Selasa, 23 September 2014

Waktu-waktu Mustajabnya Doa



 



ALLAH Maha Mendengar, Maha Mengetahui, lagi Maha Kuasa untuk melakukan apa saja. Akan tetapi, Allah memberikan keleluasaan kepada manusia untuk mengajukan permohonan , keinginan, dan harapan-harapannya kepada_Nya. Walaupun manusia tidak memanjatkan doa kepada-Nya, namun Allah tetap akan memberikan kepada manusia apa yang sudah menjadi bagiannya.
Allah tidak membiarkan manusia berada dalam kebingungan dan kecemasan pada saat menghadapi permasalahan hidupnya di dunia ini. Manusia membutuhkan kesadaran, tempat ia mengadukan nasib; membutuhkan pijakan, tempat ia menyatakan keluh kesahnya, yaitu kepada pemegang kekuasaan yang tak terkalahkan keperkasaan-Nya, yang mengatur hidup dan kehidupan manusia dan segenap mahluk yang ada di alam ini.
Ketika berdoa, maka ada waktu-waktu yang mustajab dan senantiasa akan dikabulkan doa itu oleh Allah SWT. Waktu-waktu itu adalah:

1. Doa setelah sholat tahajud
2. Doa setelah sholat dhuha
3. Doa menjelang berbuka puasa
4. Doa antara adzan dan iqomat
5. Doa antara dua khutba jum'at
6. Doa di penghujung hari Juma'at (ba'da asyar)
7. Doa di kala turun hujan
8. Doa di kala mendengar kokok ayam (diriwayatkan ayam adalah hewan yang dapat melihat 

    malaikat) / waktu subuh
9. Doa imam dan kholifah/pemimpin yang adil      

10.Doa orang yang terdzolimi
11.Doa orang tua kepada anaknya.

Fiqih Islam


PENGERTIAN FIQIH


Fiqih menurut bahasa berarti paham, seperti dalam firman Allah :

"Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?" (QS.An Nisa :78)
dan sabda Rasulullah :
"Sesungguhnya panjangnya shalat dan pendeknya khutbah seseorang, merupakan tanda akan kepahamannya"
(Muslim no.1437, Ahmad no.17598, Daarimi no.1511)





Fiqih Secara istilah mengandung dua arti:
  1. Pengetahuan tentang hukum-hukum syari'at yang berkaitan dengan perbuatan dan perkataan mukallaf (mereka yang sudah terbebani menjalankan syari'at agama), yang diambil dari dalil-dalilnya yang bersifat terperinci, berupa nash-nash al Qur'an dan As sunnah serta yang bercabang darinya yang berupa ijma' dan ijtihad.
  2. Hukum-hukum syari'at itu sendiri
Jadi perbedaan antara kedua definisi tersebut bahwa yang pertama di gunakan untuk mengetahui hukum-hukum (Seperti seseorang ingin mengetahui apakah suatu perbuatan itu wajib atau sunnah, haram atau makruh, ataukah mubah, ditinjau dari dalil-dalil yang ada), sedangkan yang kedua adalah untuk hukum-hukum syari'at itu sendiri (Yaitu hukum apa saja yang terkandung dalam shalat, zakat, puasa, haji, dan lainnya berupa syarat-syarat, rukun –rukun, kewajiban-kewajiban, atau sunnah-sunnahnya).




HUBUNGAN ANTARA FIQIH DAN AQIDAH ISLAM
Diantara keistimewaan fiqih Islam –yang kita katakan sebagai hukum-hukum syari'at yang mengatur perbuatan dan perkataan mukallaf – memiliki keterikatan yang kuat dengan keimanan terhadap Allah dan rukun-rukun aqidah Islam yang lain. Terutama Aqidah yang berkaitan dengan iman dengan hari akhir.
Yang demikian Itu dikarenakan keimanan kepada Allah-lah yang dapat menjadikan seorang muslim berpegang teguh dengan hukum-hukum agama, dan terkendali untuk menerapkannya sebagai bentuk ketaatan dan kerelaan. Sedangkan orang yang tidak beriman kepada Allah tidak merasa terikat dengan shalat maupun puasa dan tidak memperhatikan apakah perbuatannya termasuk yang halal atau haram. Maka berpegang teguh dengan hukum-hukum syari'at tidak lain merupakan bagian dari keimanan terhadap Dzat yang menurunkan dan mensyari'atkannya terhadap para hambaNya.




Contohnya:




  1. Allah memerintahkan bersuci dan menjadikannya sebagai salah satu keharusan dalam keiman kepada Allah sebagaimana firman-Nya :
    "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki." (QS.Al maidah:6)

  2. Juga seperti shalat dan zakat yang Allah kaitkan dengan keimanan terhadap hari akhir, sebagaimana firman-Nya :
    "(yaitu) orang-orang yang mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat." (QS. An naml:3)




Demikian pula taqwa, pergaulan baik, menjauhi kemungkaran dan contoh lainnya, yang tidak memungkinkan untuk disebutkan satu persatu. (lihat fiqhul manhaj hal.9-12)




FIQIH ISLAM MENCAKUP SELURUH KEBUTUHAN MANUSIA
Tidak ragu lagi bahwa kehidupan manusia meliputi segala aspek. Dan kebahagiaan yang ingin dicapai oleh manusia mengharuskannya untuk memperhatikan semua aspek tersebut dengan cara yang terprogram dan teratur. Manakala fiqih Islam adalah ungkapan tentang hukum-hukum yang Allah syari'atkan kepada para hamba-Nya, demi mengayomi seluruh kemaslahatan mereka dan mencegah timbulnya kerusakan ditengah-tengah mereka, maka fiqih Islam datang memperhatikan aspek tersebut dan mengatur seluruh kebutuhan manusia beserta hukum-hukumnya.




Penjelasannya sebagai berikut:
Kalau kita memperhatikan kitab-kitab fiqih yang mengandung hukum-hukum syari'at yang bersumber dari Kitab Allah, Sunnah Rasulnya, serta Ijma (kesepakatan) dan Ijtihad para ulama kaum muslimin, niscaya kita dapati kitab-kitab tersebut terbagi menjadi tujuh bagian, yang kesemuanya membentuk satu undang-undang umum bagi kehidupan manusia baik bersifat pribadi maupun bermasyarakat. Yang perinciannya sebagai berikut:




  1. Hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah. Seperti wudhu, shalat, puasa, haji dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan Fiqih Ibadah.
  2. Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah kekeluargaan. Seperti pernikahan, talaq, nasab, persusuan, nafkah, warisan dan yang lainya. Dan ini disebut dengan fikih Al ahwal As sakhsiyah.
  3. Hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dan hubungan diantara mereka, seperti jual beli, jaminan, sewa menyewa, pengadilan dan yang lainnya. Dan ini disebut fiqih mu'amalah.
  4. Hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban pemimpin (kepala negara). Seperti menegakan keadilan, memberantas kedzaliman dan menerapkan hukum-hukum syari'at, serta yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban rakyat yang dipimpin. Seperti kewajiban taat dalam hal yang bukan ma'siat, dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan fiqih siasah syar'iah.
  5. Hukum-hukum yang berkaitan dengan hukuman terhadap pelaku-pelaku kejahatan, serta penjagaan keamanan dan ketertiban. Seperti hukuman terhadap pembunuh, pencuri, pemabuk, dan yang lainnya. Dan ini disebut sebagai fiqih Al 'ukubat.
  6. Hukum-hukum yang mengatur hubungan negeri Islam dengan negeri lainnya. Yang berkaitan dengan pembahasan tentang perang atau damai dan yang lainnya. Dan ini dinamakan dengan fiqih as Siyar.
  7. Hukum-hukum yang berkaitan dengan akhlak dan prilaku, yang baik maupun yang buruk. Dan ini disebut dengan adab dan akhlak




Demikianlah kita dapati bahwa fiqih Islam dengan hukum-hukumnya meliputi semua kebutuhan manusia dan memperhatikan seluruh aspek kehidupan pribadi dan masyarakat.




SUMBER-SUMBER FIQIH ISLAM
Semua hukum yang terdapat dalam fiqih Islam kembali kepada empat sumber:
  1. AL QUR'AN

    Al Qur'an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi kita Muhammad untuk menyelamatkan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Ia adalah sumber pertama bagi hukum-hukum fiqih Islam. Jika kita menjumpai suatu permasalahan, maka pertamakali kita harus kembali kepada Kitab Allah guna mencari hukumnya. Sebagai contoh :

    1. Bila kita ditanya tentang hukum khamer (miras), judi, pengagungan terhadap bebatuan dan mengundi nasib, maka jika kita merujuk kepada Al Qur'an niscaya kita akan dapatkan dalam firman Allah swt: (QS. Al maidah : 90)
    2. Bila kita ditanya tentang masalah jual beli dan riba, maka kita dapatkan hukum hal tersebut dalam Kitab Allah (QS. Al baqarah : 275). Dan masih banyak contoh-contoh yang lain yang tidak memungkinkan untuk di perinci satu persatu.                                              
  2. AS SUNNAH
           As-Sunnah yaitu semua yang bersumber dari Nabi berupa perkataan, perbuatan atau                             
           persetujuan.




Contoh perkataan/sabda Nabi :
"Mencela sesama muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran"( Bukhari no.46,48, muslim no. .64,97, Tirmidzi no.1906,2558, Nasa'I no.4036, 4037, Ibnu Majah no.68, Ahmad no.3465,3708)
Contoh perbuatan:
apa yang diriwayatkan oleh Bukhari (Bukhari no.635, juga diriwayatkan oleh Tirmidzi no.3413, dan Ahmad no.23093,23800,34528) bahwa 'Aisyah pernah ditanya: apa yang biasa dilakukan Rasulullah dirumahnya ? Aisyah menjawab:
"Beliau membantu keluarganya; kemudian bila datang waktu shalat, beliau keluar untuk menunaikannya."
Contoh persetujuan :
apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (Hadits no.1267) bahwa Nabi pernah melihat seseorang shalat dua rakaat setelah sholat subuh, maka Nabi berkata kepadanya:
"Shalat subuh itu dua rakaat" orang tersebut menjawab, "sesungguhnya saya belum shalat sunat dua rakaat sebelum subuh, maka saya kerjakan sekarang." Lalu Nabi saw terdiam"
Maka diamnya beliau berarti menyetujui disyari'atkannya shalat sunat qabliah subuh tersebut setelah shalat subuh bagi yang belum menunaikannya.
As-Sunnah adalah sumber kedua setelah al Qur'an. Bila kita tidak mendapatkan hukum dari suatu permasalahn dalam Al Qur'an maka kita merujuk kepada as-Sunnah dan wajib mengamalkannya jika kita mendapatkan hukum tersebut. Dengan syarat, benar-benar bersumber dari Nabi e dengan sanad yang sahih. As Sunnah berfungsi sebagai penjelas al Qur'an dari apa yang bersifat global dan umum. Seperti perintah shalat; maka bagaimana tatacaranya didapati dalam as Sunnah. Oleh karena itu Nabi bersabda:
"shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat" (Bukhari no.595)
Sebagaimana pula as-Sunnah menetapkan sebagian hukum-hukum yang tidak dijelaskan dalam Al Qur'an. Seperti pengharaman memakai cincin emas dan kain sutra bagi laki-laki.




