaamatush Shalaah, bab Maa Jaa-a fii man Ayqazha Ahlahu minal Lail, (hadits no. 1336), Ibnu Khuzaimah dalam Shahiihnya, (II/183), Ibnu Hibban dalam Shahiihnya (VI/306) sebagaimana yang terdapat dalam al-Ihsaan), al-Hakim dalam al-Mustadrak, (I/309) dengan komentarnya, "Ini adalah hadits shahih sesuai kriteria yang ditetapkan Muslim." Penilaian al-Hakim disepakati pula oleh adz-Dzahabi. Sedangkan al-'Allamah al-Albani dalam Shahiihut Targhiib (no. 621) menilai hadits ini hasan.
[24]. HR. Abu Dawud dalam kitab ash-Shalaah, bab al-Hatstsu 'ala Qiyaamil Lail, (hadits no. 1451), Ibnu Majah, dalam kitab Iqaamatish Shalaah, bab Maa Jaa-a fii man Ayqazha Ahlahu minal Lail, (1339), Ibnu Hibban dalam Shahiihnya, (VI/307) sebagaimana dalam al-Ihsaan, al-Hakim (I/316) dan ia berkata, "Ini adalah hadits shahih sesuai kriteria al-Bukhari dan Muslim, hanya saja keduanya tidak mengeluarkannya." Penilaian ini disepakati oleh adz-Dzahabi. Hadits ini dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahiihul Jaami' (hadits no. 330).
[25]. Lihat Faidhul Qadiir oleh al-Munawi, (IV/25).
[26]. HR. Al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubra, (X/194) dan al-Albani dalam Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (hadits no. 195) menilai hadits ini shahih.
[27]. HR. 'Abd bin Humaid, (II/147) dan adh-Dhiya' al-Maqdisi dalam al-Mukhtaarah, (V/74), melalui jalur periwayatan yang bersumber dari 'Abd bin Humaid. Hadits ini dinilai shahih oleh al-Albani dalam Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (hadits no. 1810).
[28]. HR. At-Tirmidzi dalam kitab Shifatil Qiyaamah bab Minhu…, (hadits no. 2485). Beliau mengomentari hadits ini dengan mengatakan, "Ini adalah hadits yang shahih." Hadits ini juga dikeluarkan Ahmad dalam Musnadnya, (hadits no. 23272) dan ad-Darimi dalam Sunannya, (hadits no. 1460). Al-Hakim mengatakan, "Hadits ini sanadnya shahih," lihat al-Mustadrak, (IV/176).
[29]. HR. Abu Dawud dalam kitab ash-Shalaah, bab Qiyaamil Lail, (hadits no. 1307), Ahmad dalam Musnadnya, (hadits no. 25583), al-Hakim dalam al-Mustadraknya, (I/452). Al-Hakim berkata, "Hadits ini shahih sesuai dengan kriteria yang ditetapkan Muslim." Penilaian al-Hakim disetujui oleh adz-Dzahabi.
[30]. HR. Ibnul Mubarak dalam az-Zuhd, (hal. 8) dan Abu Nu'aim dalam al-Hilyah, (IV/166). Al-Haitsami (II/251) berkata, "Hadits ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu'jamul Kabiir dan para perawinya adalah tsiqah."
[31]. HR. Ahmad, (I/416), Ibnu Hibban (VI/297, sebagaimana yang terdapat dalam al-Ihsaan), al-Hakim, (II/112), Ibnu 'Ashim dalam as-Sunnah, (I/249). Al-Hakim berkata: "Sanad hadits ini shahih." Penilaian al-Hakim disetujui oleh adz-Dzahabi. Sedangkan al-Haitsami dan al-Albani menilainya hasan.
[32]. HR. Al-Marwazi. Lihat Mukhtashar Qiyaamil Lail, (hal. 36) dan al-Hakim dalam al-Mustadrak, (II/414). Al-Hakim menilai hadits ini shahih dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
[33]. Lihat ash-Shalaah wat Tahajjud oleh Ibnu al-Khirath, (298).
[34]. Mukhtashar Qiyaamil Lail (hal. 62).
[35]. Ibid (hal. 63).
[36]. Atsar ini diriwayatkan oleh al-Aajuri dalam Fadhlu Qiyaamil Laili wat Tahajjud (hal. 58).
[37]. Lihat ash-Shalaatu wat Tahajjud (hal. 298).
[38]. Atsar ini diriwayatkan oleh al-Marwazi. Lihat Mukhtashar Qiyaamil Lail (hal. 58).
[39]. Lihat al-Kaamil karya Ibnu 'Adi, (II/526). Komentar saya (penulis): Sebagian ulama ada yang menisbatkan ini kepada sabda Nabi dan penisbatan ini tidak benar. Ibnul Jauzi menyebutkan atsar ini dalam al-Maudhuu'aat, (II/109) dan Ibnu Thahir dalam Tadzkiratul Maudhuu'aat, (hal. 351). Kisah atsar ini selengkapnya adalah seperti berikut:Tsabit bin Musa, seorang zahid, datang kepada Syuraik al-Qadhi, sedang al-Mustamli ada di depannya. Syuraik mengatakan al-A'masy menceritakan kepada kami dari Abu Sufyan dari Jabir, ia menuturkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda -tanpa menyebut matan haditsnya-, lalu ketika ia memandang Tsabit ia berkata, "Barangsiapa yang selalu melakukan shalat di malam hari maka wajahnya akan tampak indah di siang hari." Yang dimaksudkan dengan ucapannya itu adalah Tsabit bin Musa karena kezuhudannya, lalu Tsabit mengira bahwa ia meri-wayatkan hadits ini bersumber dari Nabi (hadits marfu') dengan sanad ini. Lihat perkataan as-Sakhawi dalam Fat-hul Mughiits (I/311).
[40]. Lihat as-Shalaatu wat Tahajjud (hal. 298).
[41]. Ibid, (299).
[42]. Lihat Mukhtashar Qiyaamil Lail, (hal. 66).
[43]. Ibid, (hal. 67).

