oleh Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc.
Dakwah
salafiyyah yang berusaha mengajak umat ini kepada tauhid dan sunnah dicap
sebagai Wahhabiyah. Julukan seperti ini diberikan oleh pihak-pihak yang tidak
senang dengan dakwah kepada tauhidullah dan sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, tentunya dengan maksud untuk menjauhkan umat darinya.
Selubung Makar di Balik Julukan Wahhabi
Para
pembaca, dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab merupakan dakwah
pembaharuan terhadap agama umat manusia. Pembaharuan, dari syirik menuju tauhid
dan dari bid’ah menuju As-Sunnah. Demikianlah misi para pembaharu sejati dari
masa ke masa, yang menapak titian jalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam dan para shahabatnya. Fenomena ini membuat gelisah musuh-musuh
Islam, sehingga berbagai macam cara pun ditempuh demi hancurnya dakwah tauhid
yang diemban Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya.
Musuh-musuh tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Di Najd
dan sekitarnya:
– Para ulama
suu` yang memandang al-haq sebagai kebatilan dan kebatilan sebagai
al-haq.
–
Orang-orang yang dikenal sebagai ulama namun tidak mengerti tentang hakekat
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan dakwahnya.
–
Orang-orang yang takut kehilangan kedudukan dan jabatannya. (Lihat Tash-hihu
Khatha`in Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah, karya Dr. Muhammad bin Sa’ad
Asy-Syuwai’ir hal. 90-91, ringkasan keterangan Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz)
2. Di dunia
secara umum:
Mereka
adalah kaum kafir Eropa; Inggris, Prancis dan lain-lain, Daulah Utsmaniyyah,
kaum Shufi, Syi’ah Rafidhah, Hizbiyyun dan pergerakan Islam; Al-Ikhwanul
Muslimin, Hizbut Tahrir, Al-Qaeda, dan para kaki tangannya. (Untuk lebih
rincinya lihat kajian utama edisi ini/ Musuh-Musuh Dakwah Tauhid)
Bentuk
permusuhan mereka beragam. Terkadang dengan fisik (senjata) dan terkadang
dengan fitnah, tuduhan dusta, isu negatif dan sejenisnya. Adapun fisik
(senjata), maka banyak diperankan oleh Dinasti Utsmani yang bersekongkol dengan
barat (baca: kafir Eropa) -sebelum keruntuhannya-. Demikian pula Syi’ah
Rafidhah dan para hizbiyyun. Sedangkan fitnah, tuduhan dusta, isu negatif dan
sejenisnya, banyak dimainkan oleh kafir Eropa melalui para missionarisnya, kaum
shufi, dan tak ketinggalan pula Syi’ah Rafidhah dan hizbiyyun.[2] Dan ternyata,
memunculkan istilah ‘Wahhabi’ sebagai julukan bagi pengikut dakwah Asy-Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab, merupakan trik sukses mereka untuk menghempaskan
kepercayaan umat kepada dakwah tauhid tersebut. Padahal, istilah ‘Wahhabi’ itu
sendiri merupakan penisbatan yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab.
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz berkata: “Penisbatan (Wahhabi -pen) tersebut
tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Semestinya bentuk penisbatannya adalah
‘Muhammadiyyah’, karena sang pengemban dan pelaku dakwah tersebut adalah
Muhammad, bukan ayahnya yang bernama Abdul Wahhab.” (Lihat Imam wa Amir wa
Da’watun Likullil ‘Ushur, hal. 162)
Tak cukup
sampai di situ. Fitnah, tuduhan dusta, isu negatif dan sejenisnya menjadi
sejoli bagi julukan keji tersebut. Tak ayal, yang lahir adalah ‘potret’ buruk
dan keji tentang dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, yang tak sesuai
dengan realitanya. Sehingga istilah Wahhabi nyaris menjadi momok dan monster
yang mengerikan bagi umat.
Fenomena
timpang ini, menuntut kita untuk jeli dalam menerima informasi. Terlebih ketika
narasumbernya adalah orang kafir, munafik, atau ahlul bid’ah. Agar kita tidak
dijadikan bulan-bulanan oleh kejamnya informasi orang-orang yang tidak
bertanggung jawab itu.