     3. IJMA'
         Ijma' bermakna: Kesepakatan seluruh ulama mujtahid dari umat Muhammad saw dari suatu

         generasi atas suatu hukum syar'i, dan jika sudah bersepakat ulama-ulama tersebut—baik pada    
         generasi sahabat atau sesudahnya—akan suatu hukum syari'at maka kesepakatan mereka adalah
         ijma',dan beramal dengan apa yang telah menjadi suatu ijma' hukumnya wajib.
 
        Dan dalil akan hal tersebut sebagaimana yang dikabarkan Nabi saw, bahwa tidaklah umat ini    

        akan berkumpul (bersepakat) dalam kesesatan, dan apa yang telah menjadi kesepakatan adalah
        hak (benar).
       
        Dari Abu Bashrah ra, bahwa Nabi saw bersabda:
       "Sesungguhnya Allah tidaklah menjadikan ummatku atau ummat Muhammad berkumpul            

         (besepakat) di atas kesesatan" (Tirmidzi no.2093, Ahmad 6/396)

         Contohnya: 
        Ijma para sahabat ra bahwa kakek mendapatkan bagian 1/6 dari harta warisan bersama anak
        laki-

        laki apabila tidak terdapat bapak.

        Ijma' merupakan sumber rujukan ketiga. Jika kita tidak mendapatkan didalam Al Qur'an dan

        demikian pula sunnah, maka untuk hal yang seperti ini kita melihat, apakah hal tersebut telah
        disepakatai oleh para ulama muslimin, apabila sudah, maka wajib bagi kita mengambilnya dan
        beramal dengannya.




4.QIYAS

Yaitu: Mencocokan perkara yang tidak didapatkan didalamnya hukum syar'i dengan perkara lain yang memiliki nas yang sehukum dengannya, dikarenakan persamaan sebab/alasan antara keqiyas inilah kita meruju' apabila kita tidak mendapatkan nash dalam suatu hukum dari suatu permasalahan, baik di dalam Al Qur'an, sunnah maupun ijma'.Ia merupakan sumber rujukan keempat setelah Al Qur'an, as Sunnah dan Ijma'.

            Rukun Qiyas

Qiyas memiliki empat rukun: 1. Dasar (dalil), 2. Masalah yang akan diqiyaskan, 3. Hukum yang terdapat pada dalil, 4. Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah yang diqiyaskan.

            Contoh:
Allah mengharamkan khamer dengan dalil Al Qur'an, sebab atau alasan pengharamannya adalah karena ia memabukkan, dan menghilangkan kesadaran. Jika kita menemukan minuman memabukkan lain dengan nama yang berbeda selain khamer, maka kita menghukuminya dengan haram, sebagai hasil Qiyas dari khamer. Karena sebab atau alasan pengharaman khamer yaitu "memabukkan" terdapat pada minuman tersebut, sehingga ia menjadi haram sebagaimana pula khamer.







Inilah sumber-sumber yang menjadi rujukan syari'at dalam perkara-perkara fiqih Islam, kami sebutkan semoga mendapat manfaat, adapun lebih lengkapnya dapat dilihat di dalam kitab-kitab usul fiqh Islam ( fiqhul manhaj, 'ala manhaj imam syafi'i)










Diambil dari Majalah Fatawa
Sumber: http://muslim.or.id/?p=10
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
.:: HaditsWeb ::.

Senin, 22 September 2014

Hadits tentang Sabilul Mujrimin


Syaikh Salim bin 'Ied Al-Hilali


Nash Hadits.

"Artinya : Dari Hudzaifah Ibnul Yaman Radhiyallahu Ta'ala Anhu berkata : Manusia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan karena khawatir jangan-jangan menimpaku. Maka aku bertanya ; Wahai Rasulullah, sebelumnya kita berada di zaman Jahiliyah dan keburukan, kemudian Allah mendatangkan kebaikan ini. Apakah setelah ini ada keburukan ? Beliau bersabda : 'Ada'. Aku bertanya : Apakah setelah keburukan itu akan datang kebaikan ?. Beliau bersabda : Ya, akan tetapi didalamnya ada dakhanun. Aku bertanya : Apakah dakhanun itu ?. Beliau menjawab : Suatu kaum yang mensunnahkan selain sunnahku dan memberi petunjuk dengan selain petunjukku. Jika engkau menemui mereka maka ingkarilah. Aku bertanya : Apakah setelah kebaikan itu ada keburukan ?. Beliau bersabda : Ya, da'i - da'i yang mengajak ke pintu Jahannam. Barangsiapa yang mengijabahinya, maka akan dilemparkan ke dalamnya. Aku bertanya : Wahai Rasulullah, berikan ciri-ciri mereka kepadaku. Beliau bersabda : Mereka mempunyai kulit seperti kita dan berbahasa dengan bahasa kita. Aku bertanya : Apa yang engkau perintahkan kepadaku jika aku menemuinya ?. Beliau bersabda : Berpegang teguhlah pada Jama'ah Muslimin dan imamnya. Aku bertanya : Bagaimana jika tidak ada jama'ah maupun imamnya ? Beliau bersabda : Hindarilah semua firqah itu, walaupun dengan menggigit pokok pohon hingga maut menjemputmu sedangkan engkau dalam keadaan seperti itu". (Riwayat Bukhari VI615-616, XIII/35. Muslim XII/135-238 Baghawi dalam Syarh Sunnah XV/14. Ibnu Majah no. 3979, 3981. Hakim IV/432. Abu Dawud no. 4244-4247.Baghawi XV/8-10. Ahmad V/386-387 dan hal. 403-404, 406 dan hal. 391-399)

Makna Hadits
1. Mengenali Sabilul Mujrimin adalah kewajiban Syar'i.
Perlu diketahui bahwa Manhaj Rabbani yang abadi yang tertuang dalam uslub Qur'ani yang diturunkan ke hati Penutup Para Nabi tersebut tidak hanya mengajarkan yang haq saja untuk mengikuti jejak orang-orang beriman (sabilul Mu'minin). Akan tetapi juga membuka kedok kebathilan dan menyingkap kekejiannya supaya jelas jalannya orang-orang yang suka berbuat dosa (sabilul Mujrimin). Allah berfirman.
وَكَذَلِكَ نُفَصِّلُ الآيَاتِ وَلِتَسْتَبِينَ سَبِيلُ الْمُجْرِمِينَ

"Artinya : Dan demikianlah Kami terangkan ayat-ayat Al Qur'an, (supaya jelas jalan orang-orang yang saleh) dan supaya jelas (pula) jalan orang-orang yang berdosa". (Al-An'am : 55)

Yang demikian itu karena istibanah (kejelasan) jalannya orang-orang yang suka berbuat dosa (sabilul Mujrimin) secara langsung berakibat pada jelasnya pula sabilul mu'minin. Oleh karena itu istibanah (kejelasan) sabilul Mujrimin merupakan salah satu sasaran dari beberapa sasaran penjelasan ayat-ayat Rabbani. Karena ketidakjelasan sabilul Mujrimin akan berakibat langsung pada keraguan dan ketidakjelasan sabilul Muminin. Oleh karena itu, menyingkap rahasia kekufuran dan kekejian adalah suatu kebutuhan yang sangat mendesak untuk menjelaskan keimanan, kebaikan dan kemaslahatan.
Ada sebagian cendikiawan syair menyatakan.
"Artinya : Aku kenali keburukan tidak untuk berbuat buruk, akan tetapi untuk menjaga diri".
"Barangsiapa yang tidak dapat membedakan antara kebaikan dan keburukan, maka akan terjerumus ke dalamnya".
Hakikat inilah yang dimengerti oleh generasi pertama umat ini -Hudzaifah Ibnul Yaman Radhiyallahu 'anhu. Maka ia berkata : "Manusia bertanya kepada Rasulullah tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya tentang keburukan, karena khawatir akan terjebak di dalamnya".

2. Kekokohan Kita Dihancurkan dari Dalam
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda berkenaan dengan keinginan kaum kafir untuk membinasakan kaum muslimin dan Islam, seperti yang dinyatakan dalam hadits Tsaubah Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Nyaris orang-orang kafir menyerbu dan membinasakan kalian seperti menyerbu makanan di atas piring. Berkata seseorang : Apakah karena sedikitnya kami waktu itu ? Beliau bersabda : Bahkan kalian pada waktu itu banyak sekali, akan tetapi kamu seperti buih di atas air. Dan Allah mencabut rasa takut musuh-musuhmu terhadap kalian serta menjangkitkan di dalam hatimu penyakit wahn. Seseorang bertanya : Wahai Rasulullah, apakah wahn itu ? Beliau bersabda : Mencintai dunia dan takut mati". (Riwayat Abu Dawud no. 4297. Ahmad V/278. Abu Na'im dalam Al-Hailah)
Dari hadits di atas dapat disimpulkan bahwa :
Kaum kafir saling menghasung untuk menjajah Islam, negeri-negerinya serta penduduknya.
Negeri-negeri muslimin adalah negeri-negeri sumber kebaikan dan barakah yang mengundang air liur kaum kafir untuk menjajahnya.
Kaum kafir mengambil potensi alam negeri muslimin tanpa rintangan dan halangan sedikitpun.
Kaum kafir tidak lagi gentar terhadap kaum Muslimin karena rasa takut mereka kepada kaum Muslimin sudah dicabut Allah dari dalam hati mereka. Padahal pada mulanya Allah menjanjikan kepada kaum Muslimin dalam firman-Nya :"Artinya : Akan kami jangkitkan di dalam hati orang-orang kafir rasa takut, disebabkan mereka mempersekutukan Allah, dimana Allah belum pernah menurunkan satu alasanpun tentangnya". ( Ali-Imran : 151). Dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda : "Artinya : Aku diberi lima perkara yang belum pernah diberikan kepada seorang nabi pun sebelumku : Aku ditolong dengan rasa ketakutan dengan jarak satu bulan perjalanan ; dan dijadikan bumi untukmu sebagai tempat sujud ; .... dan seterusnya ". (Riwayat Bukhari, lihat Fathul Bari I/436. Muslim dalam Nawawi V/3-4 dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu 'anhu)
Akan tetapi kekhususan tersebut dibatasi oleh sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Tsauban yang lalu, yang menyatakan : "Allah akan mencabut rasa takut musuh-musuhmu terhadap kalian ...".
Dari hadits ini mengertilah kita bahwa kekuatan umat Islam bukanlah terletak pada jumlah dan perbekalannya, atau pada artileri dan logistiknya. Akan tetapi kekuatannya terletak pada aqidahnya. Seperti yang kita saksikan ketika beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab pertanyaan yang berkenan dengan jumlah, maka beliau jawab : "Bahkan ketika itu kalian banyak sekali, akan tetapi kalian seperti buih di atas aliran air".
Kemudian apa yang menjadikan "pohon yang akarnya menghujam ke bumi dan cabangnya menjulang ke langit" itu seperti buih yang mengambang di atas air ?
Sesungguhnya racun yang meluruhkan kekuatan kaum muslimin dan melemahkan gerakannya serta merenggut barakahnya bukanlah senjata dan pedang kaum kafir yang bersatu untuk membuat makar terhadap Islam, para pemeluknya dan negeri-negerinya. Akan tetapi adalah racun yang sangat keji yang mengalir dalam jasad kaum muslimin yang disebut oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai "Dakhanun" Ibnu Hajar dalam Fathul Bari XIII/36 mengartikannya dengan hiqd (kedengkian), atau daghal (penghianatan dan makar), atau fasadul qalb (kerusakan hati). Semua itu mengisyaratkan bahwa kebaikan yang datang setelah keburukan tersebut tidak murni, akan tetapi keruh. Dan Imam Nawawi dalam syarh Shahih Muslim XII/236-237, mengutip perkataan Abu 'Ubaid yang menyatakan bahwa arti dakhanun adalah seperti yang disebut dalam hadits lain.
"Artinya : Tidak kembalinya hati pada fungsi aslinya". (Riwayat Abu Dawud no. 4247)
Sedangkan makna aslinya adalah apabila warna kulit binatang itu keruh/suram. Maka seakan-akan mengisyaratkan bahwa hati mereka tidak bening dan tidak mampu membersihkan antara yang satu dengan yang lain. Kemudian berkata Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah XV/15: Bahwa sabda beliau : "Dan didalamnya ada Dakhanun, yakni tidak ada kebaikan murni, akan tetapi didalamnya ada kekeruhan dan kegelapan". Adapun Al 'Adzimul Abadi dalam 'Aunil Ma'bud XI/316 menukil perkataan Al-Qari yang berkata : "Asal kata dakhanun adalah kadurah (kekeruhan) dan warna yang mendekati hitam. Maka hal ini mengisyaratkan bahwa kebaikan tersebut tercemar oleh kerusakan (fasad)".
Dan sesungguhnya penanam racun yang keji dan menjalar di kalangan umat ini tidak lain adalah oknum-oknum dari dalam sendiri. Seperti yang dinyatakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Mereka adalah dari kalangan bangsa kita dan berbahasa dengan bahasa kita". Berkata Ibnu Hajar Rahimahullah dalam Fathul Bari XIII/36 : "Yakni dari kaum kita, berbahasa seperti kita dan beragama dengan agama kita. Ini mengisyaratkan bahwa mereka adalah bangsa Arab". Sedangkan Al-Qabisi menyatakan -seperti dinukil oleh Ibnu Hajar- secara lahir maknanya adalah bahwa mereka adalah pemeluk dien (agama) kita, akan tetapi batinnya menyelisihi. Dan kulit sesuatu adalah lahirnya, yang pada hakikatnya berarti penutup badan". Mereka mempunyai sifat seperti yang dikatakan dalam hadits riwayat Muslim.
"Artinya : Akan ada di kalangan mereka orang yang berhati iblis dengan jasad manusia". (Riwayat Muslim)
Yakni mereka memberikan harapan-harapan kepada manusia berupa mashalih (pembangunan), siyadah (kepemimpinan) dan istiqlal (kemerdekaan dan kebebasan) .. dan umat merasa suka dengan propaganda mereka. Untuk itu mereka mengadakan pertemuan-pertemuan, muktamar-muktamar dan diskusi-diskusi. Oleh sebab itu mereka diberi predikat sebagai da'i atau du'at -dengan dlamah pada huruf dal- merupakan bentuk jama' dari da'a yang berarti sekumpulan orang yang melazimi suatu perkara dan mengajak serta menghasung manusia untuk menerimanya. (Lihat 'Aunil Ma'bud XI/317).