Alasannya Hanya Tradisi

Ada yang mengamalkan suatu ibadah yang tidak ada tuntunan, alasannya, “Ini kan sudah jadi tradisi yang turun temurun.”

Alasan seperti ini dikemukakan pula oleh orang musyrik dahulu di masa silam. Mereka beralasan dengan tradisi, sama dengan orang-orang saat ini.

Inilah alasan orang musyrik,

إِنَّا وَجَدْنَا آَبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آَثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ

“Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka” (QS. Az Zukhruf: 22).

Sama halnya juga dengan penyembah berhala di masa Nabi Ibrahim. Ketika Ibrahim bertanya pada ayah dan kaumnya,

إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ مَا هَذِهِ التَّمَاثِيلُ الَّتِي أَنْتُمْ لَهَا عَاكِفُونَ

“(Ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya?” (QS. Al Anbiya’: 52).

Kaumnya malah menjawab,

قَالُوا وَجَدْنَا آَبَاءَنَا لَهَا عَابِدِينَ

“Mereka menjawab: “Kami mendapati bapak-bapak kami menyembahnya.” (QS. Al Anbiya’: 53).

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam kitabnya Masail Jahiliyyah berkata, “Sifat orang jahiliyyah adalah biasa berdalil dengan tradisi nenek moyangnya dahulu. Sebagaimana kata Fir’aun,

قَالَ فَمَا بَالُ الْقُرُونِ الْأُولَى

“Berkata Fir’aun: “Maka bagaimanakah keadaan umat-umat yang dahulu?” (QS. Thaha: 51).

Begitu pula kata kaum Nuh,

مَا سَمِعْنَا بِهَذَا فِي آَبَائِنَا الْأَوَّلِينَ

“Belum pernah kami mendengar ajaran seperti ini pada masa nenek moyang kami yang dahulu” (QS. Al Mukminun: 24).”

Kaum Quraisy pun beralasan seperti itu.

مَا سَمِعْنَا بِهَذَا فِي الْمِلَّةِ الْآَخِرَةِ إِنْ هَذَا إِلَّا اخْتِلَاقٌ

“Kami tidak pernah mendengar hal ini dalam agama yang terakhir; ini (mengesakan Allah), tidak lain hanyalah (dusta) yang diada-adakan” (QS. Shaad: 7)

Jadi semuanya beralasan ketika dituntut mengikuti ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, alasan mereka adalah bagaimana dengan ajaran nenek moyang yang sudah mentradisi. Itu saja alasannya. Padahal watak seperti ini hanya mengekor beo dari ajarannya orang musyrik dan jahiliyyah. Berdalil adalah dengan mengemukakan dalil Al Quran dan As Sunnah, bukan beralasan ini sudah jadi tradisi semata.