Meluruskan Tuduhan Miring tentang Wahhabi
1. Tuduhan: Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab adalah seorang yang mengaku sebagai Nabi[3], ingkar
terhadap Hadits nabi[4], merendahkan
posisi Nabi, dan tidak mempercayai syafaat beliau.
Bantahan:
– Asy-Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab adalah seorang yang sangat mencintai Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam. Hal ini terbukti dengan adanya karya tulis beliau tentang
sirah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, baik Mukhtashar
Siratir Rasul, Mukhtashar Zadil Ma’ad Fi Hadyi Khairil ‘Ibad atau
pun yang terkandung dalam kitab beliau Al-Ushul Ats-Tsalatsah.
– Beliau
berkata: “Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah wafat -semoga
shalawat dan salam-Nya selalu tercurahkan kepada beliau-, namun agamanya tetap
kekal. Dan inilah agamanya; yang tidaklah ada kebaikan kecuali pasti beliau
tunjukkan kepada umatnya, dan tidak ada kejelekan kecuali pasti beliau
peringatkan. Kebaikan yang telah beliau sampaikan itu adalah tauhid dan segala
sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah subhanahu wata’ala. Sedangkan
kejelekan yang beliau peringatkan adalah kesyirikan dan segala sesuatu yang
dibenci dan dimurkai Allah subhanahu wata’ala. Allah subhanahu
wata’ala mengutus beliau kepada seluruh umat manusia, dan mewajibkan atas tsaqalain;
jin dan manusia untuk menaatinya.” (Al-Ushul Ats-Tsalatsah)
–
Beliau juga berkata: “Dan jika kebahagiaan umat terdahulu dan yang akan datang
karena mengikuti para Rasul, maka dapatlah diketahui bahwa orang yang paling
berbahagia adalah yang paling berilmu tentang ajaran para Rasul dan paling
mengikutinya. Maka dari itu, orang yang paling mengerti tentang sabda para
Rasul dan amalan-amalan mereka serta benar-benar mengikutinya, mereka itulah
sesungguhnya orang yang paling berbahagia di setiap masa dan tempat. Dan
merekalah golongan yang selamat dalam setiap agama. Dan dari umat ini adalah
Ahlus Sunnah wal Hadits.” (Ad-Durar As-Saniyyah, 2/21)
– Adapun
tentang syafaat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau berkata
-dalam suratnya kepada penduduk Qashim-: “Aku beriman dengan syafaat Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam, dan beliaulah orang pertama yang bisa memberi syafaat dan
juga orang pertama yang diberi syafaat. Tidaklah mengingkari syafaat Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam ini kecuali ahlul bid’ah lagi sesat.” (Tash-hihu
Khatha`in Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah, hal. 118)
2. Tuduhan: Melecehkan Ahlul Bait
Bantahan:
– Beliau
berkata dalam Mukhtashar Minhajis Sunnah: “Ahlul Bait Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam mempunyai hak atas umat ini yang tidak dimiliki oleh
selain mereka. Mereka berhak mendapatkan kecintaan dan loyalitas yang lebih
besar dari seluruh kaum Quraisy…” (Lihat ‘Aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab As-Salafiyyah, 1/446)
– Di
antara bukti kecintaan beliau kepada Ahlul Bait adalah dinamainya putra-putra
beliau dengan nama-nama Ahlul Bait: ‘Ali, Hasan, Husain, Ibrahim dan Abdullah.
3. Tuduhan: Bahwa beliau sebagai Khawarij,
karena telah memberontak terhadap Daulah ‘Utsmaniyyah. Al-Imam Al-Lakhmi telah
berfatwa bahwa Al-Wahhabiyyah adalah salah satu dari kelompok sesat Khawarij
‘Ibadhiyyah, sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Mu’rib Fi Fatawa Ahlil
Maghrib, karya Ahmad bin Muhammad Al-Wansyarisi, juz 11.
Bantahan:
– Adapun
pernyataan bahwa Asy-Syaikh telah memberontak terhadap Daulah Utsmaniyyah, maka
ini sangat keliru. Karena Najd kala itu tidak termasuk wilayah teritorial
kekuasaan Daulah Utsmaniyyah[5]. Demikian pula
sejarah mencatat bahwa kerajaan Dir’iyyah belum pernah melakukan upaya
pemberontakan terhadap Daulah ‘Utsmaniyyah. Justru merekalah yang berulang kali
diserang oleh pasukan Dinasti Utsmani.
