IBNU
TAIMIYAH
DA’I DAN
MUJAHID BESAR
“Demi Allah, tidaklah benci kepada Ibnu Taimiyah melainkah orang yang
bodoh atau pengikut hawa nafsu.”1)
NAMA DAN
NASAB
Beliau adalah imam, Qudwah, ‘Alim, Zahid dan Da’i ila Allah, baik dengan
kata, tindakan, kesabaran maupun jihadnya; Syaikhul Islam, Mufti Anam, pembela
dinullah dan penghidup sunah Rasul shalallahu’alaihi
wa sallam yang telah dimatikan oleh
banyak orang, Ahmad bin Abdis Salam bin Abdillah bin Al-Khidhir bin Muhammad bin
Taimiyah An-Numairy Al-Harrany Ad-Dimasyqy.
Lahir di Harran, salah satu kota induk di Jazirah Arabia yang terletak antara sungai Dajalah (Tigris)
dengan Efrat, pada hari Senin 10 Rabiu’ul Awal tahun 661H. di zaman ketika
Baghdad merupakan pusat kekuasaan dan budaya Islam. Ketika berusia enam tahun,
Taymiyyah kecil dibawa ayahnya ke Damaskus.
Ia berasal dari keluarga taqwa. Ayahnya Syihabuddin bin Taymiyyah.
Seorang Syaikh, hakim, khatib, 'alim dan wara'. Kakeknya Majduddin Abul Birkan
Abdussalam bin Abdullah bin Taymiyyah Al-Harrani. Syaikhul Islam, Ulama fiqih,
ahli hadits, tafsir, Ilmu Ushul dan hafidz.
Di Damaskus ia belajar pada banyak guru. Ilmu hitung, khat, Nahwu, Ushul
fiqih merupakan bagian dari ilmu yang diperolehnya. Di usia belia ia telah
mereguk limpahan ilmu utama dari manusia utama. Dan satu hal ia dikaruniai
Allah Ta'ala kemampuan mudah hafal dan sukar lupa. Hingga dalam usia muda , ia
telah hafal Al-qur'an.
Tak hanya itu, iapun mengimbangi ketamakannya menuntut ilmu dengan
kebersihan hatinya. Ia amat suka menghadiri majelis-majelis mudzakarah
(dzikir). Pada usia tujuh belas tahun kepekaannya terhadap dunia ilmu mulai
kentara. Dan umur 19, ia telah memberi fatwa.
Beliau berhijrah ke Damasyq (Damsyik) bersama orang tua dan keluarganya
ketika umurnya masih kecil, disebabkan serbuan tentara Tartar atas negerinyaa.
Mereka menempuh perjalanan hijrah pada malam hari dengan menyeret sebuah
gerobak besar yang dipenuhi dengan kitab-kitab ilmu, bukan barang-barang
perhiasan atau harta benda, tanpa ada seekor binatang tunggangan-pun pada mereka.
Suatu saat gerobak mereka mengalami kerusakan di tengah jalan, hingga
hampir saja pasukan musuh memergokinya. Dalam keadaan seperti ini, mereka
ber-istighatsah (mengadukan permasalahan) kepada Allah Ta’ala. Akhirnya mereka
bersama kitab-kitabnya dapat selamat.
PERTUMBUHAN
DAN GHIRAHNYA KEPADA ILMU
Semenjak kecil sudah nampak tanda-tanda kecerdasan pada diri beliau.
Begitu tiba di Damsyik beliau segera menghafalkan Al-Qur’an dan mencari
berbagai cabang ilmu pada para ulama, huffazh dan ahli-ahli hadits negeri itu.
Kecerdasan serta kekuatan otaknya membuat para tokoh ulama tersebut tercengang.
Ketika umur beliau belum mencapai belasan tahun, beliau sudah menguasai
ilmu Ushuluddin dan sudah mengalami bidang-bidang tafsir, hadits dan bahasa
Arab.
Pada unsur-unsur itu, beliau telah mengkaji musnad Imam Ahmad sampai
beberapa kali, kemudian kitabu-Sittah dan Mu’jam At-Thabarani Al-Kabir.
Suatu kali, ketika beliau masih
kanak-kanak pernah ada seorang ulama besar dari Halab (suatu kota lain di Syria
sekarang, pen.) yang sengaja datang ke Damasyiq, khusus untuk melihat si bocah
bernama Ibnu Taimiyah yang kecerdasannya menjadi buah bibir. Setelah bertemu,
ia memberikan tes dengan cara menyampaikan belasan matan hadits sekaligus.