3. Jama'ah minal Muslimin dan bukan Jama'ah Muslimin/'Umm.
Kalau kita mengamati kenyataan, maka kita akan melihat bahwa faham hizbiyah (kelompok) telah mengalir di dalam otak sebagian besar kelompok yang menekuni medan da'wah ilallah, dimana seolah-olah tidak ada kelompok lain kecuali kelompoknya, dan menafikan kelompok lain di sekitarnya. Persoalan ini terus berkembang, sehingga ada sebagian yang menda'wahkan bahwa merekalah Jama'ah Muslimin/Jama'ah 'Umm (Jama'ah Induk) dan pendirinya adalah imam bagi seluruh kaum muslimin, serta mewajibkan berba'iat kepadanya. Selain itu mereka mengkafirkan sawadul a'dzam (sebagian besar) muslimin, dan mewajibkan kelompok lain untuk bergabung dengan mereka serta berlindung di bawah naungan bendera mereka.
Kebanyakan mereka lupa, bahwa mereka bekerja untuk mengembalikan kejayaan Jama'atul Muslimin. Kalaulah Jama'atul Muslimin dan imam-nya itu masih ada, maka tidaklah akan terjadi ikhtilaf dan perpecahan ini dimana Allah tidak menurunkan sedikit pun keterangan tentangnya.
Sebenarnya para pengamal untuk Islam itu adalah Jama'ah minal muslimin (kumpulan sebagian dari muslimin) dan bukan Jama'atul Muslimin atau Jama'atul 'Umm (Jama'ah Induk), karena kaum muslimin sekarang ini tidak mempunyai Jama'ah ataupun Imam.
Ketahuilah wahai kaum muslimin, bahwa yang disebut Jama'ah Muslimin adalah yang tergabung didalamnya seluruh kaum muslimin yang mempunyai imam yang melaksanakan hukum-hukum Allah. Adapun jama'ah yang bekerja untuk mengembalikan daulah khilafah, mereka adalah jama'ah minal muslimin yang wajib saling tolong menolong dalam urusannya dan menghilangkan perselisihan yang ada diantara individu supaya ada kesepakatan di bawah kalimat yang lurus dalam naungan kalimat tauhid.
Al-Hafidz Ibnu Hajar Rahimahullah dalam Fathul Bari XII/37 menukil perkataan Imam Thabari Rahimahullah yang menyatakan : "Berkata kaum (yakni para ulama), bahwa Jama'ah adalah Sawadul A'dzam. Kemudian diceritakan dari Ibnu Sirin dari Abi Mas'ud, bahwa beliau mewasiatkan kepada orang yang bertanya kepadanya ketika 'Utsman dibunuh, untuk berpegang teguh pada Jama'ah, karena Allah tidak akan mengumpulkan umat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam kesesatan. Dan dalam hadits dinyatakan bahwa ketika manusia tidak mempunyai imam, dan manusia berpecah belah menjadi kelompok-kelompok maka janganlah mengikuti salah satu firqah. Hindarilah semua firqah itu jika kalian mampu untuk menghindari terjatuh ke dalam keburukan".

4. Mejauhi Semua Firqah
Dinyatakan dalam hadits Hudzaifah tersebut supaya menjauhi semua firqah jika kaum muslimin tidak mempunyai jama'ah dan tidak pula imam pada hari terjadi keburukan dan fitnah. Semua firqah tersebut pada dasarnya akan menjerumuskan ke dalam kesesatan, karena mereka berkumpul di atas perkataan/teori mungkar (mungkari minal qaul) atau perbuatan mungkar, atau hawa nafsu. Baik yang mendakwahkan mashalih (pembangunan) atau mathami' (ketamakan) dan mathamih (utopia). Atau yang berkumpul di atas asas pemikiran kafir, seperti; sosialisme, komunisme, kapitalisme, dan demokrasisme. Atau yang berkumpul di atas asas kedaerahan, kesukuan, keturunan, kemadzhaban, atau yang lainnya. Sebab mereka semua itu akan menjerumuskan ke dalam neraka Jahannam, dikarenakan membawa misi selain Islam atau Islam yang sudah dirubah ...!

5. Jalan Penyelesaiannya
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan kepada Hudzaifah untuk menjauhi semua firqah yang menyeru dan menjerumuskan ke neraka Jahannam, dan supaya memegang erat-erat pokok pohon (ashlu syajarah) hingga ajal menjemputnya sedangkan ia tetap dalam keadaan seperti itu.

Dari pernyataan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.

Pertama.
Bahwa pernyataan itu mengandung perintah untuk melazimi Al-Kitab dan As-Sunnah dengan pemahaman Salafuna Shalih. Hal ini seperti yang diisyaratkan dalam hadits riwayat 'Irbadh Ibnu Sariyah.
"Artinya : Barangsiapa yang masih hidup diantara kalian maka akan melihat perselisihan yang banyak. Dan waspadalah terhadap perkara-perkara yang diada-adakan karena hal itu sesat. Dan barangsiapa yang menemui yang demikian itu, maka berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah khulafa'ur rasyidin. Gigitlah ia dengan geraham-geraham kalian". (Riwayat Abu Dawud no. 4607, Tirmidzi no. 2676, Ibnu Majah no. 440 dan yang lainnya)
Jika kita menggabungkan kedua hadits tersebut, yakni hadits Hudzaifah Ibnul Yaman Radhiyallahu 'anhu yang berisi perintah untuk memegang pokok-pokok pohon (ashlu syajarah) dengan hadits 'Irbadh ini, maka terlihat makna yang sangat dalam. Yaitu perintah untuk ber-iltizam pada As-Sunnah An-Nabawiyah dengan pemahaman Salafuna As-Shalih Ridlwanalahu Ta'ala 'alaihim manakala muncul firqah-firqah sesat dan hilangnya Jama'ah Muslimin serta Imamnya.

Kedua.
Di sini ditunjukkan pula bahwa lafadz (an ta'adhdha bi ashli syajarah) dalam hadits Hudzaifah tersebut tidak dapat diartikan secara dzahir hadits. Tetapi maknanya adalah perintah untuk berpegang teguh, dan bersabar dalam memegang Al-Haq serta menjauhi firqah-firqah sesat yang menyaingi Al-Haq. Atau bermakna bahwa pohon Islam yang rimbun tersebut akan ditiup badai topan hingga mematahkan cabang-cabangnya dan tidak tinggal kecuali pokok pohonnya saja yang kokoh. Oleh karena itu maka wajib setiap muslim untuk berada di bawah asuhan pokok pohon ini walaupun harus ditebus dengan jiwa dan harta. Karena badai topan itu akan datang lagi lebih dahsyat.

Ketiga.
Oleh karena itu menjadi kewajiban bagi setiap muslim untuk mengulurkan tangannya kepada kelompok (firqah) yang berpegang teguh dengan pokok pohon itu untuk menghadapi kembalinya fitnah dan bahaya bala. Kelompok ini seperti disabdakan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam akan selalu ada dan akan selalu muncul untuk menyokong kebenaran hingga yang terakhir dibunuh dajjal.

 


Maraji' :
Al Ilzamat wa at Tatabu oleh Ad-Daruquthni
Tafsir Al-Qur'an Al-Adzim, oleh Ibnu Katsir
Al Jami' As Shahih, oleh Bukhari dengan Fathul Bari
Haliyatul Auliya' oleh Abu Na'im Al- Ashbahani.
Silsilah Al-Hadits As-Shahihah, oleh Muhammad Nashiruddien Al-Albani
As-Sunnan, oleh Ibnu Majah
As-Sunnan, oleh Abu Dawud
As-Sunnan, oleh Tirmidzi
Syiar A'lam An-Nubala, oleh Adz-Dzahabi
Syarhu Sunnah, oleh Baghawi
As-Shahih, oleh Muslim bin Al-Hujjaj
'Aunil Ma'bud, oleh Syamsul Al-Abadi
Al-Kaasyif, oleh Dzahabi
Al-Mustadrak, oleh Hakim
Al-Musnad, oleh Ahmad bin Hambal
Tulisan ini disadur dan diringkas dari kitab yang berjudul "Qaulul Mubin fi Jama'atil Muslimin" karangan Salim bin 'Ied Al-Hilali, Penerbit Maktab Islamy Riyadh tanpa tahun, dan dimuat di majalah As-Sunnah edisi 07/1/1414-1993 hal. 8-13

Minggu, 21 September 2014

PERSATUAN AQIDAH DAN MANHAJ YANG BERBEDA: BISAKAH?