Beda halnya kalau yang jadi ajaran adalah nenek moyang yang sholeh. Seperti yang dialamai Nabi Yusuf ‘alaihis salam,

وَاتَّبَعْتُ مِلَّةَ آَبَائِي إِبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ مَا كَانَ لَنَا أَنْ نُشْرِكَ بِاللَّهِ مِنْ شَيْءٍ

“Dan aku pengikut agama bapak-bapakku yaitu Ibrahim, Ishak dan Ya’qub. Tiadalah patut bagi kami (para Nabi) mempersekutukan sesuatu apapun dengan Allah.” (QS. Yusuf: 38). Yang Nabi Yusuf ‘alaihis salam ikuti adalah nenek moyang yang sholeh yang membawa ajaran tauhid dan ajaran Islam yang benar.


Wallahu a’lam. Hanya Allah yang memberi taufik.



Akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Senin, 02 Februari 2015

Shalat Dengan Pakaian Bergambar

Oleh
Ustadz Muhammad Yassir, Lc.


Segala sesuatu pasti ada tujuannya. Kita hidup diciptakan Allâh Azza wa Jalla juga memiliki tujuan, yaitu ibadah kepada-Nya. Membangun mesjid adalah untuk tujuan ibadah di dalamnya. Membangun rumah sakit bertujuan untuk pelayanan kesehatan. Membangun sekolah untuk pelaksanaan belajar mengajar.

Bisakah dibayangkan bila rumah sakit didirikan dengan begitu megahnya, tersedia berbagai dekorasi, lengkap dengan taman beserta air mancur di dalamnya. Namun, rumah sakit tersebut tidak memiliki seorang dokter pun ? Berarti, seluruh kemegahannya tidak berguna, disebabkan tidak tercapainya tujuan nyata sebuah rumah sakit.

Gambaran di atas hanyalah ilustrasi tentang pentingnya mengenal tujuan.

TUJUAN SHALAT
Tidak ada yang menyangkal, shalat merupakan ibadah yang paling utama. Hal yang pertama dipertanggungjawabkan di hadapan Allâh Azza wa Jalla kelak pada hari kiamat. Sehingga shalat pun memiliki tujuan. Tujuan itu adalah ruhnya shalat, yaitu khusyu'.

Setiap orang mencari seluruh cara untuk mencapai ruh ini dengan menggali segala sumber untuk bisa meneguk rasa khusyu’ dalam shalatnya. Wujud nyata dari khusyu’ adalah konsentrasi penuh dalam shalat. Tidak ada yang terbersit dalam hati kecuali hanya dzikir kepada Allâh Azza wa Jalla .

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوْئِي هَذَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ لاَ يُحَدِّثُ فِيْهِمَا نَفْسَهُ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa berwudhu seperti cara aku berwudhu, kemudian ia beranjak shalat dua rakaat tanpa terbersit atau membayangkan apapun dalam hatinya, maka Allâh Azza wa Jalla akan mengampuni dosa orang tersebut. [HR al-Bukhâri, 158].

Sekilas, rasanya mudah untuk mendapatkan ampunan dengan mengamalkan hadits di atas. Semua bisa berwudhu dengan sempurna, sanggup untuk mendirikan shalat dua raka'at. Akan tetapi, yang paling sulit adalah untuk khusyu' dalam shalat seperti yang disyaratkan dalam hadits di atas, yaitu kosongnya hati dari seluruh bayangan dan bisikan selain shalat.

Ketenangan hati dapat saja terganggu melalui dua pintu hati, yaitu telinga dan mata. Segala yang didengar dan semua yang dilihat bisa membuat hati terlena, atau bahkan membekas dalam hati.

Untuk gangguan yang berasal dari suara, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah memperingatkan dalam haditsnya yang diriwiyatkan dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu. Beliau Radhiyallahu anhu bercerita :

اعْتَكَفَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى الْمَسْجِدِ فَسَمِعَهُمْ يَجْهَرُونَ بِالْقِرَاءَةِ فَكَشَفَ السِّتْرَ وَقَالَ : « أَلاَ إِنَّ كُلَّكُمْ مُنَاجٍ رَبَّهُ فَلاَ يُؤْذِيَنَّ بَعْضُكُمْ بَعْضًا وَلاَ يَرْفَعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِى الْقِرَاءَةِ »

Ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam i’tikaf di masjid, beliau n pernah mendengar para sahabat saling mengeraskan suara saat membaca al-Qur'ân, maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun keluar menemui mereka seraya bersabda, “Ketahuilah, bahwasanya kalian ini sedang bermunajat kepada Allâh Azza wa Jalla . Janganlah kalian saling mengganggu satu sama lain dan jangan pula kalian saling mengangkat suara dalam membaca al-Qur'ân atau berdzikir". [HR Abu Dâwud, 1334].