Ternyata Ibnu Taimiyah mampu menghafalkannya secara cepat dan tepat. Begitu
pula ketika disampaikan kepadanya beberapa sanad, beliaupun dengan tepat pula
mampu mengucapkan ulang dan menghafalnya. Hingga ulama tersebut berkata: “Jika
anak ini hidup, niscaya ia kelak mempunyai kedudukan besar, sebab belum pernah
ada seorang bocah seperti dia.
Ibnu Taymiyyah amat menguasai rijalul Hadits (perawi hadits) dan Fununul
hadits (macam-macam hadits) baik yang lemah, cacat atau shahih. Beliau memahami
semua hadits yang termuat dalam Kutubus Sittah dan Al-Musnad. Dalam
mengemukakan ayat-ayat sebagai hujjah, ia memiliki kehebatan yang luar biasa,
sehingga mampu mengemukakan kesalahan dan kelemahan para mufassir. Tiap malam
ia menulis tafsir, fiqh, ilmu 'ushul sambil mengomentari para filosof . Sehari
semalam ia mampu menulis empat buah kurrosah (buku kecil) yang memuat berbagai
pendapatnya dalam bidang syari'ah. Ibnul Wardi menuturkan dalam Tarikul Ibnul
Warid bahwa karangan beliau mencapai lima ratus judul.
Al-Washiti mengemukakan: "Demi Allah, syaikh kalian (Ibnu Taymiyyah)
memiliki keagungan khuluqiyah, amaliyah, ilmiyah dan mampu menghadapi tantangan
orang-orang yang menginjak-injak hak Allah dan kehormatanNya."
Lebih dari semua itu, beliau adalah orang yang keras pendiriannya dan
teguh berpijak pada garis-garis yang telah ditentukan Allah, mengikuti segala
perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Beliau pernah berkata: ”Jika
dibenakku sedang berfikir suatu masalah, sedangkan hal itu merupakan masalah
yang muskil bagiku, maka aku akan beristighfar seribu kali atau lebih atau
kurang. Sampai dadaku menjadi lapang dan masalah itu terpecahkan. Hal itu aku
lakukan baik di pasar, di masjid atau di madrasah. Semuanya tidak menghalangiku
untuk berdzikir dan beristighfar hingga
terpenuhi cita-citaku.”
PUJIAN
ULAMA
Al-Allamah
As-Syaikh Al-Karamy Al-Hambali dalam Kitabnya Al-Kawakib
AD-Darary yang disusun kasus mengenai manaqib (pujian terhadap jasa-jasa) Ibnu
Taimiyah, berkata: “Banyak sekali imam-imam Islam yang memberikan pujian kepada (Ibnu Taimiyah) ini.
Diantaranya: Al-Hafizh Al-Mizzy, Ibnu
Daqiq Al-Ied, Abu Hayyan An-Nahwy, Al-Hafizh Ibnu Sayyid An-Nas, Al-Hafizh
Az-Zamlakany, Al-Hafidh Adz-Dzahabi dan para imam ulama lain.
Al-Hafizh
Al-Mizzy mengatakan: “Aku belum pernah melihat orang seperti Ibnu Taimiyah ….. dan
belum pernah kulihat ada orang yang lebih berilmu terhadap kitabullah dan
sunnah Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam serta lebih ittiba’ dibandingkan beliau.”
Al-Qadhi
Abu Al-Fath bin Daqiq Al-Ied mengatakan:
“Setelah aku berkumpul dengannya, kulihat beliau adalah seseorang yang semua
ilmu ada di depan matanya, kapan saja beliau menginginkannya, beliau tinggal
mengambilnya, terserah beliau. Dan aku pernah berkata kepadanya: “Aku tidak
pernah menyangka akan tercipta manasia seperti anda.”
Al-Qadli
Ibnu Al-Hariry mengatakan: “Kalau Ibnu Taimiyah bukah Syaikhul
Islam, lalu siapa dia ini ?”
Syaikh Ahli
nahwu, Abu Hayyan An-Nahwi, setelah beliau berkumpul
dengan Ibnu Taimiyah berkata: “Belum pernah sepasang mataku melihat orang
seperti dia …..” Kemudian melalui
bait-bait syairnya, beliau banyak memberikan pujian kepadanya.