Lebih dari
itu Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengatakan -dalam kitabnya Al-Ushulus
Sittah-: “Prinsip ketiga: Sesungguhnya di antara (faktor
penyebab) sempurnanya persatuan umat adalah mendengar lagi taat kepada pemimpin
(pemerintah), walaupun pemimpin tersebut seorang budak dari negeri Habasyah.”
Dari sini
nampak jelas, bahwa sikap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab terhadap waliyyul
amri (penguasa) sesuai dengan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam, dan bukan ajaran Khawarij.
Mengenai
fatwa Al-Lakhmi, maka yang dia maksudkan adalah Abdul Wahhab bin Abdurrahman
bin Rustum dan kelompoknya, bukan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para
pengikutnya. Hal ini karena tahun wafatnya Al-Lakhmi adalah 478 H, sedangkan
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab wafat pada tahun 1206 H /Juni atau Juli
1792 M. Amatlah janggal bila ada orang yang telah wafat, namun berfatwa tentang
seseorang yang hidup berabad-abad setelahnya. Adapun Abdul Wahhab bin
Abdurrahman bin Rustum, maka dia meninggal pada tahun 211 H. Sehingga amatlah
tepat bila fatwa Al-Lakhmi tertuju kepadanya. Berikutnya, Al-Lakhmi merupakan
mufti Andalusia dan Afrika Utara, dan fitnah Wahhabiyyah Rustumiyyah ini
terjadi di Afrika Utara. Sementara di masa Al-Lakhmi, hubungan antara Najd
dengan Andalusia dan Afrika Utara amatlah jauh. Sehingga bukti sejarah ini
semakin menguatkan bahwa Wahhabiyyah Khawarij yang diperingatkan Al-Lakhmi
adalah Wahhabiyyah Rustumiyyah, bukan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan
para pengikutnya[6].
Lebih dari
itu, sikap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab terhadapq kelompok Khawarij
sangatlah tegas. Beliau berkata -dalam suratnya untuk penduduk Qashim-:
“Golongan yang selamat itu adalah kelompok pertengahan antara Qadariyyah dan
Jabriyyah dalam perkara taqdir, pertengahan antara Murji`ah dan Wa’idiyyah
(Khawarij) dalam perkara ancaman Allah subhanahu wata’ala, pertengahan
antara Haruriyyah (Khawarij) dan Mu’tazilah serta antara Murji`ah dan Jahmiyyah
dalam perkara iman dan agama, dan pertengahan antara Syi’ah Rafidhah dan
Khawarij dalam menyikapi para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam.” (Lihat Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah,
hal 117). Dan masih banyak lagi pernyataan tegas beliau tentang kelompok sesat
Khawarij ini.
4. Tuduhan: Mengkafirkan kaum muslimin dan
menghalalkan darah mereka.[7]
Bantahan:
Ini
merupakan tuduhan dusta terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, karena
beliau pernah mengatakan: “Kalau kami tidak (berani) mengkafirkan orang yang
beribadah kepada berhala yang ada di kubah (kuburan/ makam) Abdul Qadir Jaelani
dan yang ada di kuburan Ahmad Al-Badawi dan sejenisnya, dikarenakan kejahilan
mereka dan tidak adanya orang yang mengingatkannya. Bagaimana mungkin kami
berani mengkafirkan orang yang tidak melakukan kesyirikan atau seorang muslim
yang tidak berhijrah ke tempat kami…?! Maha suci Engkau ya Allah, sungguh ini
merupakan kedustaan yang besar.” (Muhammad bin Abdul Wahhab Mushlihun
Mazhlumun Wa Muftara ‘Alaihi, hal. 203)
5. Tuduhan: Wahhabiyyah adalah madzhab baru
dan tidak mau menggunakan kitab-kitab empat madzhab besar dalam Islam.[8]
Bantahan:
Hal ini
sangat tidak realistis. Karena beliau mengatakan -dalamq suratnya kepada