Untuk jenis gangguan khusyu' kedua adalah yang berasal dari pandangan mata, dan inilah yang sedang dalam pembahasan kita.

Sehubungan dengan fenomena yang banyak terjadi dalam kehidupan kita. Seperti pembangunan masjid yang berfokus pada keindahan dan kemegahan, berhiaskan ukiran dan kaligrafi, bahkan terkadang ada masjid yang dihiasi dengan foto atau lukisan pendirinya, sajadah untuk shalat hanya terfokus pada hiasan dan corak serta warna karena hanya untuk menjadi komoditi pasar. Maka begitu pula pakaian yang dipakai, bisa saja membuat lalai orang dari khusyu’ dalam shalat.

Diriwayatkan dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu :

كَانَ قِرَامٌ لِعَائِشَةَ سَتَرَتْ بِهِ جَانِبَ بَيْتِهَا فَقَالَ النَّبِيُ صلى الله عليه وسلم: "أَمِيطِي عَنَّا قِرَامَكِ هَذَا فَإِنَّهُ لاَ تَزَالُ تَصَاوِيرُهُ تَعْرِضُ فِي صَلاَتِي"

'Aisyah mempunyai gorden yang dipasang di dinding rumahnya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyuruh 'Aisyah Radhiyallahu anhuma : "Singkirkanlah gorden itu dari kita, karena lukisannya senantiasa membayangiku dalam shalatku”. [HR al-Bukhâri, 374].

Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Bila kain bergambar yang berada di hadapan orang shalat bisa melalaikannya, maka begitu pula bila gambar tersebut dipakai di baju orang yang sedang shalat. Bahkan, gambar yang dipakai itu lebih melalaikan lagi”. [Fathul-Bari, 10/391].

Hal tersebut pernah juga dialami oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata :

أَنَّ النَّبِيَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى فِي خَمِيْصَةٍ لَهَا أَعْلاَمٌ فَنَظَرَ إِلَى أَعْلاَمِهَا نَظْرَةً فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ : اذْهَبُوا بِخَمِيصَتِي هَذِهِ إِلَى أَبِي جَهْمٍ وَأْتُونِي بِأَنْبِجَانِيَّةِ أَبِي جَهْمٍ، فَإِنَّهَا أَلْهَتْنِي آنِفًا عَنْ صَلاَتِي

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat dengan pakaian khamishah yang bercorak. Dalam shalatnya beliau memandang sekilas corak pakaian tersebut. Setelah selesai shalat, beliaupun berkata: "Serahkan khamishah ini kepada Abu Jahm, dan ambilkan untukku pakaian ambijaniyah hadiah dari Abu Jahm. Karena, pakaian khamishah tadi melalaikan khusyuk shalatku”. [HR al-Bukhâri, no. 373]

Pakaian anbijâniyyah yang diminta Rasûlullâh adalah pakaian kasar yang tidak bercorak. Berbeda dengan pakaian khamishah yang dikembalikan oleh beliau, pakaian itu memiliki corak ataupun gambar.

HUKUM SHALAT DENGAN PAKAIAN BERCORAK ATAU BERGAMBAR
Tidak ada yang mengatakan bahwa shalat orang yang memakai pakaian bergambar atau bercorak itu batal. Ini berarti, sah hukumnya shalat menghadap memandang gambar atau sesuatu yang bercorak atau bertulisan, baik gambar di pakaian itu gambar makhluk bernyawa atau gambar lainnya.

HUKUM MEMAKAI PAKAIAN BERGAMBAR DALAM SHALAT
Pada asalnya, hukum memakai pakaian adalah mubah, terserah pada setiap orang mau memakai pakaian berwarna ataupun corak apa saja. Namun, ada beberapa kondisi tertentu atau jenis gambar yang menjadikannya haram dipakai.

Gambar di pakaian dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu ada gambar makhluk hidup seperti manusia dan hewan, dan ada pula gambar lainnya, seperti pohon, pemandangan, ukiran, kendaraan dan lain-lain.

Untuk jenis gambar pertama, yaitu bergambar makhluk hidup, pakaian seperti ini dilarang memakainya, baik dalam shalat ataupun di luar shalat. Karena, makhluk hidup dilarang untuk digambar atau dilukis. Hal tersebut telah diancam oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam haditsnya :

إِنَّ أَصْحَابَ هَذِهِ الصُّوَرِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُعَذَّبُونَ فَيُقَالُ لَهُمْ أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ

Sungguh orang yang melukis gambar ini akan diazab pada hari kiamat kelak. Mereka akan diminta untuk menghidupkan makhluk yang mereka lukis tersebut. [HR al-Bukhari, no. 1999].