Ditanyakan kepada Fadhilatusy Syaikh Shalih Fauzan Abdullah Al-Fauzan:



APAKAH MUNGKIN PERSATUAN ITU (AKAN TERWUJUD) BERSAMAAN DENGAN BERBEDA-BEDANYA MANHAJ DAN AKIDAH?



Jawab beliau (Syaikh Shalih Al-Fauzan):

Persatuan tidak akan terwujud bersamaan dengan (adanya berbagai kelompok) yang memiliki bermacam-macam manhaj dan akidah, sebaik-baik bukti akan hal itu adalah: Keadaan bangsa Arab sebelum diutusnya Rasul shalallahu 'alaihi wasallam, di mana mereka saat itu berpecah-belah dan saling bertengkar, maka setelah mereka masuk Islam dan berada di bawah bendera tauhid, akidah dan manhajnya menjadi, maka bersatulah mereka, dan berdiri tegaklah daulahnya.


Sungguh Allah Ta'ala mengingatkan tentang hal itu dengan firman-Nya:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُآيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَمْ



"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk." (Ali Imran: 103)





Dan Allah Ta'ala berfirman kepada Nabi-Nya shalallahu 'alaihi wasallam:

وَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِي الأرْضِ جَمِيعًا مَا أَلَّفْتَ بَيْنَ

قُلُوبِهِمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ إِنَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

" dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.." (Al-anfal: 63)



Allah Ta'ala selama-lamanya tidak akan menyatukan antara hati orang-orang kafir, murtad dan firqah-firqah (kelompok-kelompok) sesat 1), Allah hanya menyatukan hati orang-orang mukmin yang bertauhid. Allah Ta'ala berfirman mengenai orang-orang kafir dan munafik yang menyelisihi manhaj Islam dan akidahnya:

لا يُقَاتِلُونَكُمْ جَمِيعًا إِلا فِي قُرًى مُحَصَّنَةٍ أَوْ مِنْ وَرَاءِ جُدُرٍ بَأْسُهُمْ بَيْنَهُمْ شَدِيدٌ تَحْسَبُهُمْ جَمِيعًا وَقُلُوبُهُمْ شَتَّى ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لا يَعْقِلُونَ

Mereka tiada akan memerangi kamu dalam keadaan bersatu padu, kecuali dalam kampung-kampung yang berbenteng atau di balik tembok. Permusuhan antara sesama mereka adalah sangat hebat. Kamu kira mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah belah. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tidak mengerti. (Al-Hasyr: 14)



وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ

"Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat". (Hud: 118)

Dan mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu



"Kecuali orang-orang yang diberi rahmat Rabbmu", mereka itu ialah orang-orang yang memiliki akidah yang benar dan manhaj yang benar, maka mereka itulah orang-orang yang selamat dari perselisihan dan perpecahan.



Adapun orang-orang yang berusaha menyatukan umat, padahal akidahnya masih rusak, manhajnya bermacam-macam dan berbeda-beda, maka itu adalah (upaya) yang mustahil terwujud, karena sesungguhnya menyatukan dua hal yang berlawanan itu adalah hal yang mustahil.



Karena tidak bisa menyatukan hati dan menyatukan umat ini, kecuali kalimat tauhid 2), yang dimengerti makna-maknanya, diamalkan kandungannya secara lahir dan batin, bukan hanya sekedar mengucapkannya, sedang pada sisi yang lain masih mau menyelisihi apa yang menjadi tuntutannya. Maka sesungguhnya ketika itu kalimat tauhid ini tidak akan ada manfaatnya.



Footnote:



1) Keadaan firqah-firqah dan hizb-hizb (golongan-golongan yang menyimpang) yang ada di muka bumi saat ini -sebagaimana dikatakan-adalah merupakan saksi dan menjadi bukti yang paling nyata, karena mereka berbeda-beda dalam memahami Al-Kitab (Al-Qur'an), dan berbeda-beda dalam mengamalkannya, serta mereka menyelisihi Al-Kitab. Apabila hati manusia itu sepakat dan saling mengenal maka akan menyatu, dan demikian pula sebaliknya. Sebagaimana Rasulullah menyebutkannya dalam hadits shahih bahwa beliau bersabda:



"Ruh-ruh adalah pasukan tentara maka yang saling mengenal akan bergabung dan yang saling mengingkari akan berselisih." (HR. Al-Bukhari: 3158)



2) Orang-orang yang berusaha menyatukan umat manusia bersamaan dengan rusaknya akidah dan manhaj (berbagai kelompok) yang berbeda-beda itu -sebagai contoh saja bukan hanya terbatas pada contoh ini- pada jaman kita ini adalah firqah Ikhwanul Muslimin (IM) di mana mereka berusaha menyatukan barisan-barisannya yang terdiri dari Rafidhah, Jahmiyyah, Asy'ariyah, Khawarij, Mu'tazilah. Bahkan orang-orang Nasrani pun bisa masuk pada barisan mereka, maka janganlah engkau lupakan perkara yang sangat nyata ini. Wahai para pembaca yang budiman, telah kita lewati ucapan-ucapan beberapa ahli ilmu (ulama) mengenai mereka ini dalam sela-sela kitab ini. Yang kesimpulannya mereka (IM) tidak mementingkan dakwah tauhid dan tidak berhati-hati dan memperingatkan kesyirikan. Dan ini adalah merupakan sifat (ciri-ciri) khusus yang dimiliki oleh 'firqah tabligh' pula. Karena Ikhwanul Muslimin, Quthbiyyah (pengikut Sayyid Quthub) tidaklah jauh berbeda dari firqah tabligh ini.



Diambil dari buku Menepis Penyimpangan Manhaj Dakwah II, Abu Abdillah Jamal Furaihan Al-Haritsi, Al-Madinah, Solo

Senin, 15 September 2014

KEUTAMAAN TANGGAL 1 SAMPAI 10 DZUL HIJJAH


Dari Ibn Abbas radhiallahu 'anhu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Tidak ada satu amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang dilakukan selama 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah." Para sahabat bertanya: "Tidak pula jihad?" Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: "Tidak pula jihad, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun." 
(HR. Abu Daud & dishahihkan Syaikh Al Albani)

Berdasarkan hadis tersebut, ulama' sepakat dianjurkannya berpuasa selama 8 hari pertama bulan Dzul hijjah. Dan lebih ditekankan lagi pada tanggal 9 Dzul Hijjah (Hari 'Arafah)
Diceritakan oleh Al Mundziri dalam At Targhib (2/150) bahwa Sa'id bin Jubair (Murid terbaik Ibn Abbas) ketika memasuki tanggal satu Dzul Hijjah, beliau sangat bersungguh-sungguh dalam beribadah sampai hampir tidak bisa mampu melakukannya.
Bagaimana dengan Puasa Hari Tarwiyah (8 Dzul Hijjah) Secara Khusus? Terdapat hadis yang menyatakan: "Orang yang berpuasa pada hari tarwiyah maka baginya pahala puasa satu tahun." Namun hadis ini hadits palsu sebagaimana ditegaskan oleh Ibnul Zauzy (Al Maudhu'at 2/198), As Suyuthi (Al Masnu' 2/107), As Syaukani (Al Fawaidul Majmu'ah).

Oleh karena itu, tidak perlu berniat khusus untuk berpuasa pada tanggal 8 Dzul Hijjah karena hadisnya dhaif. Namun jika berpuasa karena mengamalkan keumuman hadis shahih di atas maka diperbolehkan. (disarikan dari Fatwa Yas-aluunaka, Syaikh Hissamuddin 'Affaanah). Wallaahu a'lam.


Tauhid
Mendapatkan Pahala Haji dan Umroh
Piqih Qurban
Skema Ibadah Haji dan Umroh



Sabtu, 13 September 2014

Rajin Bermaksiat Namun Rezeki Lancar dan Sukses Berbisnis



 




ADA orang yang maksiatnya lancar tapi rezekinya juga lancar, bisnisnya sukses, pelitnya luar biasa. Bagaimana bisa?
Jawabannya ada pada hadits berikut ini:


عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إذا رأيت الله يعطي العبد من الدنيا ما يحب وهو مقيم على معصيته ؛ فاعلم أنما ذلك منه استدراج ، ثُمَّ تَلَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ} [الأنعام: 44].

Dari 'Uqbah bin Amir, dari Rasulullah SAW: "Apabila engkau melihat Allah mengaruniakan dunia kepada seorang hamba sesuai dengan yang ia inginkan, sementara ia tenggelam dalam kemaksiatan, maka ketahuilah itu hanya istidraj darinya", kemudian Rasulullah SAW membaca firman: " Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa"
.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ عَزَّ وَجَلَّ: {سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِنْ حَيْثُ لا يَعْلَمُونَ} [القلم: 44] ؛ قَالَ: كُلَّمَا أَحْدَثُوا خَطِيئَةً جددنا لهم نعمة وأنسيناهم الاسْتِغْفَارَ.

Ibnu Abbas menjelaskan firman Allah 'Azza wajallah: "Nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur ke arah kebinasaan dengan cara yang tidak mereka ketahui", ia berkata: Setiap kali mereka melakukan satu kesalahan kami beri mereka nikmat yang baru dan kami lupakan mereka untuk beristighfar.


عن سفيانَ في قولِهِ {سَنَسْتَدْرِجُهُم مِّنْ حَيْثُ لاَ يَعْلَمُون} [الأعراف: 182] قالَ: نُسبغُ عَليهم النِّعمةَ ونَمنَعُهم الشكرَ.

Sufyan ats Tsauriy menjelaskan firman Allah: "Nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur ke arah kebinasaan dengan cara yang tidak mereka ketahui", ia berkata: Kami karuniakan nikmat kepada mereka dan kami halangi mereka untuk bersyukur.
Kelancaran rezeki bukanlah standar sayangnya Allah kepada seseorang. Boleh jadi kelapangan hidup itu bentuk azab yang tidak disadari. Untuk apa banyak harta tapi batin merana, ancaman azab akhirat tidak dipedulikan. Kalaulah standar sayangnya Allah itu dengan kemewahan hidup dunia, Qarunlah orang yang paling disayangi Allah. Tapi akhirnya ia binasa ditelan bumi.
Juga sebaliknya, jangan mengira orang yang banyak ujian dan cobaan dalam hidup tanda ia dimurkai oleh Allah. Boleh jadi itu adalah musibah untuk menghapuskan dosa dan meninggikan derajatnya di surga nanti.
Penuntut ilmu juga begitu. Jangan mengira dapat nilai bagus dan selalu sukses adalah ukuran kasih sayang Allah kepadanya. Tapi lihatlah, bagaimana shalatnya, puasanya, bagaimana ketaatannya untuk tunduk pada aturan Allah, dan bagaimana usahanya untuk mengamalkan ilmunya.
Maka berhati-hatilah, kita sedang di posisi mana?
Standar sayang atau marahnya Allah itu adalah sejauh mana kita mampu taat kepada-Nya atau sedalam apa tenggelam dalam kemaksiatan.