Penguasaan Ibnu Taimiyah dalam beberapa ilmu sangat sempurna, yakni dalam
tafsir, aqidah, hadits, fiqh, bahasa arab dan berbagai cabang ilmu pengetahuan
Islam lainnya, hingga beliau melampaui kemampuan para ulama zamannya. Al-‘Allamah Kamaluddin bin Az-Zamlakany (wafat
th. 727 H) pernah berkata: “Apakah ia ditanya tentang suatu bidang ilmu, maka
siapa pun yang mendengar atau melihat (jawabannya) akan menyangka bahwa dia
seolah-olah hanya membidangi ilmu itu, orang pun akan yakin bahwa tidak ada
seorangpun yang bisa menandinginya”. Para Fuqaha dari berbagai kalangan, jika
duduk bersamanya pasti mereka akan mengambil pelajaran bermanfaat bagi kelengkapan madzhab-madzhab mereka yang
sebelumnya belum pernah diketahui. Belum pernah terjadi, ia bisa dipatahkan
hujahnya. Beliau tidak pernah berkata tentang suatu cabang ilmu, baik ilmu
syariat atau ilmu lain, melainkan dari masing-masing ahli ilmu itu pasti
terhenyak. Beliau mempunyai goresan tinta indah, ungkapan-ungkapan, susunan,
pembagian kata dan penjelasannya sangat bagus dalam penyusunan buku-buku.”
Imam
Adz-Dzahabi rahimahullah (wafat th. 748 H) juga
berkata: “Dia adalah lambang kecerdasan dan kecepatan memahami, paling hebat
pemahamannya terhadap Al-Kitab was-Sunnah serta perbedaan pendapat, dan lautan
dalil naqli. Pada zamannya, beliau adalah satu-satunya baik dalam hal
ilmu, zuhud, keberanian, kemurahan, amar
ma’ruf, nahi mungkar, dan banyaknya buku-buku yang disusun dan amat menguasai
hadits dan fiqh.
Pada umurnya yang ke tujuh belas beliau sudah siap mengajar dan berfatwa,
amat menonjol dalam bidang tafsir, ilmu ushul dan semua ilmu-ilmu lain, baik
pokok-pokoknya maupun cabang-cabangnya, detailnya dan ketelitiannya. Pada sisi
lain Adz-Dzahabi mengatakan: “Dia mempunyai pengetahuan yang sempurna mengenai rijal (mata rantai sanad), Al-Jarhu
wat Ta’dil, Thabaqah-Thabaqah sanad,
pengetahuan ilmu-ilmu hadits antara shahih dan dhaif, hafal matan-matan hadits
yang menyendiri padanya ….. Maka tidak seorangpun pada waktu itu yang
bisa menyamai atau mendekati tingkatannya ….. Adz-Dzahabi berkata lagi, bahwa: “Setiap
hadits yang tidak diketahui oleh Ibnu Taimiyah, maka itu bukanlah hadist.
DA’I,
MUJAHID, PEMBASMI BID’AH DAN PEMUSNAH MUSUH
Sejarah telah mencatat bahwa bukan saja Ibnu Taimiyah sebagai da’i yang
tabah, liat, wara’, zuhud dan ahli ibadah, tetapi beliau juga seorang pemberani
yang ahli berkuda. Beliau adalah pembela tiap jengkal tanah umat Islam
dari kedzaliman musuh dengan pedangnya,
seperti halnya beliau adalah pembela aqidah umat dengan lidah dan penanya.
Tahun 700 H, Syam dikepung tentara tar-tar. Ia segera mendatangi walikota
Syam guna memecahkan segala kemungkinan yang terjadi. Dengan mengemukakan ayat
Alqur'an ia bangkitkan keberanian membela tanah air menghalau musuh.
Kegigihannya itu membuat ia dipercaya untuk meminta bantusan sultan di Kairo.
Dengan argumentasi yang matang dan tepat, ia mampu menggugah hati sultan. Ia
kerahkan seluruh tentaranya menuju Syam sehingga akhirnya diperoleh kemenangan
yang gemilang.
Pada Ramadhan 702 H, beliau terjun sendiri kemedan perang Syuquq yang
menjadi pusat komando pasukan tar-tar. Bersama tentara Mesir, mereka semua maju
bersama dibawah komando Sultan. Dengan semangat Allahu Akbar yang menggema
mereka berhasil mengusir tentara tar-tar. Syuquq dapat dikuasai.