Abdurrahman As-Suwaidi-: “Aku kabarkan kepadamu bahwa aku –alhamdulillah–
adalah seorang yang berupaya mengikuti jejak Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam, bukan pembawa aqidah baru. Dan agama yang aku peluk adalah
madzhab Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang dianut para ulama kaum muslimin semacam
imam yang empat dan para pengikutnya.” (Lihat Tash-hihu Khatha`in Tarikhi
Haula Al-Wahhabiyyah, hal. 75)
Beliau juga
berkata -dalam suratnya kepada Al-Imam Ash-Shan’ani-:”Perhatikanlah -semoga
Allah subhanahu wata’ala merahmatimu- apa yang ada pada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, para shahabat sepeninggal beliau dan orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat. Serta apa yang diyakini para
imam panutan dari kalangan ahli hadits dan fiqh, seperti Abu Hanifah, Malik,
Asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal -semoga Allah subhanahu wata’ala
meridhai mereka-, supaya engkau bisa mengikuti jalan/ ajaran mereka.” (Ad-Durar
As-Saniyyah 1/136)
Beliau juga
berkata: “Menghormati ulama dan memuliakan mereka meskipun terkadang (ulama
tersebut) mengalami kekeliruan, dengan tidak menjadikan mereka sekutu bagi
Allah subhanahu wata’ala, merupakan jalan orang-orang yang diberi nikmat
oleh Allah subhanahu wata’ala. Adapun mencemooh perkataan mereka dan
tidak memuliakannya, maka ini merupakan jalan orang-orang yang dimurkai Allah subhanahu
wata’ala (Yahudi).” (Majmu’ah Ar-Rasa`il An-Najdiyyah, 1/11-12.
Dinukil dari Al-Iqna’, karya Asy-Syaikh Muhammad bin Hadi Al-Madkhali,
hal.132-133)
6. Tuduhan: Keras dalam berdakwah (inkarul
munkar)
Bantahan:
Tuduhan ini
sangat tidak beralasan. Karena justru beliaulah orang yang sangat perhatian
dalam masalah ini. Sebagaimana nasehat beliau kepada para pengikutnya dari
penduduk daerah Sudair yang melakukan dakwah (inkarul munkar) dengan
cara keras. Beliau berkata: “Sesungguhnya sebagian orang yang mengerti agama
terkadang jatuh dalam kesalahan (teknis) dalam mengingkari kemungkaran, padahal
posisinya di atas kebenaran. Yaitu mengingkari kemungkaran dengan sikap keras,
sehingga menimbulkan perpecahan di antara ikhwan… Ahlul ilmi berkata: ‘Seorang
yang beramar ma’ruf dan nahi mungkar membutuhkan tiga hal: berilmu tentang apa
yang akan dia sampaikan, bersifat belas kasihan ketika beramar ma’ruf dan nahi
mungkar, serta bersabar terhadap segala gangguan yang menimpanya.’ Maka kalian
harus memahami hal ini dan merealisasikannya. Sesungguhnya kelemahan akan
selalu ada pada orang yang mengerti agama, ketika tidak merealisasikannya atau
tidak memahaminya. Para ulama juga menyebutkan bahwasanya jika inkarul
munkar akan menyebabkan perpecahan, maka tidak boleh dilakukan. Aku
mewanti-wanti kalian agar melaksanakan apa yang telah kusebutkan dan
memahaminya dengan sebaik-baiknya. Karena, jika kalian tidak melaksanakannya
niscaya perbuatan inkarul munkar kalian akan merusak citra agama. Dan
seorang muslim tidaklah berbuat kecuali apa yang membuat baik agama dan
dunianya.” (Lihat Muhammad bin Abdul Wahhab, hal. 176)
7. Tuduhan: Muhammad bin Abdul Wahhab itu
bukanlah seorang yang berilmu. Dia belum pernah belajar dari para syaikh, dan
mungkin saja ilmunya dari setan![9]
Jawaban:
Pernyataan
ini menunjukkan butanya tentang biografi Asy-Syaikh, atauq pura-pura buta dalam
rangka penipuan intelektual terhadap umat.