 

[Sumber]: http://www.islampos.com
 Ustadz Fesbukers/Suryandi Temala Sip

 



_________________________________________________________________________________



Kamis, 11 September 2014

FIQIH QURBAN


Allah subhanahu wa ta'ala berfirman :

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

yang artinya, Maka shalatlah untuk Rabbmu dan sembelihlah hewan." (QS. Al Kautsar: 2).

Syaikh Abdullah Alu Bassaam mengatakan, "Sebagian ulama ahli tafsir mengatakan; Yang dimaksud dengan menyembelih hewan adalah menyembelih hewan qurban setelah shalat Ied". Pendapat ini dinukilkan dari Qatadah, Atha' dan Ikrimah (Taisirul 'Allaam, 534 Taudhihul Ahkaam, IV/450. Lihat juga Shahih Fiqih Sunnah II/366). Dalam istilah ilmu fiqih hewan qurban biasa disebut dengan nama Al Udh-hiyah yang bentuk jamaknya Al Adhaahi (dengan huruf ha' tipis)


Pengertian Udh-hiyah

Udh-hiyah adalah hewan ternak yang disembelih pada hari Iedul Adha dan hari Tasyriq dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah karena datangnya hari raya tersebut (lihat Al Wajiz, 405 dan Shahih Fiqih Sunnah II/366)

Keutamaan Qurban

Menyembelih qurban termasuk amal salih yang paling utama. Ibunda 'Aisyah radhiyallahu'anha menceritakan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Tidaklah anak Adam melakukan suatu amalan pada hari Nahr (Iedul Adha) yang lebih dicintai oleh Allah melebihi mengalirkan darah (qurban), maka hendaknya kalian merasa senang karenanya." (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al Hakim dengan sanad sahih, lihat Taudhihul Ahkam, IV/450)

Hadis di atas didhaifkan oleh Syaikh Al Albani (dhaif Ibn Majah, 671). Namun kegoncangan hadis di atas tidaklah menyebabkan hilangnya keutamaan berqurban. Banyak ulama menjelaskan bahwa menyembelih hewan qurban pada hari idul Adlha lebih utama dari pada sedekah yang senilai atau harga hewan qurban atau bahkan sedekah yang lebih banyak dari pada nilai hewan qurban. Karena maksud terpenting dalam berqurban adalah mendekatkan diri kepada Allah. Disamping itu, menyembelih qurban lebih menampakkan syi'ar islam dan lebih sesuai dengan sunnah (lihat Shahih Fiqh Sunnah 2/379 & Syarhul Mumthi' 7/521).


Hukum Qurban

Dalam hal ini para ulama terbagi dalam dua pendapat:

Pertama, wajib bagi orang yang berkelapangan. Ulama yang berpendapat demikian adalah Rabi'ah (guru Imam Malik), Al Auza'i, Abu Hanifah, Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, Laits bin Sa'ad serta sebagian ulama pengikut Imam Malik, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahumullah. Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan: "Pendapat yang menyatakan wajib itu tampak lebih kuat dari pada pendapat yang menyatakan tidak wajib. Akan tetapi hal itu hanya diwajibkan bagi yang mampu…" (lih. Syarhul Mumti', III/408) Diantara dalilnya adalah hadits Abu Hurairah yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang berkelapangan (harta) namun tidak mau berqurban maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami." (HR. Ibnu Majah 3123, Al Hakim 7672 dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani)

Kedua, menyatakan Sunnah Mu'akkadah (ditekankan). Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama yaitu Malik, Syafi'i, Ahmad, Ibnu Hazm dan lain-lain. Ulama yang mengambil pendapat ini berdalil dengan riwayat dari Abu Mas'ud Al Anshari radhiyallahu 'anhu. Beliau mengatakan, "Sesungguhnya aku sedang tidak akan berqurban. Padahal aku adalah orang yang berkelapangan. Itu kulakukan karena aku khawatir kalau-kalau tetanggaku mengira qurban itu adalah wajib bagiku." (HR. Abdur Razzaq dan Baihaqi dengan sanad shahih). Demikian pula dikatakan oleh Abu Sarihah, "Aku melihat Abu Bakar dan Umar sementara mereka berdua tidak berqurban." (HR. Abdur Razzaaq dan Baihaqi, sanadnya shahih) Ibnu Hazm berkata, "Tidak ada riwayat sahih dari seorang sahabatpun yang menyatakan bahwa qurban itu wajib." (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/367-368, Taudhihul Ahkaam, IV/454)

Dalil-dalil di atas merupakan dalil pokok yang digunakan masing-masing pendapat. Jika dijabarkan semuanya menunjukkan masing-masing pendapat sama kuat. Sebagian ulama memberikan jalan keluar dari perselisihan dengan menasehatkan: "…selayaknya bagi mereka yang mampu, tidak meninggalkan berqurban. Karena dengan berqurban akan lebih menenangkan hati dan melepaskan tanggungan, wallahu a'lam." (Tafsir Adwa'ul Bayan, 1120)


Yakinlah…! bagi mereka yang berqurban, Allah akan segera memberikan ganti biaya qurban yang dia keluarkan. Karena setiap pagi Allah mengutus dua malaikat, yang satu berdo'a: "Yaa Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfaq." Dan yang kedua berdo'a: "Yaa Allah, berikanlah kehancuran bagi orang yang menahan hartanya (pelit)." (HR. Al Bukhari 1374 & Muslim 1010).


Hewan yang Boleh Digunakan Untuk Qurban


Hewan qurban hanya boleh dari kalangan Bahiimatul Al An'aam (hewan ternak tertentu) yaitu onta, sapi atau kambing dan tidak boleh selain itu. Bahkan sekelompok ulama menukilkan adanya ijma' (kesepakatan) bahwasanya qurban tidak sah kecuali dengan hewan-hewan tersebut (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/369 dan Al Wajiz 406) Dalilnya adalah firman Allah


وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ

بَهِيمَةِ الأنْعَامِ فَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُوا وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ

yang artinya, "Dan bagi setiap umat Kami berikan tuntunan berqurban agar kalian mengingat nama Allah atas rezki yang dilimpahkan kepada kalian berupa hewan-hewan ternak (bahiimatul an'aam)." (QS. Al Hajj: 34)


Syaikh Ibnu 'Utsaimin mengatakan, "Bahkan jika seandainya ada orang yang berqurban dengan jenis hewan lain yang lebih mahal dari pada jenis ternak tersebut maka qurbannya tidak sah. Andaikan dia lebih memilih untuk berqurban seekor kuda seharga 10.000 real sedangkan seekor kambing harganya hanya 300 real maka qurbannya (dengan kuda) itu tidak sah…" (Syarhul Mumti', III/409)


Seekor Kambing Untuk Satu Keluarga

Seekor kambing cukup untuk qurban satu keluarga, dan pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga meskipun jumlahnya banyak atau bahkan yang sudah meninggal dunia. Sebagaimana hadits Abu Ayyub radhiyallahu'anhu yang mengatakan, "Pada masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam seseorang (suami) menyembelih seekor kambing sebagai qurban bagi dirinya dan keluarganya." (HR. Tirmidzi dan beliau menilainya shahih, lihat Minhaajul Muslim, 264 dan 266).

Oleh karena itu, tidak selayaknya seseorang mengkhususkan qurban untuk salah satu anggota keluarganya tertentu, misalnya kambing 1 untuk anak si A, kambing 2 untuk anak si B, karunia dan kemurahan Allah sangat luas maka tidak perlu dibatasi.

Bahkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berqurban untuk seluruh dirinya dan seluruh umatnya. Suatu ketika beliau hendak menyembelih kambing qurban. Sebelum menyembelih beliau mengatakan: "Yaa Allah ini – qurban – dariku dan dari umatku yang tidak berqurban." (HR. Abu Daud 2810 & Al Hakim 4/229 dan dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Al Irwa' 4/349). Berdasarkan hadis ini, Syaikh Ali bin Hasan Al Halaby mengatakan: "Kaum muslimin yang tidak mampu berqurban, mendapatkan pahala sebagaimana orang berqurban dari umat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam."

Adapun yang dimaksud: "…kambing hanya boleh untuk satu orang, sapi untuk tujuh orang, dan onta 10 orang…" adalah biaya pengadaannya. Biaya pengadaan kambing hanya boleh dari satu orang, biaya pengadaan sapi hanya boleh dari maksimal tujuh orang dst.

Namun seandainya ada orang yang hendak membantu shohibul qurban yang kekurangan biaya untuk membeli hewan, maka diperbolehkan dan tidak mempengaruhi status qurbannya. Dan status bantuan di sini adalah hadiah bagi shohibul qurban.Apakah harus izin terlebih dahulu kepada pemilik hewan? Jawab: Tidak harus, karena dalam transaksi hadiah tidak dipersyaratkan memberitahukan kepada orang yang diberi sedekah.

Ketentuan Untuk Sapi & Onta

Seekor Sapi dijadikan qurban untuk 7 orang. Sedangkan seekor onta untuk 10 orang. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu'anhu beliau mengatakan, "Dahulu kami penah bersafar bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam lalu tibalah hari raya Iedul Adha maka kami pun berserikat sepuluh orang untuk qurban seekor onta. Sedangkan untuk seekor sapi kami berserikat sebanyak tujuh orang." (Shahih Sunan Ibnu Majah 2536, Al Wajiz, hal. 406)

Dalam masalah pahala, ketentuan qurban sapi sama dengan ketentuan qurban kambing. Artinya urunan 7 orang untuk qurban seekor sapi, pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga dari 7 orang yang ikut urunan.


Arisan Qurban Kambing?


Mengadakan arisan dalam rangka berqurban masuk dalam pembahasan berhutang untuk qurban. Karena hakekat arisan adalah hutang. Sebagian ulama menganjurkan untuk berqurban meskipun harus hutang. Di antaranya adalah Imam Abu Hatim sebagaimana dinukil oleh Ibn Katsir dari Sufyan At Tsauri (Tafsir Ibn Katsir, surat Al Hajj:36)(*) Demikian pula Imam Ahmad dalam masalah aqiqah. Beliau menyarankan agar orang yang tidak memiliki biaya aqiqah agar berhutang dalam rangka menghidupkan sunnah aqiqah di hari ketujuh setelah kelahiran.

(*) Sufyan At Tsauri rahimahullah mengatakan: Dulu Abu Hatim pernah berhutang untuk membeli unta qurban. Beliau ditanya: "Kamu berhutang untuk beli unta qurban?" beliau jawab: "Saya mendengar Allah berfirman:


لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ (kamu memperoleh kebaikan yang banyak pada unta-unta qurban tersebut) (QS: Al Hajj:36)." (lih. Tafsir Ibn Katsir, surat Al Hajj: 36).