Dengan berani Ibnu Taimiyah berteriak memberikan komando kepada umat
Islam untuk bangkit melawan serbuan tentara Tartar ketika menyerang Syam dan
sekitarnya. Beliau sendiri bergabung dengan mereka dalam kancah pertempuran.
Sampai ada salah seorang amir yang mempunyai diin yang baik dan benar,
memberikan kesaksiannya: “…… tiba-tiba (ditengah kancah pertempuran) terlihat
dia bersama saudaranya berteriak keras memberikan komando untuk menyerbu dan
memberikan peringatan keras supaya tidak lari …” Akhirnya dengan izin Allah
Ta’ala, pasukan Tartar berhasil dihancurkan, maka selamatlah negeri Syam,
Palestina, Mesir dan Hijaz.
Tetapi karena ketegaran, keberanian dan kelantangan beliau dalam mengajak
kepada al-haq, akhirnya justru membakar kedengkian serta kebencian para
penguasa, para ulama dan orang-orang yang tidak senang kepada beliau. Kaum
munafiqun dan kaum lacut kemudian meniupkan racun-racun fitnah hingga karenanya
beliau harus mengalami berbagai tekanan di pejara, dibuang, diasingkan dan
disiksa.
Polemik Ibnu Taymiyah
Pribadi Ibnu Taymiyyah memiliki banyak sisi. Sebuah peran yang sering
terlihat adalah kegiatannya menentang segala bid'ah, khurafat dan
pandangan-pandangan yang menurutnya sesat. Tak heran jika ia banyak mendapat
tantangan dari para ulama.
"Sesungguhnya saya lihat ahli-ahli bid'ah, orang-orang yang besar
diombang-ambingkan hawa nafsu seperti kaum mufalsafah (ahli filsafat),
Bathiniyah (pengikut kebathinan), Mulahadah (mereka yang keras menentang Allah)
dan orang-orang yang menyatakan diri dengan wihdatul wujud (bersatunya hamba
dengan khaliq), Dahriyah (mereka yang menyatakan segalanya waktu yang
menentukan), Qadhariyah (manusia berkehendak dan berkuasa atas segala
kemauannya), Nashiriyah, Jamhiyah, Hulliyah, mu'thilah, Mujassamah, Musyibihah,
Rawandiyah, Kilabiyah, Salimiyah dan lain-lain yang terdiri atas orang-orang
yang tenggelam dalam kesesatan, dan mereka yang telah tertarik masuk kedalamnya
penuh sesat. Sebagian besar mereka bermaksud melenyapkan syari'at Muhammad yang
suci, yang berada diatas segala agama. Para pemuka aliran sesat tersebut
menyebabkan manusia berada dalam keraguan tentang dasar-dasar agama mereka.
Sedikit sekali saya mendengan mereka menggunakan Al-qur'an dan hadits dengan
sebenarnya. Mereka adalah orang-orang zindiq yang tak yakin dengan agama.
Setelah saya melihat semua itu, jelaslah bagi saya bahwa wajib bagi setiap
orang yang mampu untuk menentang kebathilan serta melemahkan hujjah-hujjah
mereka, untuk mengerahkan tenaganya dalam menyingkap keburukkan-keburukkannya
dan membatalkan dalil-dalilnya." Demikian diantara beberapa pendapatnya
yang mendapat tantangan dari mereka yang merasa dipojokkan dan disalahkan.
Tahun 705 H, kemampuan dan keampuhan Ibnu Taymiyyah diuji. Para Qadhi
berkumpul bersama sultan di istana. Setelah melalui perdebatan yang sengit
antara mereka, akhirnya jelah bahwa Ibnu Taymiyyah memegang aqidah sunniyah
salafiyah. Banyak diantara mereka menyadari akan kebenaran Ibnu Taymiyyah.
Namun, upaya pendeskriditan terhadap pribadi Ibnu Taymiyyah terus
berlangsung. Dalam sebuah pertemuan di Kairo beliau dituduh meresahkan
masyarakat melalui pendapat-pendapatnya yang kontroversial. Sang qadhi yang
telah terkena hasutan memutuskan Ibnu Taymiyyah bersalah. Beliau diputuskan
tinggal dalam penjara selama satu tahun beberapa bulan.