Bila
ditengok sejarahnya, ternyata beliau sudah hafal Al-Qur`an sebelum berusia 10
tahun. Belum genap 12 tahun dari usianya, sudah ditunjuk sebagai imam shalat
berjamaah. Dan pada usia 20 tahun sudah dikenal mempunyai banyak ilmu. Setelah
itu rihlah (pergi) menuntut ilmu ke Makkah, Madinah, Bashrah, Ahsa`,
Bashrah (yang kedua kalinya), Zubair, kemudian kembali ke Makkah dan Madinah.
Gurunya pun banyak,[10] di antaranya
adalah:
Di Makkah: Asy-Syaikh Abdullah bin Salim bin
Muhammad Al-Bashri Al-Makki Asy-Syafi’i.[13]
Di Madinah: Asy-Syaikh Abdullah bin Ibrahim bin
Saif.[14] Asy-Syaikh
Muhammad Hayat bin Ibrahim As-Sindi Al-Madani,[15] Asy-Syaikh
Isma’il bin Muhammad Al-Ajluni Asy-Syafi’i,[16] Asy-Syaikh
‘Ali Afandi bin Shadiq Al-Hanafi Ad-Daghistani,[17] Asy-Syaikh
Abdul Karim Afandi, Asy-Syaikh Muhammad Al Burhani, dan Asy-Syaikh ‘Utsman
Ad-Diyarbakri.
Di Bashrah: Asy-Syaikh Muhammad Al-Majmu’i.[18]
Di Ahsa`: Asy-Syaikh Abdullah bin Muhammad
bin Abdul Lathif Asy-Syafi’i.
8. Tuduhan: Tidak menghormati para wali Allah,
dan hobinya menghancurkan kubah/ bangunan yang dibangun di atas makam mereka.
Jawaban:
Pernyataan
bahwa Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab tidak menghormati para wali Allah subhanahu
wata’ala, merupakan tuduhan dusta. Beliau berkata -dalam suratnya kepada
penduduk Qashim-: “Aku menetapkan (meyakini) adanya karamah dan keluarbiasaan
yang ada pada para wali Allah subhanahu wata’ala, hanya saja mereka
tidak berhak diibadahi dan tidak berhak pula untuk diminta dari mereka sesuatu
yang tidak dimampu kecuali oleh Allah subhanahu wata’ala.”[19]
Adapun
penghancuran kubah/bangunan yang dibangun di atas makam mereka, maka beliau
mengakuinya -sebagaimana dalam suratnya kepada para ulama Makkah-.[20]
Namun hal itu sangat beralasan sekali, karena kubah/ bangunan tersebut telah
dijadikan sebagai tempat berdoa, berkurban dan bernadzar kepada selain Allah subhanahu
wata’ala. Sementara Asy-Syaikh sudah mendakwahi mereka dengan segala cara,
dan beliau punya kekuatan (bersama waliyyul amri) untuk melakukannya,
baik ketika masih di ‘Uyainah ataupun di Dir’iyyah.
Hal ini pun
telah difatwakan oleh para ulama dari empat madzhab. Sebagaimana telah
difatwakan oleh sekelompok ulama madzhab Syafi’i seperti Ibnul Jummaizi,
Azh-Zhahir At-Tazmanti dll, seputar penghancuran bangunan yang ada di pekuburan
Al-Qarrafah Mesir. Al-Imam Asy-Syafi’i sendiri berkata: “Aku tidak menyukai
(yakni mengharamkan) pengagungan terhadap makhluk, sampai pada tingkatan
makamnya dijadikan sebagai masjid.” Al-Imam An-Nawawi dalam Syarhul
Muhadzdzab dan Syarh Muslim mengharamkam secara mutlak segala bentuk
bangunan di atas makam. Adapun Al-Imam Malik, maka beliau juga mengharamkannya,
sebagaimana yang dinukilkan oleh Ibnu Rusyd. Sedangkan Al-Imam Az-Zaila’i
(madzhab Hanafi) dalam Syarh Al-Kanz mengatakan: “Diharamkan mendirikan
bangunan di atas makam.” Dan juga Al-Imam Ibnul Qayyim (madzhab Hanbali)
mengatakan: “Penghancuran kubah/ bangunan yang dibangun di atas kubur hukumnya
wajib, karena ia dibangun di atas kemaksiatan kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam.” (Lihat Fathul Majid Syarh Kitabit Tauhid karya
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alusy-Syaikh, hal.284-286)
Para
pembaca, demikianlah bantahan ringkas terhadap beberapa tuduhan miring yang
ditujukan kepada Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Untuk mengetahui
bantahan atas tuduhan-tuduhan miring lainnya, silahkan baca karya-karya tulis
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, kemudian buku-buku para ulama lainnya
seperti:
o
Ad-Durar As-Saniyyah fil Ajwibah An-Najdiyyah, disusun oleh Abdurrahman
bin Qasim An-Najdi
o
Shiyanatul Insan ‘An Waswasah Asy-Syaikh Dahlan, karya Al-‘Allamah
Muhammad Basyir As-Sahsawani Al-Hindi.