Sebagian ulama lain menyarankan untuk mendahulukan pelunasan hutang dari pada berqurban. Di antaranya adalah Syaikh Ibn Utsaimin dan ulama tim fatwa islamweb.net di bawah pengawasan Dr. Abdullah Al Faqih (lih. Fatwa Syabakah Islamiyah no. 7198 & 28826). Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan: "Jika orang punya hutang maka selayaknya mendahulukan pelunasan hutang dari pada berqurban." (Syarhul Mumti' 7/455). Bahkan Beliau pernah ditanya tentang hukum orang yang tidak jadi qurban karena uangnya diserahkan kepada temannya yang sedang terlilit hutang, dan beliau jawab: "Jika di hadapkan dua permasalahan antara berqurban atau melunaskan hutang orang faqir maka lebih utama melunasi hutang, lebih-lebih jika orang yang sedang terlilit hutang tersebut adalah kerabat dekat." (lih. Majmu' Fatawa & Risalah Ibn Utsaimin 18/144).

Namun pernyataan-pernyataan ulama di atas tidaklah saling bertentangan. Karena perbedaan ini didasari oleh perbedaan dalam memandang keadaan orang yang berhutang. Sikap ulama yang menyarankan untuk berhutang ketika qurban dipahami untuk kasus orang yang keadaanya mudah dalam melunasi hutang atau kasus hutang yang jatuh temponya masih panjang. Sedangkan anjuran sebagian ulama untuk mendahulukan pelunasan hutang dari pada qurban dipahami untuk kasus orang yang kesulitan melunasi hutang atau hutang yang menuntut segera dilunasi. Dengan demikian, jika arisan qurban kita golongkan sebagai hutang yang jatuh temponya panjang atau hutang yang mudah dilunasi maka berqurban dengan arisan adalah satu hal yang baik. Wallahu a'lam.


Qurban Kerbau?


Para ulama' menyamakan kerbau dengan sapi dalam berbagai hukum dan keduanya disikapi sebagai satu jenis (Mausu'ah Fiqhiyah Quwaithiyah 2/2975). Ada beberapa ulama yang secara tegas membolehkan berqurban dengan kerbau, dari kalangan Syafi'iyah (lih. Hasyiyah Al Bajirami) maupun dari Hanafiyah (lih. Al 'Inayah Syarh Hidayah 14/192 dan Fathul Qodir 22/106). Mereka menganggap keduanya satu jenis.

Syaikh Ibn Al Utasimin pernah ditanya tentang hukum qurban dengan kerbau.

Pertanyaan: "Kerbau dan sapi memiliki perbedaan dalam banyak sifat sebagaimana kambing dengan domba. Namun Allah telah merinci penyebutan kambing dengan domba tetapi tidak merinci penyebutan kerbau dengan sapi, sebagaimana disebutkan dalam surat Al An'am 143. Apakah boleh berqurban dengan kerbau?"

Beliau menjawab: "Jika hakekat kerbau termasuk sapi maka kerbau sebagaimana sapi namun jika tidak maka (jenis hewan) yang Allah sebut dalam alqur'an adalah jenis hewan yang dikenal orang arab, sedangkan kerbau tidak termasuk hewan yang dikenal orang arab." (Liqa' Babil Maftuh 200/27)

Jika pernyataan Syaikh Ibn Utsaimin kita bawa pada penjelasan ulama di atas maka bisa disimpulkan bahwa qurban kerbau hukumnya sah, karena kerbau sejenis dengan sapi. Wallahu a'lam.

Urunan Qurban Satu Sekolahan

Terdapat satu tradisi di lembaga pendidikan di daerah kita, ketika iedul adha tiba sebagian sekolahan menggalakkan kegiatan latihan qurban bagi siswa. Masing-masing siswa dibebani iuran sejumlah uang tertentu. Hasilnya digunakan untuk membeli kambing dan disembelih di hari-hari qurban. Apakah ini bisa dinilai sebagai ibadah qurban?

Perlu dipahami bahwa qurban adalah salah satu ibadah dalam Islam yang memiliki aturan tertentu sebagaimana yang digariskan oleh syari'at. Keluar dari aturan ini maka tidak bisa dinilai sebagai ibadah qurban alias qurbannya tidak sah. Di antara aturan tersebut adalah masalah pembiayaan. Sebagaimana dipahami di muka, biaya pengadaan untuk seekor kambing hanya boleh diambilkan dari satu orang. Oleh karena itu kasus tradisi 'qurban' seperti di atas tidak dapat dinilai sebagai qurban.


Berqurban Atas Nama Orang yang Sudah Meninggal?

Berqurban untuk orang yang telah meninggal dunia dapat dirinci menjadi tiga bentuk:

•    Orang yang meninggal bukan sebagai sasaran qurban utama namun statusnya mengikuti qurban keluarganya yang masih hidup. Misalnya seseorang berqurban untuk dirinya dan keluarganya sementara ada di antara keluarganya yang telah meninggal. Berqurban jenis ini dibolehkan dan pahala qurbannya meliputi dirinya dan keluarganya meskipun ada yang sudah meninggal.

•    Berqurban khusus untuk orang yang telah meninggal tanpa ada wasiat dari mayit. Sebagian ulama madzhab hambali menganggap ini sebagai satu hal yang baik dan pahalanya bisa sampai kepada mayit, sebagaimana sedekah atas nama mayit (lih. Fatwa Majlis Ulama Saudi no. 1474 & 1765). Namun sebagian ulama' bersikap keras dan menilai perbuatan ini sebagai satu bentuk bid'ah, mengingat tidak ada tuntunan dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Tidak ada riwayat bahwasanya beliau berqurban atas nama Khadijah, Hamzah, atau kerabat beliau lainnya yang mendahului beliau shallallahu 'alaihi wa sallam.

•    Berqurban khusus untuk orang yang meninggal karena mayit pernah mewasiatkan agar keluarganya berqurban untuknya jika dia meninggal. Berqurban untuk mayit untuk kasus ini diperbolehkan jika dalam rangka menunaikan wasiat si mayit. (Dinukil dari catatan kaki Syarhul Mumti' yang diambil dari Risalah Udl-hiyah Syaikh Ibn Utsaimin 51.

Umur Hewan Qurban

Untuk onta dan sapi: Jabir meriwayatkan Rasulullahshallallahu 'alaihi wa sallambersabda, "Janganlah kalian menyembelih (qurban) kecuali musinnah. Kecuali apabila itu menyulitkan bagi kalian maka kalian boleh menyembelihdomba jadza'ah." (Muttafaq 'alaih)


Musinnah adalah hewan ternak yang sudah dewasa, dengan rincian:

No.    Hewan    Umur minimal

1.    Onta    5 tahun

2.    Sapi    2 tahun

3.    Kambing jawa    1 tahun

4.    Domba/ kambing gembel    6 bulan (domba Jadza'ah)


Cacat hewan qurban dibagi menjadi 3:

Cacat yang menyebabkan tidak sah untuk berqurban, ada 4 (**):

•    Buta sebelah dan jelas sekali kebutaannya: Jika butanya belum jelas – orang yang melihatnya menilai belum buta – meskipun pada hakekatnya kambing tersebut satu matanya tidak berfungsi maka boleh diqurbankan. Demikian pula hewan yang rabun senja. ulama' madzhab syafi'iyah menegaskan hewan yang rabun boleh digunakan untuk qurban karena bukan termasuk hewan yang buta sebelah matanya.

•    Sakit dan tampak sekali sakitnya.

•    Pincang dan tampak jelas pincangnya: Artinya pincang dan tidak bisa berjalan normal. Akan tetapi jika baru kelihatan pincang namun bisa berjalan dengan baik maka boleh dijadikan hewan qurban.

•    Sangat tua sampai-sampai tidak punya sumsum tulang.

Dan jika ada hewan yang cacatnya lebih parah dari 4 jenis cacat di atas maka lebih tidak boleh untuk digunakan berqurban. (lih. Shahih Fiqih Sunnah, II/373 & Syarhul Mumti' 3/294).

Cacat yang menyebabkan makruh untuk berqurban, ada 2 (***):

•    Sebagian atau keseluruhan telinganya terpotong

•    Tanduknya pecah atau patah (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/373)

Cacat yang tidak berpengaruh pada hewan qurban (boleh dijadikan untuk qurban) namun kurang sempurna.

Selain 6 jenis cacat di atas atau cacat yang tidak lebih parah dari itu maka tidak berpengaruh pada status hewan qurban. Misalnya tidak bergigi (ompong), tidak berekor, bunting, atau tidak berhidung. Wallahu a'lam

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya tentang cacat hewan apa yang harus dihindari ketika berqurban. Beliau menjawab: "Ada empat cacat… dan beliau berisyarat dengan tangannya." (HR. Ahmad 4/300 & Abu Daud 2802, dinyatakan Hasan-Shahih oleh Turmudzi). Sebagian ulama menjelaskan bahwa isyarat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dengan tangannya ketika menyebutkan empat cacat tersebut menunjukkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membatasi jenis cacat yang terlarang. Sehingga yang bukan termasuk empat jenis cacat sebagaimana dalam hadis boleh digunakan sebagai qurban. (Syarhul Mumthi' 7/464)

Terdapat hadis yang menyatakan larangan berqurban dengan hewan yang memilki dua cacat, telinga terpotong atau tanduk pecah. Namun hadisnya dlo'if, sehingga sebagian ulama menggolongkan cacat jenis kedua ini hanya menyebabkan makruh dipakai untuk qurban. (Syarhul Mumthi' 7/470)

Hewan yang Disukai dan Lebih Utama untuk Diqurbankan

Hendaknya hewan yang diqurbankan adalah hewan yang gemuk dan sempurna. Dalilnya adalah firman Allah ta'ala yang artinya, "…barangsiapa yang mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah maka sesungguhnya itu adalah berasal dari ketakwaan hati." (QS. Al Hajj: 32). Berdasarkan ayat ini Imam Syafi'i rahimahullah menyatakan bahwa orang yang berqurban disunnahkan untuk memilih hewan qurban yang besar dan gemuk. Abu Umamah bin Sahl mengatakan, "Dahulu kami di Madinah biasa memilih hewan yang gemuk dalam berqurban. Dan memang kebiasaan kaum muslimin ketika itu adalah berqurban dengan hewan yang gemuk-gemuk." (HR. Bukhari secara mu'allaq namun secara tegas dan dimaushulkan oleh Abu Nu'aim dalam Al Mustakhraj, sanadnya hasan)

Diantara ketiga jenis hewan qurban maka menurut mayoritas ulama yang paling utama adalah berqurban dengan onta, kemudian sapi kemudian kambing, jika biaya pengadaan masing-masing ditanggung satu orang (bukan urunan). Dalilnya adalah jawaban Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ketika ditanya oleh Abu Dzar radhiallahu 'anhu tentang budak yang lebih utama. Beliau bersabda, "Yaitu budak yang lebih mahal dan lebih bernilai dalam pandangan pemiliknya" (HR. Bukhari dan Muslim). (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/374)

Manakah yang Lebih Baik, Ikut Urunan Sapi atau Qurban Satu Kambing?

Sebagian ulama menjelaskan qurban satu kambing lebih baik dari pada ikut urunan sapi atau onta, karena tujuh kambing manfaatnya lebih banyak dari pada seekor sapi (lih. Shahih Fiqh Sunnah, 2/375, Fatwa Lajnah Daimah no. 1149 & Syarhul Mumthi' 7/458). Disamping itu, terdapat alasan lain diantaranya:

•    Qurban yang sering dilakukan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam adalah utuh satu ekor, baik kambing, sapi, maupun onta, bukan 1/7 sapi atau 1/10 onta.