Dalam perjalanan hidupnya, ia tak hanya sekali merasakan kehidupan
penjara. Tahun 726 H, berdasarkan fakta yang diputar balikkan, Sultan
megeluarkan perintah penangkapannya. Mendengar ini ia berujar, "Saya
menunggu hal itu. Disana ada masalah dan kebaikkan banyak sekali."
Kehidupan dalam penjara ia manfaatkan untuk membaca dan menulis.
Tulisan-tulisannya tetap mengesankan kekuatan hujjah dan semangat serta
pendapat beliau. Sikap itu malah mempersempit ruang gerak Ibnu Taymiyyah.
Tanggal 9 Jumadil Akhir 728 H, semua buku, kertas, tinta dan pena-nya dirampas.
Perampasan itu merupakan hantaman berat bagi Ibnu Taymiyyah. Setelah itu ia
lebih banyak membaca ayat suci dan beribadah. Memperbanyak tahajjud hingga
keyakinanya makin mantap.
Dalam syairnya yang terkenal beliau juga berkata:
“Apakah yang diperbuat musuh padaku !!!!
Aku, taman dan dikebunku ada dalam dadaku
Kemanapun ku pergi, ia selalu bersamaku
dan tiada pernah tinggalkan aku.
Aku, terpenjaraku adalah khalwat
Kematianku adalah mati syahid
Terusirku dari negeriku adalah rekreasi.
Beliau pernah berkata dalam penjara:
“ Orang dipenjara ialah orang yang terpenjara hatinya dari Rabbnya, orang
yang tertawan ialah orang yang ditawan orang oleh hawa nafsunya.”
Pengagum-pengagum beliau diluar penjara semakin banyak. Sementara di
dalam penjara, banyak penghuninya yang menjadi murid beliau, diajarkannya oleh
beliau agar mereka iltizam kepada syari’at
Allah, selalu beristighfar, tasbih, berdoa dan melakukan amalan-amalan
shahih. Sehingga suasana penjara menjadi ramai dengan suasana beribadah kepada
Allah. Bahkan dikisahkan banyak penghuni penjara yang sudah mendapat hak bebas,
ingin tetap tinggal di penjara bersamanya. Akhirnya penjara menjadi penuh
dengan orang-orang yang mengaji.
Tetapi kenyataan ini menjadikan musuh-musuh beliau dari kalangan
munafiqin serta ahlul bid’ah semakin dengki dan marah. Maka mereka terus
berupaya agar penguasa memindahkan beliau dari satu penjara ke penjara yang
lain. Tetapi inipun menjadikan beliau semakin terkenal. Pada akhirnya mereka
menuntut kepada pemerintah agar beliau dibunuh, tetapi pemerintah tidak
mendengar tuntutan mereka. Pemerintah hanya mengeluarkan surat keputusan untuk
merampas semua peralatan tulis, tinta dan kertas-kertas dari tangan Ibnu
Taimiyah.
Namun beliau tetap berusaha menulis di tempat-tempat yang memungkinkan
dengan arang. Beliau tulis surat-surat dan buku-buku dengan arang kepada
sahabat dan murid-muridnya. Semua itu menunjukkan betapa hebatnya tantangan
yang dihadapi, sampai kebebasan berfikir dan menulis pun dibatasi. Ini
sekaligus menunjukkan betapa sabar dan tabahnya beliau. Semoga Allah merahmati,
meridhai dan memasukkan Ibnu Taimiyah dan kita sekalian ke dalam surganya.
Pandangan Dan Jalan Fikiran
Pemikiran Ibnu Taymiyyah tak hanya merambah bidang syar'I, tapi juga
mengupas masalah politik dan pemerintahan. Pemikiran beliau dalam bidang
politik dapat dikaji dari bukunya Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyah fi naqdh Kalam
as-Syi'ah wal Qadariyah (Jalan Sunnah Nabi dalam pemyangkalan terhadap keyakinan
kalangan Syi'ah dan Qadariyah), As-Siyasah as-Syar'iyah (Sistem Politik
Syari'ah), Kitab al-Ikhriyaratul 'Ilmiyah (Kitab aturan-aturan yuridis yang
berdiri sendiri) dan Al-Hisbah fil Islam (Pengamat terhadap kesusilaan
masyarakat dalam Islam)
Sebagai penganut aliran salaf, beliau hanya percaya pada syari'at dan
aqidah serta dalil-dalilnya yang ditunjukkan oleh nash-nash. Karena nash
tersebut merupakan wahyu yang berasal dari Allah Ta'ala. Aliran ini tak percaya
pada metode logika rasional yang asing bagi Islam, karena metode semacam ini
tidak terdapat pada masa sahabat maupun tabi'in. Baik dalam masalah Ushuludin,
fiqih, Akhlaq dan lain-lain, selalu ia kembalikan pada Qur'an dan Hadits yang
mutawatir. Bila hal itu tidak dijumpai maka ia bersandar pada pendapat para
sahabat, meskipun ia seringkali memberikan dalil-dalilnya berdasarkan perkataan
tabi'in dan atsar-atsar yang mereka riwayatkan.