o
Raddu Auham Abi Zahrah, karya Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan,
demikian pula buku bantahan beliau terhadap Abdul Karim Al-Khathib.
o
Muhammad bin Abdul Wahhab Mushlihun Mazhlumun Wa Muftara ‘Alaihi, karya
Al-Ustadz Mas’ud An-Nadwi.
o
‘Aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab As Salafiyyah, karya Dr.
Shalih bin Abdullah Al-’Ubud.
o
Da’watu Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Bainal Mu’aridhin wal Munshifin
wal Mu`ayyidin, karya Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, dsb.
Barakah
Dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
Dakwah
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab merupakan dakwah yang penuh barakah.
Buahnya pun bisa dirasakan hampir di setiap penjuru dunia Islam, bahkan di
dunia secara keseluruhan.
Di Jazirah
Arabia sendiri, pengaruhnya luar biasa. Berkat dakwah tauhid ini mereka bersatu
yang sebelumnya berpecah belah. Mereka mengenal tauhid, ilmu dan ibadah yang
sebelumnya tenggelam dalam penyimpangan, kebodohan dan kemaksiatan. Dakwah
tauhid juga mempunyai peran besar dalam perbaikan akhlak dan muamalah yang
membawa dampak positif bagi Islam itu sendiri dan bagi kaum muslimin, baik
dalam urusan agama ataupun urusan dunia mereka. Berkat dakwah tauhid pula
tegaklah Daulah Islamiyyah (di Jazirah Arabia) yang cukup kuat dan disegani
musuh, serta mampu menyatukan negeri-negeri yang selama ini berseteru di bawah
satu bendera. Kekuasaan Daulah ini membentang dari Laut Merah (barat) hingga
Teluk Arab (timur), dan dari Syam (utara) hingga Yaman (selatan), daulah ini
dikenal dalam sejarah dengan sebutan Daulah Su’udiyyah I. Pada tahun
1233 H/1818 M daulah ini diporak-porandakan oleh pasukan Dinasti Utsmani yang
dipimpin Muhammad ‘Ali Basya. Pada tahun 1238 H/1823 M berdiri kembali Daulah
Su’udiyyah II yang diprakarsai oleh Al-Imam Al-Mujahid Turki bin Abdullah
bin Muhammad bin Su’ud, dan runtuh pada tahun 1309 H/1891 M. Kemudian pada
tahun 1319 H/1901 M berdiri kembali Daulah Su’udiyyah III yang
diprakarsai oleh Al-Imam Al-Mujahid Abdul ‘Aziz bin Abdurrahman bin Faishal bin
Turki Alu Su’ud. Daulah Su’udiyyah III ini kemudian dikenal dengan nama Al-Mamlakah
Al-’Arabiyyah As-Su’udiyyah, yang dalam bahasa kita biasa disebut Kerajaan
Saudi Arabia. Ketiga daulah ini merupakan daulah percontohan di masa ini
dalam hal tauhid, penerapan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
dan syariat Islam, keamanan, kesejahteraan dan perhatian terhadap urusan kaum
muslimin dunia (terkhusus Daulah Su’udiyyah III). Untuk mengetahui lebih jauh
tentang perannya, lihatlah kajian utama edisi ini/Barakah Dakwah Tauhid.