•    Kegiatan menyembelihnya lebih banyak. Lebih-lebih jika hadis yang menyebutkan keutamaan qurban di atas statusnya shahih. Hal ini juga sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh penulis kitab Al Muhadzab Al Fairuz Abadzi As Syafi'i. (lih. Al Muhadzab 1/74)

•    Terdapat sebagian ulama yang melarang urunan dalam berqurban, diantaranya adalah Mufti Negri Saudi Syaikh Muhammad bin Ibrahim (lih. Fatwa Lajnah 11/453). Namun pelarangan ini didasari dengan qiyas (analogi) yang bertolak belakang dengan dalil sunnah, sehingga jelas salahnya.


Apakah Harus Jantan?

Tidak ada ketentuan jenis kelamin hewan qurban. Boleh jantan maupun betina. Dari Umu Kurzin radliallahu 'anha, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Aqiqah untuk anal laki-laki dua kambing dan anak perempuan satu kambing. Tidak jadi masalah jantan maupun betina." (HR. Ahmad 27900 & An Nasa'i 4218 dan dishahihkan Syaikh Al Albani). Berdasarkan hadis ini, Al Fairuz Abadzi As Syafi'i mengatakan: "Jika dibolehkan menggunakan hewan betina ketika aqiqah berdasarkan hadis ini, menunjukkan bahwa hal ini juga boleh untuk berqurban." (Al Muhadzab 1/74)

Namun umumnya hewan jantan itu lebih baik dan lebih mahal dibandingkan hewan betina. Oleh karena itu, tidak harus hewan jantan namun diutamakan jantan.


Larangan Bagi yang Hendak Berqurban


Orang yang hendak berqurban dilarang memotong kuku dan memotong rambutnya (yaitu orang yang hendak qurban bukan hewan qurbannya). Dari Ummu Salamah dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam beliau bersabda, "Apabila engkau telah memasuki sepuluh hari pertama (bulan Dzulhijjah) sedangkan diantara kalian ingin berqurban maka janganlah dia menyentuh sedikitpun bagian dari rambut dan kulitnya." (HR. Muslim). Larangan tersebut berlaku untuk cara apapun dan untuk bagian manapun, mencakup larangan mencukur gundul atau sebagian saja, atau sekedar mencabutinya. Baik rambut itu tumbuh di kepala, kumis, sekitar kemaluan maupun di ketiak (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/376).

Apakah larangan ini hanya berlaku untuk kepala keluarga ataukah berlaku juga untuk anggota keluarga shohibul qurban? Jawab: Larangan ini hanya berlaku untuk kepala keluarga (shohibul qurban) dan tidak berlaku bagi anggota keluarganya. Karena 2 alasan:

•    Dlahir hadis menunjukkan bahwa larangan ini hanya berlaku untuk yang mau berqurban.

•    Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sering berqurban untuk dirinya dan keluarganya. Namun belum ditemukan riwayat bahwasanya beliau menyuruh anggota keluarganya untuk tidak memotong kuku maupun rambutnya. (Syarhul Mumti' 7/529)

Waktu Penyembelihan

Waktu penyembelihan qurban adalah pada hari Iedul Adha dan 3 hari sesudahnya (hari tasyriq). Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Setiap hari taysriq adalah (hari) untuk menyembelih (qurban)." (HR. Ahmad dan Baihaqi) Tidak ada perbedaan waktu siang ataupun malam. Baik siang maupun malam sama-sama dibolehkan. Namun menurut Syaikh Al Utsaimin, melakukan penyembelihan di waktu siang itu lebih baik. (Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi, hal. 33). Para ulama sepakat bahwa penyembelihan qurban tidak boleh dilakukan sebelum terbitnya fajar di hari Iedul Adha. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat Ied maka sesungguhnya dia menyembelih untuk dirinya sendiri (bukan qurban). Dan barangsiapa yang menyembelih sesudah shalat itu maka qurbannya sempurna dan dia telah menepati sunnahnya kaum muslimin." (HR. Bukhari dan Muslim) (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/377)


Tempat Penyembelihan

Tempat yang disunnahkan untuk menyembelih adalah tanah lapangan tempat shalat 'ied diselenggarakan. Terutama bagi imam/penguasa/tokoh masyarakat, dianjurkan untuk menyembelih qurbannya di lapangan dalam rangka memberitahukan kepada kaum muslimin bahwa qurban sudah boleh dilakukan dan mengajari tata cara qurban yang baik. Ibnu 'Umar mengatakan, "Dahulu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam biasa menyembelih kambing dan onta (qurban) di lapangan tempat shalat." (HR. Bukhari 5552). Dan dibolehkan untuk menyembelih qurban di tempat manapun yang disukai, baik di rumah sendiri ataupun di tempat lain. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/378)

Penyembelih Qurban

Disunnahkan bagi shohibul qurban untuk menyembelih hewan qurbannya sendiri namun boleh diwakilkan kepada orang lain. Syaikh Ali bin Hasan mengatakan: "Saya tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama' dalam masalah ini." Hal ini berdasarkan hadits Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu di dalam Shahih Muslim yang menceritakan bahwa pada saat qurban Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menyembelih beberapa onta qurbannya dengan tangan beliau sendiri kemudian sisanya diserahkan kepada Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu untuk disembelih. (lih. Ahkaamul Idain, 32)


Tata Cara Penyembelihan

•    Sebaiknya pemilik qurban menyembelih hewan qurbannya sendiri.

•    Apabila pemilik qurban tidak bisa menyembelih sendiri maka sebaiknya dia ikut datang menyaksikan penyembelihannya.

•    Hendaknya memakai alat yang tajam untuk menyembelih.

•    Hewan yang disembelih dibaringkan di atas lambung kirinya dan dihadapkan ke kiblat. Kemudian pisau ditekan kuat-kuat supaya cepat putus.

•    Ketika akan menyembelih disyari'akan membaca "Bismillaahi wallaahu akbar" ketika menyembelih. Untuk bacaan bismillah (tidak perlu ditambahi Ar Rahman dan Ar Rahiim) hukumnya wajib menurut Imam Abu Hanifah, Malik dan Ahmad, sedangkan menurut Imam Syafi'i hukumnya sunnah. Adapun bacaan takbir – Allahu akbar – para ulama sepakat kalau hukum membaca takbir ketika menyembelih ini adalah sunnah dan bukan wajib. Kemudian diikuti bacaan:

o    hadza minka wa laka." (HR. Abu Dawud 2795) Atau

o    hadza minka wa laka 'anni atau 'an fulan (disebutkan nama shahibul qurban)." atau

o    Berdoa agar Allah menerima qurbannya dengan doa, "Allahumma taqabbal minni atau min fulan (disebutkan nama shahibul qurban)" (lih. Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi, hal. 92)Catatan: Tidak terdapat do'a khusus yang panjang bagi shohibul qurban ketika hendak menyembelih. Wallahu a'lam.

Bolehkah Mengucapkan Shalawat Ketika Menyembelih? Tidak boleh mengucapkan shalawat ketika hendak menyembelih, karena 2 alasan:

•    Tidak terdapat dalil bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengucapkan shalawat ketika menyembelih. Sementara beribadah tanpa dalil adalah perbuatan bid'ah.

•    Bisa jadi orang akan menjadikan nama Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai wasilah ketika qurban. Atau bahkan bisa jadi seseorang membayangkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ketika menyembelih, sehingga sembelihannya tidak murni untuk Allah. (lih. Syarhul Mumti' 7/492)

Pemanfaatan Hasil Sembelihan

Bagi pemilik hewan qurban dibolehkan memanfaatkan daging qurbannya, melalui:

•    Dimakan sendiri dan keluarganya, bahkan sebagian ulama menyatakan shohibul qurban wajib makan bagian hewan qurbannya. Termasuk dalam hal ini adalah berqurban karena nadzar menurut pendapat yang benar.

•    Disedekahkan kepada orang yang membutuhkan

•    Dihadiahkan kepada orang yang kaya

•    Disimpan untuk bahan makanan di lain hari. Namun penyimpanan ini hanya dibolehkan jika tidak terjadi musim paceklik atau krisis makanan.

Dari Salamah bin Al Akwa' dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa diantara kalian yang berqurban maka jangan sampai dia menjumpai subuh hari ketiga sesudah Ied sedangkan dagingnya masih tersisa walaupun sedikit." Ketika datang tahun berikutnya maka para sahabat mengatakan, "Wahai Rasulullah, apakah kami harus melakukan sebagaimana tahun lalu ?" Maka beliau menjawab, "(Adapun sekarang) Makanlah sebagian, sebagian lagi berikan kepada orang lain dan sebagian lagi simpanlah. Pada tahun lalu masyarakat sedang mengalami kesulitan (makanan) sehingga aku berkeinginan supaya kalian membantu mereka dalam hal itu." (HR. Bukhari dan Muslim). Menurut mayoritas ulama perintah yang terdapat dalam hadits ini menunjukkan hukum sunnah, bukan wajib (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/378). Oleh sebab itu, boleh mensedekahkan semua hasil sembelihan qurban. Sebagaimana diperbolehkan untuk tidak menghadiahkannya (kepada orang kaya, ed.) sama sekali kepada orang lain (Minhaajul Muslim, 266). (artinya hanya untuk shohibul qurban dan sedekah pada orang miskin, ed.)

Bolehkah Memberikan Daging Qurban Kepada Orang Kafir?

Ulama madzhab Malikiyah berpendapat makruhnya memberikan daging qurban kepada orang kafir, sebagaimana kata Imam Malik: "(diberikan) kepada selain mereka (orang kafir) lebih aku sukai." Sedangkan syafi'iyah berpendapat haramnya memberikan daging qurban kepada orang kafir untuk qurban yang wajib (misalnya qurban nadzar, pen.) dan makruh untuk qurban yang sunnah. (lih. Fatwa Syabakah Islamiyah no. 29843). Al Baijuri As Syafi'I mengatakan: "Dalam Al Majmu' (Syarhul Muhadzab) disebutkan, boleh memberikan sebagian qurban sunnah kepada kafir dzimmi yang faqir. Tapi ketentuan ini tidak berlaku untuk qurban yang wajib." (Hasyiyah Al Baijuri 2/310) Lajnah Daimah (Majlis Ulama' saudi Arabia) ditanya tentang bolehkah memberikan daging qurban kepada orang kafir.


Jawaban Lajnah:

"Kita dibolehkan memberi daging qurban kepada orang kafir Mu'ahid (****) baik karena statusnya sebagai orang miskin, kerabat, tetangga, atau karena dalam rangka menarik simpati mereka… namun tidak dibolehkan memberikan daging qurban kepada orang kafir Harby, karena kewajiban kita kepada kafir harby adalah merendahkan mereka dan melemahkan kekuatan mereka. Hukum ini juga berlaku untuk pemberian sedekah. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah:

"Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil." (QS. Al Mumtahanah 8)

Demikian pula Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memerintahkan Asma' binti Abu Bakr radhiallahu 'anhu untuk menemui ibunya dengan membawa harta padahal ibunya masih musyrik." (Fatwa Lajnah Daimah no. 1997).

Kesimpulannya, memberikan bagian hewan qurban kepada orang kafir dibolehkan karena status hewan qurban sama dengan sedekah atau hadiah, dan diperbolehkan memberikan sedekah maupun hadiah kepada orang kafir. Sedangkan pendapat yang melarang adalah pendapat yang tidak kuat karena tidak berdalil.