Demikian ganjaran bagi pelukisnya. Adapun memakai pakaian tersebut juga merupakan perbuatan dosa karena memajang sesuatu yang haram untuk dibuat. Bahkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, bahwa rumah yang di dalamnya terdapat lukisan makhluk hidup, tidak akan dimasuki oleh malaikat rahmat. [HR al-Bukhâri, no. 1999].

Dalam Shahîh Muslim disebutkan hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memerintahkan untuk menghapus seluruh gambar makhluk hidup yang kita temui. [HR Muslim, no. 969].

Adapun untuk jenis gambar kedua, yaitu bukan gambar makhluk hidup, maka hukum memakai pakaian tersebut adalah tetap pada hukum asalnya yaitu boleh-boleh saja. Namun, jika dipakai dalam shalat bisa mempengaruhi konsentrasi karena dilalaikan oleh corak dan gambar di pakaian tersebut. Oleh karena itu, hukum memakainya dalam shalat menjadi makruh.

Hukumnya tidak sampai ke derajat haram dikarenakan beberapa hal. Pertama, tidak ada dalil yang mengharuskan shalat dengan pakaian jenis ataupun warna tertentu. Begitu pula tidak ada larangan untuk memakai corak tertentu. Yang berhubungan antara pakaian dengan shalat hanyalah masalah menutup aurat. Kedua, mengganggu atau tidaknya kekhusyukan shalat bentuknya nisbi. Bisa tergantung pada diri pribadi seseorang; bisa dikarenakan corak pakaian; bisa disebabkan biasa atau tidak memandang suatu corak tertentu; atau faktor lainnya.

Kaitan dengan hal ini, Syaikh Muhammad bin Shâlih Utsaimin rahimahullah pernah ditanya tentang sajadah yang ada gambarnya diperuntukkan untuk imam shalat.

Syaikh Shâlih 'Utsaimin menjawab :
Tidak seharusnya disediakan sajadah seperti itu untuk imam shalat, karena itu akan mengganggu kekhusyukannya. Namun, kalau seandainya sajadah tersebut tidak mengganggu dikarenakan imam itu seorang tuna netra, atau disebabkan penggunaan sajadah model seperti itu sudah menjadi kebiasaan yang sering disaksikannya, sehingga perhatiannya tidak teralihkan lagi, untuk kondisi seperti ini, maka tidak mengapa menggunakan sajadah tersebut untuk shalat. [Majmu’ Fatawa Syaikh 'Utsamin, 12/362].

HUKUM SHALAT SAMBIL MEMEJAMKAN MATA
Jika terjadi pada diri kita buyar (kehilangan) konsentrasi dalam shalat karena berhadapan dengan gambar atau ukiran yang menarik perhatian, bagaimanakah cara menghindarinya ? Bolehkah shalat sedangkan matanya terpejam ?

Dalam kitab Zâdul Ma’âd, Imam Ibnul-Qayyim rahimahullah menulis satu pembahasan khusus tentang masalah ini. Di awal pembahasannya, ia menyatakan bahwa memjamkan mata dalam shalat bukanlah cara shalat yang dicontohkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Yang diajarkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah memandangi tempat sujud atau memandangi ujung telunjuk ketika sedang duduk tasyahud.

Imam Ibnul-Qayyim rahimahullah juga membawakan adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hukumnya, ia berkata, "Ada perbedaan pendapat Ulama dalam masalah memejamkan mata ketika shalat. Ada yang memakruhkannya, seperti pendapat Imam Ahmad dan Ulama lainnya. Menurut pendapat ini, makruhnya perbuatan itu karena menyerupai ibadah orang Yahudi.

Ada pendapat Ulama lain yang mengatakan tidak makruh. Mereka beralasan bahwa dengan memejamkan mata akan lebih bisa memetik ruh dan tujuan shalat yaitu khusyu’.

Namun, pendapat yang benar adalah dengan melihat kondisi. Seandainya membuka mata tidak mengurangi rasa khusyu’, maka itu lebih utama dilakukan. Akan tetapi, jika di hadapannya terdapat hal-hal yang bisa mengurangi rasa khusyu’ dan mengganggu konsentrasinya, seperti adanya hiasan atau dekorasi dan lain sebagainya, maka dalam kondisi seperti ini tidak makruh untuk memejamkan mata dalam shalat, bahkan hukumnya bisa jadi sunnah. [Zâdul-Ma’âd, 1/283].

Wallâhu 'alam bish-Shawab.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XVI/1434H/2013M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]