Menurut Ibnu Taymiyyah, akal pikiran amatlah terbatas. Apalagi dalam
menafsirkan Al-Qur'an maupun hadits. Ia meletakkan akal fikiran dibelakang
nash-nash agama yang tak boleh berdiri sendiri. Akal tak berhak menafsirkan,
menguraikan dan mentakwilkan qur'an, kecuali dalam batas-batas yang diizinkan
oleh kata-kata (bahasa) dan dikuatkan oleh hadits. Akal fikiran hanyalah saksi
pembenar dan penjelas dalil-dalil Al-Qur'an.
Bagi beliau tak ada pertentangan antara cara memakai dalil naqli yang
shahih dengan cara aqli yang sharih. Akal tidak berhak mengemukakan dalil
sebelum didatangkan dalil naqli. Bila ada pertentangan antara aqal dan
pendengaran (sam'i) maka harus didahulukan dalil qath'i, baik ia merupakan
dalil qath'i maupun sam'i.
WAFATNYA
Beliau wafatnya di dalam penjara Qal’ah Dimasyq disaksikan oleh salah
seorang muridnya yang menonjol, Al-‘Allamah
Ibnul Qayyim Rahimahullah.
Beliau berada di penjara ini selamaa dua tahun tiga bulan dan beberapa
hari, mengalami sakit dua puluh hari lebih. Selama dalam penjara beliau selalu
beribadah, berdzikir, tahajjud dan membaca Al-Qur’an. Dikisahkan, dalam tiap
harinya ia baca tiga juz. Selama itu pula beliau sempat menghatamkan Al-Qur’an
delapan puluh atau delapan puluh satu kali.
Perlu dicatat bahwa selama beliau dalam penjara, tidak pernah mau
menerima pemberian apa pun dari penguasa.
Jenazah beliau dishalatkan di masjid Jami’Bani Umayah sesudah shalat
Zhuhur. Semua penduduk Dimasyq (yang mampu) hadir untuk menshalatkan
jenazahnya, termasuk para Umara’, Ulama, tentara dan sebagainya, hingga kota
Dimasyq menjadi libur total hari itu. Bahkan semua penduduk Dimasyq (Damaskus)
tua, muda, laki, perempuan, anak-anak keluar untuk menghormati kepergian
beliau.
pasar-pasar di Damaskus sepi. Kehidupan berhenti sejenak. Para Emir,
pemimpin, ulama dan fuqaha, tentara, laki-laki dan perempuan, anak-anak kecil
semuanya keluar rumah. Semua manusia turun kejalan mengantar jenazahnya.
Seorang saksi mata pernah berkata: “Menurut yang aku ketahui tidak ada
seorang pun yang ketinggalan, kecuali tiga orang musuh utamanya. Ketiga orang
ini pergi menyembunyikan diri karena takut dikeroyok masa. “Bahkan menurut ahli sejarah, belum pernah terjadi jenazah
yang dishalatkan serta dihormati oleh orang sebanyak itu melainkan Ibnu Taimiyah
dan Imam Ahmad bin Hambal.
Beliau wafat pada tanggal 20 Dzul Hijjah th. 728 H, dan dikuburkan pada
waktu Ashar di samping kuburan saudaranya Syaikh Jamal Al-Islam Syarafuddin.
Semoga Allah merahmati Ibnu Taimiyah, tokoh Salaf, da’i, mujahidd,
pembasmi bid’ah dan pemusnah musuh. Wallahu
a’lam.
1) Dinukil
dari buku: Ibnu Taimiyah, Bathal Al-Islah Ad-Diny. Mahmud Mahdi
Al-Istambuli, cet II 1397 H/1977 M. Maktabah Dar-Al-Ma’rifah-Dimasyq. hal.
Depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tambahkan komentar anda dengan santun