Dakwah
tauhid Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab merambah dunia Islam, yang
terwakili pada Benua Asia dan Afrika, barakah Allah subhanahu wata’ala
pun menyelimutinya. Di Benua Asia dakwah tersebar di Yaman, Qatar, Bahrain,
beberapa wilayah Oman, India, Pakistan dan sekitarnya, Indonesia, Turkistan,
dan Cina. Adapun di Benua Afrika, dakwah Tauhid tersebar di Mesir, Libya,
Al-Jazair, Sudan, dan Afrika Barat. Dan hingga saat ini dakwah terus berkembang
ke penjuru dunia, bahkan merambah pusat kekafiran Amerika dan Eropa.
Pujian Ulama Dunia terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab dan Dakwah Beliau
Pujian ulama
dunia terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan dakwahnya amatlah
banyak. Namun karena terbatasnya ruang rubrik, cukuplah disebutkan sebagiannya
saja.[23]
1. Al-Imam
Ash-Shan’ani (Yaman).
Beliau
kirimkan dari Shan’a bait-bait pujian untuk Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab dan dakwahnya. Bait syair yang diawali dengan:
Salamku
untuk Najd dan siapa saja yang tinggal sana
Walaupun
salamku dari kejauhan belum mencukupinya
2. Al-Imam
Asy-Syaukani rahimahullahu (Yaman). Ketika mendengar wafatnya Asy-Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab, beliau layangkan bait-bait pujian terhadap
Asy-Syaikh dan dakwahnya. Di antaranya:
Telah wafat
tonggak ilmu dan pusat kemuliaan
Referensi
utama para pahlawan dan orang-orang mulia
Dengan
wafatnya, nyaris wafat pula ilmu-ilmu agama
Wajah
kebenaran pun nyaris lenyap ditelan derasnya arus sungai
3. Muhammad
Hamid Al-Fiqi (Mesir).
Beliau berkata: “Sesungguhnya amalan dan usaha yang beliau lakukan adalah untuk
menghidupkan kembali semangat beramal dengan agama yang benar dan mengembalikan
umat manusia kepada apa yang telah ditetapkan dalam Al-Qur`an…. dan apa yang
dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta apa yang diyakini
para shahabat, para tabi’in dan para imam yang terbimbing.”
4. Dr. Taqiyuddin Al-Hilali (Irak). Beliau berkata: “Tidak asing lagi bahwa Al-Imam Ar-Rabbani Al-Awwab Muhammad bin Abdul Wahhab, benar-benar telah menegakkan dakwah tauhid yang lurus. Memperbaharui (kehidupan umat manusia) seperti di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya. Dan mendirikan daulah yang mengingatkan umat manusia kepada daulah di masa Al-Khulafa` Ar-Rasyidin.”
4. Dr. Taqiyuddin Al-Hilali (Irak). Beliau berkata: “Tidak asing lagi bahwa Al-Imam Ar-Rabbani Al-Awwab Muhammad bin Abdul Wahhab, benar-benar telah menegakkan dakwah tauhid yang lurus. Memperbaharui (kehidupan umat manusia) seperti di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya. Dan mendirikan daulah yang mengingatkan umat manusia kepada daulah di masa Al-Khulafa` Ar-Rasyidin.”
5.
Asy-Syaikh Mulla ‘Umran bin ‘Ali Ridhwan (Linjah, Iran). Beliau -ketika dicap sebagai Wahhabi-
berkata:
Jikalau
mengikuti Ahmad dicap sebagai Wahhabi
Maka
kutegaskan bahwa aku adalah Wahhabi
Kubasmi
segala kesyirikan dan tiadalah ada bagiku
Rabb selain
Allah Dzat Yang Maha Tunggal lagi Maha Pemberi
6.
Asy-Syaikh Ahmad bin Hajar Al-Buthami (Qatar). Beliau berkata: “Sesungguhnya Asy-Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab An-Najdi adalah seorang da’i tauhid, yang tergolong
sebagai pembaharu yang adil dan pembenah yang ikhlas bagi agama umat.”
7. Al
‘Allamah Muhammad Basyir As-Sahsawani (India). Kitab beliau Shiyanatul Insan ‘An
Waswasah Asy-Syaikh Dahlan, sarat akan pujian dan pembelaan terhadap
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan dakwahnya.
8.
Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani (Syam). Beliau berkata: “Dari apa yang telah lalu,
nampaklah kedengkian yang sangat, kebencian durjana, dan tuduhan keji dari para
penjahat (intelektual) terhadap Al-Imam Al Mujaddid Asy-Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab -semoga Allah subhanahu wata’ala merahmatinya dan
mengaruniainya pahala-, yang telah mengeluarkan manusia dari gelapnya
kesyirikan menuju cahaya tauhid yang murni…”
9. Ulama
Saudi Arabia. Tak
terhitung banyaknya pujian mereka terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
dan dakwahnya, turun-temurun sejak Asy-Syaikh masih hidup hingga hari ini.
Penutup
Akhir kata,
demikianlah sajian kami seputar Wahhabi yang menjadi momok di Indonesia pada
khususnya dan di dunia Islam pada umumnya. Semoga sajian ini dapat menjadi
penerang di tengah gelapnya permasalahan, dan pembuka cakrawala berfikir untuk
tidak berbicara dan menilai kecuali di atas pijakan ilmu.
Wallahu
a’lam bish-shawab.
[3] Sebagaimana yang dinyatakan Ahmad
Abdullah Al-Haddad Baa ‘Alwi dalam kitabnya Mishbahul Anam, hal. 5-6 dan
Ahmad Zaini Dahlan dalam dua kitabnya Ad-Durar As-Saniyyah Firraddi ‘alal
Wahhabiyyah, hal. 46 dan Khulashatul Kalam, hal. 228-261.
[5] Sebagaimana yang diterangkan pada
kajian utama edisi ini/Hubungan Najd dengan Daulah Utsmaniyyah.
[6] Untuk lebih rincinya bacalah kitab Tash-hihu
Khatha`in Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah, karya Dr. Muhammad bin Sa’ad
Asy-Syuwai’ir.
[14] Seorang faqih terpandang, murid
para ulama Madinah sekaligus murid Abul Mawahib (ulama besar negeri Syam).
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mendapatkan ijazah dari guru beliau ini
untuk meriwayatkan, mempelajari dan mengajarkan Shahih Al-Bukhari dengan
sanadnya sampai kepada Al-Imam Al-Bukhari serta syarah-syarahnya, Shahih
Muslim serta syarah-syarahnya, Sunan At-Tirmidzi dengan sanadnya, Sunan
Abi Dawud dengan sanadnya, Sunan Ibnu Majah dengan sanadnya, Sunan
An-Nasa‘i Al-Kubra dengan sanadnya, Sunan Ad-Darimi dan semua karya
tulis Al-Imam Ad-Darimi dengan sanadnya, Silsilah Al-‘Arabiyyah dengan
sanadnya dari Abul Aswad dari ‘Ali bin Abi Thalib, semua buku Al-Imam
An-Nawawi, Alfiyah Al-’Iraqi, At-Targhib Wat Tarhib, Al-Khulashah
karya Ibnu Malik, Sirah Ibnu Hisyam dan seluruh karya tulis Ibnu Hisyam,
semua karya tulis Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani, buku-buku Al-Qadhi ‘Iyadh,
buku-buku qira’at, kitab Al-Qamus dengan sanadnya, Musnad Al-Imam
Asy-Syafi’i, Muwaththa’ Al-Imam Malik, Musnad Al-Imam Ahmad, Mu’jam
Ath-Thabrani, buku-buku As-Suyuthi dsb.
[17] Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul
Wahhab bertemu dengannya di kota Madinah dan mendapatkan ijazah darinya seperti
yang didapat dari Asy-Syaikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif.
[21] Diringkas dari Haqiqatu Da’wah
Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab wa Atsaruha Fil ‘Alamil Islami, karya
Dr. Muhammad bin Abdullah As-Salman, yang dimuat dalam Majallah Al-Buhuts
Al-Islamiyyah edisi. 21, hal. 140-145.
[22] Diringkas dari Haqiqatu Da’wah
Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab wa Atsaruha Fil ‘Alamil Islami, karya
Dr. Muhammad bin Abdullah As Salman, yang dimuat dalam Majallah Al-Buhuts
Al-Islamiyyah edisi. 21, hal.146-149.
[23] Untuk mengetahui lebih luas,
lihatlah kitab Da’watu Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab Bainal
Mu’aridhin wal Munshifin wal Mu`ayyidin, hal. 82-90, dan ‘Aqidah
Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab As-Salafiyyah, 2/371-474.