(****) Kafir Mu'ahid: Orang kafir yang mengikat perjanjian damai dengan kaum muslimin. Termasuk orang kafir mu'ahid adalah orang kafir yang masuk ke negeri islam dengan izin resmi dari pemerintah. Kafir Harby: Orang kafir yang memerangi kaum muslimin. Kafir Dzimmi: Orang kafir yang hidup di bawah kekuasaan kaum muslimin.


Larangan Memperjual-Belikan Hasil Sembelihan


Tidak diperbolehkan memperjual-belikan bagian hewan sembelihan, baik daging, kulit, kepala, teklek, bulu, tulang maupun bagian yang lainnya. Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu mengatakan, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan aku untuk mengurusi penyembelihan onta qurbannya. Beliau juga memerintahkan saya untuk membagikan semua kulit tubuh serta kulit punggungnya. Dan saya tidak diperbolehkan memberikan bagian apapun darinya kepada tukang jagal." (HR. Bukhari dan Muslim). Bahkan terdapat ancaman keras dalam masalah ini, sebagaimana hadis berikut:

Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barang siapa yang menjual kulit hewan qurbannya maka ibadah qurbannya tidak ada nilainya." (HR. Al Hakim 2/390 & Al Baihaqi. Syaikh Al Albani mengatakan: Hasan)

Tetang haramnya pemilik hewan menjual kulit qurban merupakan pendapat mayoritas ulama, meskipun Imam Abu Hanifah menyelisihi mereka. Namun mengingat dalil yang sangat tegas dan jelas maka pendapat siapapun harus disingkirkan.

Catatan:

•    Termasuk memperjual-belikan bagian hewan qurban adalah menukar kulit atau kepala dengan daging atau menjual kulit untuk kemudian dibelikan kambing. Karena hakekat jual-beli adalah tukar-menukar meskipun dengan selain uang.

•    Transaksi jual-beli kulit hewan qurban yang belum dibagikan adalah transaksi yang tidak sah. Artinya penjual tidak boleh menerima uang hasil penjualan kulit dan pembeli tidak berhak menerima kulit yang dia beli. Hal ini sebagaimana perkataan Al Baijuri: "Tidak sah jual beli (bagian dari hewan qurban) disamping transaksi ini adalah haram." Beliau juga mengatakan: "Jual beli kulit hewan qurban juga tidak sah karena hadis yang diriwayatkan Hakim (baca: hadis di atas)." (Fiqh Syafi'i 2/311).

•    Bagi orang yang menerima kulit dibolehkan memanfaatkan kulit sesuai keinginannya, baik dijual maupun untuk pemanfaatan lainnya, karena ini sudah menjadi haknya. Sedangkan menjual kulit yang dilarang adalah menjual kulit sebelum dibagikan (disedekahkan), baik yang dilakukan panitia maupun shohibul qurban.

Larangan Mengupah Jagal Dengan Bagian Hewan Sembelihan

Dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu bahwa "Beliau pernah diperintahkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam untuk mengurusi penyembelihan ontanya dan agar membagikan seluruh bagian dari sembelihan onta tersebut, baik yang berupa daging, kulit tubuh maupun pelana. Dan dia tidak boleh memberikannya kepada jagal barang sedikitpun." (HR. Bukhari dan Muslim) dan dalam lafaz lainnya beliau berkata, "Kami mengupahnya dari uang kami pribadi." (HR. Muslim). Danini merupakan pendapat mayoritas ulama (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/379)

Syaikh Abdullah Al Bassaam mengatakan, "Tukang jagal tidak boleh diberi daging atau kulitnya sebagai bentuk upah atas pekerjaannya. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama. Yang diperbolehkan adalah memberikannya sebagai bentuk hadiah jika dia termasuk orang kaya atau sebagai sedekah jika ternyata dia adalah miskin….." (Taudhihul Ahkaam, IV/464). Pernyataan beliau semakna dengan pernyataan Ibn Qosim yang mengatakan: "Haram menjadikan bagian hewan qurban sebagai upah bagi jagal." Perkataan beliau ini dikomentari oleh Al Baijuri: "Karena hal itu (mengupah jagal) semakna dengan jual beli. Namun jika jagal diberi bagian dari qurban dengan status sedekah bukan upah maka tidak haram." (Hasyiyah Al Baijuri As Syafi'i 2/311).

Adapun bagi orang yang memperoleh hadiah atau sedekah daging qurban diperbolehkan memanfaatkannya sekehendaknya, bisa dimakan, dijual atau yang lainnya. Akan tetapi tidak diperkenankan menjualnya kembali kepada orang yang memberi hadiah atau sedekah kepadanya (Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi, 69)

Menyembelih Satu Kambing Untuk Makan-Makan Panitia? Atau Panitia Dapat Jatah Khusus?

Status panitia maupun jagal dalam pengurusan hewan qurban adalah sebagai wakil dari shohibul qurban dan bukan amil (*****). Karena statusnya hanya sebagai wakil maka panitia qurban tidak diperkenankan mengambil bagian dari hewan qurban sebagai ganti dari jasa dalam mengurusi hewan qurban. Untuk lebih memudahkan bisa diperhatikan ilustrasi kasus berikut:

Adi ingin mengirim uang Rp 1 juta kepada Budi. Karena tidak bisa ketemu langsung maka Adi mengutus Rudi untuk mengantarkan uang tersebut kepada Budi. Karena harus ada biaya transport dan biaya lainnya maka Adi memberikan sejumlah uang kepada Rudi. Bolehkah uang ini diambilkan dari uang Rp 1 juta yang akan dikirimkan kepada Budi?? Semua orang akan menjawab: "TIDAK BOLEH KARENA BERARTI MENGURANGI UANGNYA BUDI."

Status Rudi pada kasus di atas hanyalah sebagai wakil Adi. Demikian pula qurban. Status panitia hanya sebagai wakil pemilik hewan, sehingga dia tidak boleh mengambil bagian qurban sebagai ganti dari jasanya. Oleh karena itu, jika menyembelih satu kambing untuk makan-makan panitia, atau panitia dapat jatah khusus sebagai ganti jasa dari kerja yang dilakukan panitia maka ini tidak diperbolehkan.

(*****) Sebagian orang menyamakan status panitia qurban sebagaimana status amil dalam zakat. Bahkan mereka meyebut panitia qurban dengan 'amil qurban'. Akibatnya mereka beranggapan panitia memiliki jatah khusus dari hewan qurban sebagaimana amil zakat memiliki jatah khusus dari harta zakat. Yang benar, amil zakat tidaklah sama dengan panitia pengurus qurban. Karena untuk bisa disebut amil, harus memenuhi beberapa persyaratan. Sementara pengurus qurban hanya sebatas wakil dari shohibul qurban, sebagaimana status sahabat Ali radhiallahu 'anhu dalam mengurusi qurban Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan tidak ada riwayat Ali radhiallahu 'anhu mendapat jatah khusus dari qurbannya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

Nasehat & Solusi Untuk Masalah Kulit

Satu penyakit kronis yang menimpa ibadah qurban kaum muslimin bangsa kita, mereka tidak bisa lepas dari 'fiqh praktis' menjual kulit atau menggaji jagal dengan kulit. Memang kita akui ini adalah jalan pintas yang paling cepat untuk melepaskan diri dari tanggungan mengurusi kulit. Namun apakah jalan pintas cepat ini menjamin keselamatan??? Bertaqwalah kepada Allah wahai kaum muslimin… sesungguhnya ibadah qurban telah diatur dengan indah dan rapi oleh Sang Peletak Syari'ah. Jangan coba-coba untuk keluar dari aturan ini karena bisa jadi qurban kita tidak sah. Berusahalah untuk senantiasa berjalan sesuai syari'at meskipun jalurnya 'kelihatannya' lebih panjang dan sedikit menyibukkan. Jangan pula terkecoh dengan pendapat sebagian orang, baik ulama maupun yang ngaku-ngaku ulama, karena orang yang berhak untuk ditaati secara mutlak hanya satu yaitu Nabi kita Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka semua pendapat yang bertentangan dengan hadis beliau harus dibuang jauh-jauh.

Tidak perlu bingung dan merasa repot. Bukankah Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu pernah mengurusi qurbannya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang jumlahnya 100 ekor onta?! Tapi tidak ada dalam catatan sejarah Ali bin Abi thalib radhiallahu 'anhu bingung ngurusi kulit dan kepala. Demikianlah kemudahan yang Allah berikan bagi orang yang 100% mengikuti aturan syari'at. Namun bagi mereka (baca: panitia) yang masih merasa bingung ngurusi kulit, bisa dilakukan beberapa solusi berikut:

•    Kumpulkan semua kulit, kepala, dan kaki hewan qurban. Tunjuk sejumlah orang miskin sebagai sasaran penerima kulit. Tidak perlu diantar ke rumahnya, tapi cukup hubungi mereka dan sampaikan bahwa panitia siap menjualkan kulit yang sudah menjadi hak mereka. Dengan demikian, status panitia dalam hal ini adalah sebagai wakil bagi pemilik kulit untuk menjualkan kulit, bukan wakil dari shohibul qurban dalam menjual kulit.

•    Serahkan semua atau sebagian kulit kepada yayasan islam sosial (misalnya panti asuhan atau pondok pesantren). (Terdapat Fatwa Lajnah yang membolehkan menyerahkan bagian hewan qurban kepada yayasan).

Mengirim sejumlah uang untuk dibelikan hewan qurban di tempat tujuan (di luar daerah pemilik hewan) dan disembelih di tempat tersebut? atau mengirimkan hewan hidup ke tempat lain untuk di sembelih di sana?

Pada asalnya tempat menyembelih qurban adalah daerah orang yang berqurban. Karena orang-orang yang miskin di daerahnya itulah yang lebih berhak untuk disantuni. Sebagian syafi'iyah mengharamkan mengirim hewan qurban atau uang untuk membeli hewan qurban ke tempat lain – di luar tempat tinggal shohibul qurban – selama tidak ada maslahat yang menuntut hal itu, seperti penduduk tempat shohibul qurban yang sudah kaya sementara penduduk tempat lain sangat membutuhkan. Sebagian ulama membolehkan secara mutlak (meskipun tidak ada tuntutan maslahat). Sebagai jalan keluar dari perbedaan pendapat, sebagian ulama menasehatkan agar tidak mengirim hewan qurban ke selain tempat tinggalnya. Artinya tetap disembelih di daerah shohibul qurban dan yang dikirim keluar adalah dagingnya. (lih. Fatwa Syabakah Islamiyah no. 2997, 29048, dan 29843 & Shahih Fiqih Sunnah, II/380

Kesimpulannya, berqurban dengan model seperti ini (mengirim hewan atau uang dan bukan daging) termasuk qurban yang sah namun menyelisihi sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam karena tiga hal:

•    Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat radiallahu 'anhum tidak pernah mengajarkannya

•    Hilangnya sunnah anjuran untuk disembelih sendiri oleh shohibul qurban

•    Hilangnya sunnah anjuran untuk makan bagian dari hewan qurban.

   
______________________________________________________
Penulis: Ammi Nur Baits. Artikel www.muslim.or.id. Artikel ini merupakan tulisan yang melengkapi artikel tentang Fiqh Qurban yang ditulis Al Akh Al Fadhil Abu Mushlih Ari Wahyudi